Jumat, 15 Juli 2016

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat (Oleh M Kholid Syeirazi, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlaul Ulama PP ISNU)

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat
Oleh M Kholid Syeirazi

NU.Online
Wahyu dalam bentuk Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW. Sebagai penerima wahyu, Rasulullah SAW adalah orang paling mengerti maksud dan isi Al-Qur’an. Di zaman Rasulullah SAW, perbedaan sahabat dalam memahami ayat langsung bisa dikonfirmasi kepada Rasulullah. Beliau adalah hakam, pemberi kata putus dalam setiap perbedaan pendapat.

Terkadang perbedaan pendapat dalam memahami nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits dibiarkan Rasulullah SAW tanpa dicelanya. Sejak zaman Rasulullah SAW sudah ada kecenderungan sekelompok sahabat yang memahami bunyi nash apa adanya dan juga ada juga sekelompok lain yang tidak letterlijk serta menyertakan rasio dalam memahami nash.

Ketika perang parit, Bani Qurayzhah yang telah menekan perjanjian damai dengan Rasulullah Saw berkhianat. Mereka membelot, bersekutu dengan kafir Quraisy menjanjikan bantuan untuk memerangi Rasulullah dalam perang Khandaq. Selepas zuhur, Jibril datang membawa perintah agar Rasulullah Saw menyerbu benteng Bani Qurayzhah. Panji pasukan diserahkan kepada Ali Ra dan Rasulullah bersabda: “Lâ yushalliyanna ahadun al-ashra illâ fî banî Qurayzhah” (Jangan kalian shalat asar kecuali di Bani Qurayzhah)

Peristiwa ini diceritakan oleh Ibnu Hisyâm dalam Sîrah-nya yang legendaris, diriwayatkan oleh Imâm Bukhâri dalam Sahîh Bukhâri ‘Kitâb al-Maghâzi,’ diberikan syarah panjang lebar oleh Ibnu Hajar Al-Asqalanî dalam Fathul Bâri. Azhim Abadi membahas hadits ini dalam Awnul Ma’bûd Syarah Sunan Abî Dâwud“ dalam Kitâb al-Qadhâ Bâb Ijtihâd al-Ra’y fil Qadha” (Lihat Ibnu Hisyâm, As-Sîrah An-Nabawiyyah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2001, halaman 462-463; Ibn Hajar Al-Asqalanî, Fathul Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts Al-Arabî, 1988, Juz 7, halaman 327-329; Syamsul Haq Al-Azhîm Abadî, Awnul Ma’bûd Syarah Sunan Abî Dâwud, Kairo: Darul Hadits, 2001, Juz 6, halaman 427-428).

Diriwayatkan, di tengah perjalanan, waktu shalat asar masuk padahal mereka belum sampai perkampungan Bani Qurayzhah. Sahabat terbelah dalam dua kubu. Kubu pertama enggan shalat asar berdasarkan bunyi harfiah perkataan Nabi “Jangan kalian shalat asar kecuali di Bani Qurayzhah.” Kubu kedua melaksanakan shalat asar di tengah jalan. Mereka memahami perkataan Nabi tidak secara letterlijk, tetapi secara rasional. Menurut mereka, maksud ucapan Nabi adalah kita disuruh segera bertindak sehingga dapat melaksanakan shalat asar di  perkampungan Bani Qurayzhah. Begitu tidak tercapai, shalat asar harus dilaksanakan selagi ada kesempatan. Kubu pertama akhirnya baru dapat melaksanakan shalat asar setelah masuk shalat isya.’

Kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah saw dan beliau tidak mencela salah satunya. Wahyu juga tidak turun membenarkan satu kelompok, dan menyalahkan kelompok lain. Artinya, ijtihad dua kelompok sahabat yang tekstual dan yang rasional diakui, karena dalam ijtihad, yang benar dan yang salah sama-sama diganjar pahala. Yang benar dapat dua pahala, yang salah dapat satu pahala. Menurut Azhim Abadi, kubu pertama adalah penduhulu kelompok tekstualis (salafu ahliz zhahir), kubu kedua adalah penduhulu kelompok logis (salafu ashâbil ma’nâ wal qiyâs). Sikap Rasulullah yang arif bijaksana membuat dua kelompok sahabat toleran, saling menghormati dan menghargai perbedaan pandangan.

Masalahnya, sepeninggal Rasulullah Saw umat Islam kehilangan sumber hidup yang dapat memutus dan menyelesaikan pertentangan. Al-Qur’an satu, tetapi penafsirannya sebanyak isi kepala sahabat dan umat sepeninggalnya. Rasulullah Saw meninggalkan sunah, tetapi banyak versi riwayat ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi dan juga pemahaman umat terhadapnya. Menjadi semakin kompleks karena ada kubu yang mulai memaksakan pandangan mereka dan kehilangan toleransi untuk mengakui pandangan kelompok lain.

Ketika perang Shiffin sekelompok orang keluar dari barisan Ali dan Mu’awiyah, mencela dan mengafirkan keduanya, dan mengusung slogan “lâ hukma illallâh.” Proses arbitrase (tahkîm), yang kemudian secara curang dimenangkan kubu Mu’awiyah, oleh kelompok yang kelak dikenal sebagai Khawarij ini dianggap mengingkari hukum Allah. Pelakunya kafir dan harus diperangi. Di sinilah tradisi takfir dimulai.

Pada zaman sahabat perbedaan tajam sering kali terjadi. Umar yang tidak membagi rampasan perang (fai') berupa tanah pertanian di Syam dan sekitarnya ditentang oleh Bilal dan sahabat lain karena dianggap menyelisihi bunyi nash Al-Qur’an (tentang ijtihad Umar Ra, lihat Muhammad Bultajiy, Manhaj Umar ibnil Khattâb fit Tasyrî (Kairo: Dârul Fikr Al-Arabî, 1970). Namun, setajam apa pun pertentangan di antara sahabat, tidak ada takfir. Khawarij memulai tradisi pemaksaan pendapat dengan takfir dan kekerasan. Ali Ra wafat setelah ditikam oleh pengikut Khawarij, Abdurrahman bin Muljam. Ali Ra berkali-kali menampik slogan Khawarij “lâ hukma illallâh” dengan menyatakan “kalimatu haqqin yurâdu bihal bâthil” (ungkapan benar, tetapi digunakan untuk tujuan salah).

Saling menghargai perbedaan pendapat, terutama dalam perkara furû’, mutlak diperlukan untuk mewujudkan ukhuwwah Islâmiyyah. Persaudaraan umat Islam tidak mungkin terwujud dalam suasana takfir dan penyesatan. Beragamalah dengan ilmu! Jangan gunakan jargon “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits” seperti kaum Khawarij menggemakan slogan “lâ hukma illallâh.”

Al-Qur’an satu, tetapi penafsiran terhadapnya sebanyak isi kepala para mufassir. Ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari banyak jenis, kita mengetahuinya dari para ulama yang merumuskan disiplin Ulûmul Qur’an. Al-Qur’an tidak bisa dicuplik satu dua ayat, dipotong sepenggal-sepenggal sesuai kepentingan partisan. Hadits ada berbagai tipe, diriwayatkan banyak rawi, sampai ke tangan kita atas jasa para ulama yang telah membukukan ucapan Rasulullah Saw, menyeleksinya berdasarkan kategori hadis shahih, hasan, dan dha’if.

Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits hanya berhenti sebagai jargon bagi orang yang baru membaca Al-Qur’an dan mengerti satu dua hadits dari majelis taklim. Saya sendiri tidak berani menafsirkan Al-Qur’an, hatta satu ayat, tanpa membuka cara ulama sejak sahabat hingga tabi’, tabi’in menafsirkannya sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab tafsir. Begitu pun dalam memahami hadits, saya terikat dengan kitab-kitab hadits (kutubus sittah) yang diakui otentisitasnya serta syarah ulama yang diakui keilmuannya terhadap kitab-kitab tersebut. Itulah tradisi ilmiah! Jangan potong dengan ucapan sapu jagat “Mari Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits,” tetapi baca Al-Qur’an saja masih tersendat-sendat.

Beragamalah dengan akal! Hargai perbedaan pendapat, yang bahkan sudah terjadi di kalangan sahabat sejak zaman Rasulullah Saw seperti ditunjukkan dalam insiden Bani Qurayzhah. Toleransi hanya dapat terwujud jika masing-masing punya pedoman: “Pendapat saya benar, tetapi bisa jadi salah. Pendapat orang lain salah, tetapi bisa jadi benar.” Tidak ada pemutlakan, tidak ada penyesatan apalagi takfir dan kekerasan.

Jangan gunakan standar ganda! Jika saya kritik cara pemahaman kelompok tekstualis, mereka bilang saya memecah belah umat. Tetapi jika ustadz-ustadz mereka menulis di blog dan ceramah di youtube yang membid’ah-bid’ahkan dan bahkan menyesat-nyesatkan amaliah NU, mereka bilang itu amar ma’ruf nahi munkar. Kembalilah kepada kebenaran. Tidak ada kebenaran mutlak sejauh di tangan manusia. Kebenaran manusia selalu relatif, karena akal manusia nisbi. Hanya kebenaran Allah yang benar-benar benar! Itulah sejatinya kebenaran.


*) M Kholid Syeirazi, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlaul Ulama (PP ISNU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar