Jumat, 15 Juli 2016

Renungan Tentang "KAFIR" (Oleh :Amiruddin Faisal)

Mendengar istilah “kafir” pikiran orang akan segera menunjuk kepada orang yang tidak mau mengakui keberadaan Tuhan. penolakan-penolakan ini biasanya berawal dengan tidak meyakini agama dengan segala atribut doktrin dan ritual ibadahnya.
Agama menjadi hal yang pertama diingkari tidak lain karena agama menjadi medium antara Tuhan dengan manusia. Agama seolah menjadi rumah Tuhan dan barang siapa yang ingin bertamu, berjumpa dengan-Nya maka harus lewat agama. Tanpa sadar atau tidak lambat laun agama memonopoli jalan menuju Tuhan, berjumpa dengan Tuhan. ini bukan salah agama, bagaimana pun juga agama sekedar alat (obyek) yang memaknai dan merubah tetaplah pemeluknya.
Akibat pemonopolian tersebut jika ada orang yang ingin berjumpa dengan Tuhan harus, rela atau terpaksa, masuk ke dalam salah satu agama. Bahkan “lakon” masuknya ke dalam salah satu agama belumlah cukup untuk “membenarkan” jalannya yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Masih terjadi klaim, rebutan bahwa yang berhak dan paling sohih menjadi “pemandu” adalah hanya Agama “A”, Agama “B”.

Sungguh, manusia tidak memiliki kebebasan hanya sekedar untuk memilih jalannya menuju Tuhan. Parahnya jika ada “orang” yang berada di luar agama, belum atau memang tidak mau memeluk agama, maka tangan-tangan orang-orang beragama tadi akan segera menuding “orang” ini kafir, ingkar atau apalah bahasanya sesuai idiom masing-masing agama hanya sekedar menunjuk “The Other”, itu. Celakanya lagi, orang kafir halal darahnya untuk dilenyapkan. Untuk ditumpahkan agar tidak menjadi ‘rereget” dunia. Inilah akibat tatkala Tuhan telah dimonopoli agama. Belum lagi antar satu agama dengan agama lainnya juga terkesan saling curiga, tidak ada kemesraan.
Jika ada Pak Sabar yang Muslim sering blusukan ke gereja atau sering boncengan bareng dengan Mas Paulus yang Nasrani, maka seribu pertanyaan di benak masing-masing pemeluk agama segera berkeliaran: jangan-janga Pak Sabar...., jangan-jangan Mas Paulus..., kita benar-benar terkekang dengan “jangan-jangan”, terhimpit prasangka.

Sebenarnya siapa yang berhak memberikan predikat “KAFIR” pada manusia lain? Agamakah? Manusiakah? Jawabannya: ya si empunya manusia itu sendiri. Tuhan yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa lah yang tahu desiran hati manusia, yang tahu keingkaran-keingkaran manusia yang paling lembut dan tersembunyi sekalipun. Tuhanlah yang memegang hak ciptanya, bukan yang lain. “Bila engkau tidak mau disebut menyekutukan Dia, maka jangan sekali-sekali menggusur hak Dia, kecuali kalau kamu memang berniat mau menyaingi Tuhan semesta Alam...”. kewajiban kita adalah terus-menerus belajar memahami berbagai macam hal dari ciptaan-Nya, termasuk memahami ciptaan-Nya juga banyak yang saling bebeda, bahkan lebih ekstrem saling bertentangan sifatnya, bertentangan jenisnya, bertentangan posisinya, bertentangan perannya dan sebagainya.


#‎Keragaman‬ adalah kerbau membiarkan kambing manjadi kambing, dan kambing mempersilahkan kerbau menjadi kerbau. Jelas kambingnya, jelas kerbaunya, sehingga plural. Kalau kerbau “ tidak boleh menonjolkan kekerbauannya” dan kambing “jangan menonjolkan kekambingannya” .#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar