Manusia sebagai khalifah memiliki kemungkinan mencapai derajat tertinggi jika ia mampu menggunakan perangkat kemanusiaan (akal) dengan benar. Namun, jika manusia tidak berbuat sebagaimana manusia, dengan kata lain membiarkan akalnya tidak berfungsi sedemikian rupa, maka hakekat manusia akan hilang pada saat itu juga. Sebab, yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain hanyalah akal yang bersemayam dalam dirinya.
Ada 4 kelompok manusia
1. Manusia yang berfikir dan mengetahui banyak tentang banyak hal,
2. manusia yang berfikir dan mengetahui banyak tentang sedikit hal,
3. manusia yang berfikir dan mengetahui sedikit tentang banyak hal, dan yang terakhir
4. adalah manusia yang berfikir dan mengetahui sedikit tentang sedikit hal.
Atau lebih sohihnya oleh Imam Al Ghazali. Sang Hujjatul Islam itu menggolongkan manusia menjadi empat macam berdasar pada situasi akal dan mentalitas:
1. Rajuulun yadrii wa yadrii annahu yadri ( Manusia yang mengerti, dan mengerti bahwa dia mengerti ),
2. Rajuulun yadri wa laa yadri annahu yadri ( Manusia yang mengerti dan dia tidak mengerti bahwa dia mengerti ),
3. Rajuulun laa yadrii, wa yadrii annahu laa yadrii ( manusia yang tidak mengerti, dan mengerti bahwa dia tidak mengerti ),
4. Rajuulun laa yadrii wa laa yadrii annahu laa yadri ( Manusia yang tidak mengerti, dan tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti ).
Pembahasan mengenai manusia memang selalu menarik. Manusia sebagai penghuni jagad raya, tak hanya tersusun dari materi berupa badan wadag yang kasat mata. Lebih dari itu, ia juga tersusun dari benda non materi berupa ruh yang berasal dari penguasa semesta. Ketika perlakuan manusia terhadap dirinya sendiri mengalami kesenjangan begitu rupa, dengan mengutamakan kebutuhan materi dan membiarkan ruhaninya gersang dan terlunta-lunta, yang terjadi adalah ketimpangan individu dimana manusia tak sempurna sebagai manusia. Pada skala yang jauh, ia akan tiba pada situasi tertentu.
Mari kita untuk memejamkan mata sejenak berkontemplasi guna menelaah kembali cara berfikir, sikap hidup, sekaligus praktek keberagamaan yang kadang cenderung tak sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan oleh-Nya, yang ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas iman serta perubahan sosial hanyalah sekedar contoh.
Bahwa sampai kapanpun manusia harus terus berjuang untuk memelihara kemanusiaannya. Bukankah secara empiris banyak dijumpai manusia yang secara fisik memang manusia, namun hakekatnya adalah serigala yang tak segan-segan mencakar dan membunuh saudaranya sendiri? Maka sebagai manusia, tak ada kemungkinan lain kecuali kita harus berjuang untuk tetap menjadi manusia. Supaya pada penghujung kehidupan nanti, kita tetap menjadi manusia yang ahsani taqwiim, dan tidak terjerembab kedalam pengapnya jurang asfalaa saafiliin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar