Selasa, 05 Juli 2016

Renungan Idul Fitri (Oleh:Amiruddin Faisal)

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Inilah momentum anugerah tertinggi. Inilah kondisi kebahagiaan teragung. Inilah situasi karomah, kemuliaan, yang paling menggiurkan. Hamba-hamba-Mu tergetar menggemakan takbir, musik yang paling musik dari segala musik. Yang terpendam di dalamnya puisi tersunyi dari segala aras keheningan yang hanya mungkin diwakili oleh dua kata: Allah dan Akbar. Allah satu-satunya nama yang orisinal, satu-satunya yang benar-benar nama. Dan, Akbar, bukan Kabir. Kabir itu maha besar maha agung, maha unggul. Akbar adalah maha yang lebih besar, maha lebih, maha lebih unggul. 'Lebih', karena hamba-hambalah yang mengucapkan kata itu: di dalam kesadaran para hamba, di dalam penghayatan dan cinta para hamba -senantiasa terasa lebih besar, lebih agung dan lebih unggul. Memuai. Akbar. Para hamba meninggikan tangan dalam ketakjuban total. Para hamba tersujud-sujud di hamparan shiroth mustaqim, jalan yang ditegakkan. Jalan an'amta'alaihim. Jalin dimana Sang Maha Engkau menyiapkan setinggi-tinggi nikmat: suatu kondisi kosmologis yang diraih dengan teologi Ramadhan dan Idul Fitri, serta melalui pergulatan filosofis ilaihi roji'un.

Menempuh perjalanan kembali. Kembali ke hadirat-Nya. Kembali fitri. Kembali sejati.
Betapakah wajah para hamba yang Engkau beri nikmat, ya Akbar? Menjadi siapakah mereka? An-nabiyyin. Para Nabi yang Engkau nobatkan serta para pewaris tongkat mereka. Para pembawa kabar gembira. Para wartawan segala peradaban. Penabur kebenaran, basyir wa nadzir, yang membangun, mengontrol dan memperbaiki. Oleh karena itu merekalah as-shiddiqin, orang-orang yang kepada mereka kita bisa sandarkan kepercayaan. Orang-orang yang jujur. Yang utuh dan memelihara kejujurannya dengan terus-menerus bertahan menjadi syuhada , pejuang. Syuhada itu berarti jamak dari syahid. Saksi. Orang-orang yang menyaksikan, bersaksi dan memperjuangkan kesaksiannya atas kebenaran Allah, haqqullah dengan pena dan kata-kata, dengan badan dan keringat, dan akhirnya dengan kematian - karena kebenaran sebisa mungkin harus tersertakan di sisi mautnya, agar kematiannya pun menyaksikan dan bersaksi atas kebenaran itu.
Tak heranlah kalau Allah menyebut mereka as-shalihin orang-orang salih. Pelaku-pelaku ishlah, yang setiap kali siap dan bersedia memperbaiki zaman, merombak dan membenahi sejarah, merevisi, mereformasi, merestrukturisasi, meresistemasi, mengubah dan melahirkannya kembali. Ya Allah, semoga itulah kami. Semogak arena itulah tak ragu kami melangkah ke arah agung Idul Fitri-Mu dan menggemakan Akbar-Mu. Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar.
Adapun dengan common sense barangkali kita bisa mengasosiasikan arti idul fitri secara sederhana. 'Id itu berarti kembali. Fitri itu fitrah. Asli. Orisinal. Bayi. Bayi itu 'telanjang', tidak banyak embel-embel, tidak rewel dan penuh pamrih oleh tetek bengek sebagaimana orang dewasa. Bayi itu masih alam, belum budaya.

Mengidul-fitri, kembali meng-alam, tidak lantas berarti undur budaya, melainkan menanggalkan -minimal pada level kesadaran dan sikap- setiap anasir budaya yang tidak relevan atau terutama yang destruktif terhadap kemurnian alam. Idul fitri itu retrospeksi total.
Kalau bayi itu tertawa,'natur'nya, keasliannya yang tertawa, sehingga seakan-akan Tuhan itu sendiri yang tertawa. Sebab siapa lagikah, selain Ia, yang asli sejati dalam arti yang sebenar-benarnya? Dan kalau ia menangis, yang menangis bukan naluri untung ruginya, bukan kemabukan hayawani seperti kalau orang dewasa berdagang,berpolitik dan berkarier. Tangis bayi adalah ekspresi alam dan budaya, di mana dimensi keindahan, kebajikan dan kebenaran masih menyatu, total dan masih bisa 'dijamin'.
Tangis bayi itu haqq (kebenaran) Allah, sekaligus hubb (cinta)-Nya yang baik dan indah. Tangis itu suci. Tanpa pamrih. Mungkin juga bayi menangis karena awal rasa sakit dan penderitaan: salah satu 'tema' gagasan penciptaaan atas makhluk. Namun tangis bayi masih berupa 'derita alam' yang merupakan bagian dari orkestrasi nilai ciptaan Allah. Bukan tangis oleh stress, oleh kesengsaran artificial sebagaimana kelak terjadi pada kehidupan orang-orang dewasa - sesuatu yang sebenarnya bisa tak perlu terjadi. Tangis bayi itu total, utuh, karena antara Khalik dengan makhluk yang belum dijaraki oleh kebudayaan atau rekayasa manusia (iradatunnas). Padanya masih bersatu tiga unsur: asal-usul alam (amrullah), sebab alam (irodatulllah) dan disiplin untuk kembali kepada-Nya (ilaihi roji'un) - yang pada orang dewasa, pada realitas sosial, kebudayaan dan peradaban: unsur ketiga itu ditempuh melalui sejumlah jarak, yakni hisab atau perhitungan dosa dan pahala, rugi dan untung, perohanian, neraka dan sorga.
Kalau kita omong tentang bayi, pasti teringat lbu. Dan untuk menemukan rujukan orisinal tentang bayi dan kefitrian, ada kemungkinan kita lantas ingat juga 'Ibu Qur'an' (ummul Qur'an), yaitu Al-Fatihah, sebagaimana kita temukan hikmah as-shiroth al-mustaqim dan an'amta.'alaihim di atas. Kemudian kalau di gua garba ibu Qur'an itu kita bertapa rohani dan bertafakur intelektual, tampaklah anasir-anasir kasih sayang, kepengasuhan dan pengelolaan. Yakni Rahman (pecinta, pengasih), Rahim (penyayang), Rabb (pengasuh) dan Malik (maharaja).

Maka bagi setiap dan semua manusia, Idul Fitri bermakna memposisikan dirinya kembali pada titik paling sehat di tengah mizan (pertimbangan) manajemen empat sifat Allah yang terkandung dalam nukleus dari ragam dan kesempurnaan asma-Nya. Ini berlaku baik dalam kedudukan manusia sebagai bagian dari hamparan al'alamin (alam semesta, universalitas) maupun sebagai titik-titik relatif di tengah realitas sosial (komunitas, negara, kebudayaan, peradaban). Manusia tidak bisa mengambil hanya salah satu dari al-asma al-'adham -nama yang teragung- itu. Seseorang, sebagai produk inisiatif ciptaan Allah (irodatullah), tidak relevan untuk hanya mentransfer -umpamanya- sifat maharaja-Nya belaka, tanpa persenyawaan dengan sifat cinta, kasih sayang dan kepenyantunan dan kepengasuhan-Nya. Segala macam praktek otoritarianisme, ketidakadilan, penghisapan manusia atas manusia, tak lain adalah akibat dari pengambilan secara parsial atas sifat Allah yang terjelmakan dalam diri manusia. Gejala yang sama juga terjadi tatkala kelengkapan acuan dalam Qur’an diambil hanya berdasarkan dan untuk melegitimasikan subyektivitas kepentingan, 'kelas', pamrih kelompok atau egosentris. Itulah sumber kenapa Agama sering disalahpahamkan, dimanifestasikan secara pincang atau manipulatif. Mari kita pakai kiasan bersahaja lagi: ibaratkan buah mangga. 'Daging' isinya adalah rahman, cinta individual. Rasa manisnya adalah rahim, kasih sayang universal. Kulitnya adalah rab, pengasuh yang menyantuni atau melindungi. Kerekatan antara isi dengan kulit mangga adalah malik, otoritas yang dipelihara. Adapun apa biji yang terletak di pusat buah manggaitu? Ia lebih tersembunyi, pahit rasanya, namun dialah yang menyangga mandat regenerasi, pertumbuhan, kelestarian, pengabdian. Ketika Allah memaparkan skema pokok asma-Nya dibelahan surah Qur’an, nama Rahman dan Rahim selalu didahului 'alimul ghoibi (Khaliq) yang mengetahui segala yang tidak terketahui (oleh segala makhluk)

Bertumbuh dan memulaikah pengetahuan kita tentang kandungan sifat itu? Tentulah substansi 'alimul ghoibi itu pengetahuan, sebagaimana kesengajaan Allah sendiri untuk menuturkan 'lqra' -bacalah!- sebagai kata firman yang pertama.
Karena Ia Maha MengetahuiIah, maka la mencintai kita, menyayangi kita, dan mengasuh kita. Ilmu pengetahuan adalah sumber atau sebab alami dan sekaliggs perangkat pokok dari cinta dan kesantunan. Maka padanya pulalah mata air atau muara (makrifah) perimbangan pengelolaan cinta, kasih sayang, kepengasuhan dan otoritas. Bayangkanlah orang mencintai dan menyayangi tanpa ilmu: dekat dengan kemungkinan keterjerumusan. Bayangkanlah orang mengasuh tanpa ilmu: destruksi sangat mungkin terjadi.Bayangkan orang menyantuni tanpa ilmu: kemanjaan hasilnya. Dan bayangkanlah orang berkuasa tanpa ilmu, apalagi tanpa cinta, kasih sayang dan kesadaran kepengasuhan dan kesantunan: fir'aunisme yang dibangunnya. Allah juga menyebut dirinya tidak sekedar 'alim, tapi 'alimul ghoib. Bukan sekedar maha mengetahui, tapi maha mengetahui segala yang ghaib. Ghaib itu simbol dari ketakterhinggaan. Cerminan dari kenyataan relativitas dan keterbatasan ilmu yang dipinjamkan-Nya kepada manusia. Jadi, jabaran keilmuan kata ghaib ialah keterbatasan terhadap ketakterhinggaan. Efek moralnya bagi manusia, tentunya adalah kerendahhatian. Tawadlu. Yang diasah terus menerus dengan tradisi sujud. Bayangkanlah perilaku manusia yang tanpa kerendahhatian. Bayangkanlah ideologi, teknokrasi kehidupan masyarakat dan negara, institusi ilmu, partai politik, kritik sosial, atau langkah-langkah adab budaya masyarakat manusia yang tidak berhikmah dari kerendahhatian. Produknya mungkin keterjebakan ber abad- abad, bumerang peradaban yang terlalu mahal ongkosnya, artifisialisasi kebudayaan, perang, stres, mabuk, dan bunuh diri. Oleh karena itu puasa adalah media otokritik bagi manusia, komunitas, kebudayaan dan peradaban. Adalah peluang untuk proses pengambilan jarak dari diri manusia – baik 'diri personal' maupun 'diri sosial' dalam arti 'masing-masing' mapun 'bersama', diri pada segala konteks dan skala. Kemudian mengevaluasinya dan melahirkan pembaruan yang memungkinkan kondisi Idul ritri bisa diperoleh.

Dengan demikian, prinsip utama realitas Idul Fitri ialah bahwa ia merupakan titik paling sublim yang dihasilkan oleh proses laku puasa. Situasi dan kondisi sublim itu memiliki kemungkinan untuk berlaku pada level personal-psikologis maupun sosial-empiris. Seseorang berhasil mensublimkan dirinya, tetap dihadang kemungkinan untuk 'terguncang' atau' terpecah' kembali karena atmosfir sosial atau system-sistem lingkungan yang mengikatnya -sesudah Lebaran- membuatnya terapuhkan dan terhanyutkan kembali. Bahasa sederhananya, sesudah beridul fitri bersih diri, ia bisa 'kotor' kembali. Mungkin karena itu maka sesudah setahun, ia dipuasakan dan mempuasakan diri kembali. Allah bukan saja maha mafhum terhadap kemungkinan 'gelombang' dan 'pasang surut' situasi hamba-hamba-Nya. Lebih dari itu, la juga 'taktis'. Bahkan Ia sediakan juga metode yang 'radikal': mulai sehari setelah sesudah hari Idul Fitri, kita disunnahkan untuk berpuasa enam hari - ibadah'frontal' di hadapan pesta pora lebaran - dengan janji pahala dan kemuliaan beribu kali lipat. Term dalam Qur’an, yang agaknya paling tepat untuk menggambarkan situasi sublim itu, adalah muthahhar. Artinya, manusia yang tersucikan.Terjernihkan. Tercerahkan. Di kulit luar kitab Qur’an Anda selalu bisa menemukan kalimat Allah itu: la yamassuhu illal-muthahharun. Arti tekstualnya: "tidak menyentuh kitab ini kecuali dalam keadaan suci". Makna kontekstualnya, sejauh yang coba saya pahami: "seseorang tidak akan tuning-in iklim Qur'ani, kecuali ia tercerahkan, baik secara spiritual, intelektual, mental dan moral. Dengan demikian gambaran situasi sublim kehidupan seseorang mempersyaratkan dipenuhinya kebersihan spiritual, kejernihan dan kejujuran intelektual, kesehatan mental dan kelayakan moral. Tingkat dan kualitas pencapaian empat dimensi itu menentukan seberapa rekat seseorang berada dalam persenyawaan dengan ruhani Qur’an dan ilmu Qur’an, serta dalam mentalitas dan moralitas Qur’ani -yang pada akhirnya tercermin dalam perilaku sosialnya. Bukankah visibilitas ldul fitri mempersyaratkan keadaan kejiwaan dan realitas perilaku sosial sedemikian rupa sehingga relevan (berhak secara hukum, dan ilmiah sebagai kenyataan) untuk mengalami dan memperoleh Idul Fitri? Bukankah lbu-Qur'an memperbandingkan antara an'amta'alqihim dengan manusia maghdlub dan manusia dhollin? Maghdub, orang yang Allah marah kepadanya. Orang yang "tahu tapi tak mau." Orang-orang yang menyerap ilmu, namun tidak menerjemahkannya menjadi realitas kehidupan. Orang-orang yang menumpuk pemahaman, namun tak memperjuangkan dan menegakkannya karena kecil hati dan ciut nyali pada kekuatan yang bukan Tuhan. Orang-orang yang membanggakan kepandaian akal, namun memanjakan kehidupan dan menghinakan kematian, sehingga hidupnya membuih dan mengambang. Orang-orang yang dalam shalat formalnya mengucapkan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in -“hanya kepada-Mu aku mengabdi dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan”- ternyata untuk memperolok-olokkan Allah, sebab realitas kehidupannya tidak sungguh-sungguh ia letakkan dalam ikrar, konteks dan iklim sikap yang semacam itu. Orang-orang yang selalu mengemis ihdinash-shirothol-mustaqim -“tunjukilah kami jalan lurus, jalan yang ditegakkan”- dan Allah telah sejak dulu kala memberikannya namun mereka tidak benar-benar bersedia dan menggunakannya. Orang-orang yang meminta, diberi, tak menerimanya namun meminta lagi, diberi dan tak menerimanya, dan meminta lagi. Mungkin karena itu Rasulullah mengajarkan agar sesudah shalat, hendaknya para hamba Allah berwirid

Astaghfirullah, Astaghfirullah - "Ampun ya Allah! Ampun ya Allah!" Dan si allah kalau ternyata kata-kata ini pun bercanda belaka. Masih mending adh-dhollin, orang-orang yang "mau tapi tak tahu." Orang yang kurang maksimal ber-iqra', namun tulus hati pengabdiannya. Orang yang tidak pintar, namun berani bekerja keras, penuh tekad dan mengandalkan kesembodoan. Tidak mereka capai kesempurnaan an'amta 'alqihim karena akal budi dan kecerdasan -indikator utama kemakhlukan manusia- kurang mereka asah dan olah, namun mereka berada di 'antrean' kedua dalam menghadapi ghodobullah, murka Allah. Kita yang maghdlub, dianjurkan oleh Ibu Qur'an untuk mengacu dan menghayati poros malik-rahim: perjuangan otoritas dan cinta kasih sosial. Adapun kita yang dhollin, disarankan untuk mempedomani lajur rabb-rahman:bahwa untuk mengasuh dan menyantuni zaman, diperlukan pendalaman atau internalisasi cinta kasih, yakni cinta yang 'tidakbuta', cinta yang 'kawin' dengan kebenaran -melalui ilmu.
Itulah jalan pencerahan.
‪#‎selamat‬ idul fithri mohon atas kekhilafan hamba atas lisan dan prilaku hamba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar