Minggu, 24 Juli 2016

Amanat Ekonomi Dalam Muktamar ke - 33 (Oleh :Amiruddin Faisal)

Ekonomi merupakan salah satu di antara tiga aspek program yg diamanatkan oleh Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015. Hal tersebut didasrakan atas keasadaran abahwa ekonomi merupakan pilar sekaligus tonggak untuk melecut kemandirian juga kesejahteraan warga. Selain ekonomi, Muktamar mengamatkan dua aspek lagi : pendidikan dan kesehatan. Ketiga aspek tersebut memiliki bobot nilai yang sama, harus berjalan seiring dan seirama.

Secara tegas muktamar mengamanatkan pada PBNU salah satunya untuk menyusun platform ekonomi keumatan sesuai dengan khittah konstitusi & khittah NU sebagai organisasi dîniyyah ijtimâ’iyyah. Platfom yg dimaksud tersebut yakni platform yg harus menggambarkan pandangan dan sikap NU terhadap pembangunan nasional, haluan pembangunan nasional, & rencana kerja NU dalam menggerakan aktivitas ekonomi umat & organisasi.

Kaitannya dengan perkembangan ekonomi, Bappenas tahun 2015 merilis data tingkat ketimpangan ekonomi antarpenduduk atau rasio gini di Indonesia masih berada pada kisaran angka 0,413. Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun yg sama juga merilis data bahwa jumlah masyarakat miskin di Indonesia masih sebesar 11,2 persen atau sekitar 28 juta penduduk. Jumlah tersebut masih sangat besar. & fakta berbicara bahwa warga NU rata-rata masih masuk ke dalam golongan 28 juta penduduk tersebut.

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan memiliki peran strategis dalam kehidupan umat. NU didirikan salah satunya bertujuan untuk kemaslahatan umat yg antara lain bisa ditempuh melalui jalur pemberdayaan ekonomi.
Pada 1938, NU mendirikan apa yg ketika itu dinamakan dengan importhandel & exporthandel, yg keduanya diperuntukkan guna mengurusi kegiatan ekspor-impor atau perdagangan luar negeri. Hal ini diputuskan secara resmi di Muktamar Menes, Banten.

Setahun setelah keputusan tersebut, yakni pada th 1939 pada forum muktamar yg digelar di Magelang, sebagai sebuah upaya utk memberi landasan dalam menjalankan ekonomi & bisnis, NU merumuskan konsep mabadi khoiro ummah yg berisi tiga poin utama. Ke-3 poin itu adalah : as-shidqu (kejujuran), alwafa bil 'ahdi (menepati janji), & at-ta’awun (saling tolong-menolong).
Tiga prinsip tersebut yakni landasan yg harus dipegangi oleh warga NU dalam segala hal, utamanya menyangkut kegiatan ekonomi & bisnis. Dengan tiga prinsip tersebut, turbulensi & mekanisme berbisnis warga NU diharapkan dapat berjalan dengan lancar, stabil, & yg paling penting adalah berkah. Apa yg disebut terakhir, yaitu keberkahan, yaitu tujuan paling paripurna yg dicita-citakan konseptor mabadi khoiro ummah di atas.

Sebagai bagian dari upaya mengembangkan & menyempurnakan tiga pilar tersebut, pada th 1940 KH. Mahfud Shiddiq yg kala itu bertindak sebagai ketua HB NU (istilah sekarang ketua umum PBNU) menambahkan dua prinsip penyempurna yg terdiri atas : al-adalah (keadilan) & Istiqomah (konsistensi).
Maka jelas, pada tahun 1940 mabadi khairo ummah yg berisikan lima prinsip kemandirian ekonomi & harus diimplementasikan saat berbisnis diharapkan bisa menjadi alas pijak bagi kemandirian ekonomi umat.

Senyampang dengan itu, NU meyakini bahwa ekonomi bukan saja harus tumbuh, namun lebih dari itu aspek lain yg harus di raih adalah ekonomi harus merata. Pertumbuhan & pemerataan adalah dua faktor yg harus terjadi beriringan, tanpa harus menegasikan satu dengan yg lainnya.
PBNU dengan berlandaskan semangat Islam Nusantara melalui Rapat Pleno 23-25 Juli 2016 di Pesantren KHAS Kempek Cirebon yg mengangkat tema “Meneguhkan islam Nusantara Menuju Kemandirin Ekonomi Warga” berkomitmen penuh untuk menggerakkan ekonomi nahdliyyin khususnya & warga Indonesia pada umumnya.

Cirebon, 24 Juli 2016
والله الموفّق إلى أقوم الطّريق
والسّــــــــــــلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA
Ketua umum
DR. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal

Jumat, 22 Juli 2016

PUASA KELAS TERI (Oleh : Gus Selim Bom)

PUASA KELAS TERI
Oleh : Gus Selim Bom

Dua ramadhan saya bekerja di malaysia sebagai kontraktor instalasi listrik, bekerja dengan orang-orang yang berbeda negara, agama dan budaya tentunya menambah wawasan saya sebagai warga indonesia yang kebetulan beragama islam, temanku dari myanmar seorang beragama budha bekerja memasang pipa air, temanku yang lain dari pakistan seorang muslim bermadzhab hanafi bekerja sebagai kongsikong ( kerja ganda termasuk bersih-bersih ), jam istirahat kerja kami adalah pukul 01:00 siang waktu malaysia, saya tidak membawa bekal karena memang sedang berpuasa, sementara temanku myanmar membawa bekal makan karena ia memang tidak puasa, sedang temanku pakistan ia memilih membeli di kantin yang di kelola seorang madura muslim. What??? Madura muslim bulan puasa kenapa buka kantin?

Saya kasih tahu, yang bekerja di proyek itu tidak semuanya muslim, ada india hindu, myanmar budha, china kristen atau konghucu, dan lain-lain, bahkan banyak juga orang islam yang tidak puasa dan sengaja batalkan puasa, ini dosa siapa? Dosa tukang kantin buka siang ramadhan? Dosa yang punya kantin ga menghormati orang puasa? Helooowww...niat puasa itu WAJIB KARENA ALLAH TA'ALA bukan WAJIB KARENA MINTA DIHORMATI ORANG YANG TIDAK PUASA.

Kembali ke episode sebelumnya, temanku myanmar makan dengan lahap di depan saya dan minum es teh manis seenaknya, saya faham tindakannya itu bukan berniat melecehkan dan tidak menghormati saya yang sedang puasa, tapi lebih ke individu, dia punya hak sebagai umat budha untuk makan di bulan ramadhan, dan saya punya kewajiban sebagai muslim menahan diri dan memaklumi, intinya jangan berprasangka atau su'udzon pada mereka yang tidak berpuasa, salah satu inti ajaran puasa ramadhan adalah menahan diri dari hawa nafsu termasuk sakwasangka atau su'udzon, kemudian datang kawanku pakistan membawa roti dan es teh manis, ia menawarkan padaku, ia berpendapat pekerja berat boleh membatalkan puasa, saya tidak mendebatnya dengan dalil-dalil, saya hargai pendapatnya itu, saya tolak dengan halus bahwa saya masih sanggup berpuasa, saya yakin meski saya bermadzhab syafi'i dan ia bermadzhab hanafi tapi jika dicari persamaannya tentu lebih indah dari pada mencari perbedaannya, persamaan paling dasar adalah bahwa kita sama-sama beragama islam, sekali lagi bukan berarti ia tidak menghormati saya dengan menawarkan roti dan es teh manis, tapi lebih ke individu, bahwa ia tidak kuat berpuasa karena pekerjaannya yang berat dan saya harus memaklumi bukan malah menjelma menjadi manusia dalil dan berkata "KAMU TIDAK MENGHORMATI ORANG PUASA, KAFIIIIRRR, NERAKA JAHANAM!!!!".

Saya teringat pengalaman puasa pertama saya saat kecil dulu, saya marah melihat adik saya ambil puding di kulkas tengah hari saat terik dan memakannya dihadapan saya pelaku puasa kelas teri yang tengah belajar puasa, kemudian ibu membujukku bahwa "semakin kamu menahan diri, bersabar dan kuat menahan godaan, maka semakin tuhan mengangkat derajat puasamu, membimbingmu menjadi pribadi yang baik, tidak mudah marah dan mampu berjihad melawan hawa nafsumu sendiri".
Jika puasamu masih merasa terganggu oleh makanan dan minuman, berarti niat puasamu sebatas menahan lapar dan dahaga saja, tidak lebih, dan yang pasti kwalitas puasamu adalah kwalitas puasa pemula dan masih pada level puasa kelas teri.

Jika Allah tidak marah dan mengirimkan petir pada pemilik warteg dan orang yang tidak puasa agar hangus terbakar dan mati, lantas kenapa kamu marah-marah pada mereka? KAMU SIAPA???

Senin, 18 Juli 2016

Hanya NU yang Terdepan Bicara Toleransi (Oleh : Nyoman Sutjitra, Wakil Bupati Buleleng,Bali)

Wakil Bupati Buleleng: Hanya NU yang Terdepan Bicara Toleransi

Buleleng, NU Online
Konferensi V Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng dilaksanakan cukup meriah pada
Ahad (3/4). Selain dihadiri oleh PWNU Bali, kegiatan yang dilaksanakan di GOR MAN Patas ini juga dihadiri oleh Wakil Bupati Buleleng Nyoman  Sujitra.

Kehadiran Nyoman di Buleleng ini menegaskan bahwa keberadaan Jamiyah NU di daerah yang mayoritas beragama Hindu ini bisa menjaga hubungan toleransi yang selama ini selalu menampilkan wajah Islam yang ramah dan damai.

Sujitra dalam sambutannya menyampaikan bahwa selama yang ia tahu, hanya ormas Islam NU yang paling berani mengangkat tema-tema kebhinekaan dan keutuhan NKRI.

“Oleh karenanya, saya sebagai pemerintah sangat berterima kasih kepada NU yang telah ikut serta menjaga keharmonisan di Buleleng” ungkapnya.

Sementara itu, rangkaian sidang pleno dan komisi pada konferensi ini berjalan dengan tertib dan lancar. Beberapa rekomendasi yang diamanatkan pada kepengurusan selanjutnya antara lain menghidupkan semarak ke-NU-an dengan membangkitkan kembali banom-banom yang vakum, indoktrinasi ke-Aswaja-an, penulisan sejarah masuknya Islam di Gerokgak, mendata ulang keanggotaan NU yang dilanjutkan penerbitan Kartu Tanda Anggota NU (KARTANU), dan lain-lain.

Peserta konferensi mengamanatkan Ustadz Harisuddin sebagai Rais Syuriyah NU dan H Ach Marzuqi sebagai Ketua NU periode 2016-2021.

Quraish Shihab Tokoh Perbukuan Islam 2009 (Oleh : HE Afrizal Sinaro Ketua IKAPI DKI)

Quraish Shihab Tokoh Perbukuan Islam 2009

Jakarta, NU Online
Cendekiawan muslim Prof Dr HM Quraish Shihab MA menerima penghargaan Islamic Book Fair (IBF) Award sebagai Tokoh Perbukuan Islam 2009.

Penghargaan berupa piala, sertifikat dan uang tunai diserahkan oleh Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta HE Afrizal Sinaro kepada mantan Menteri Agama tersebut dalam rangkaian acara pembukaan IBF ke-8 Tahun 2009 di Istora Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu.<>

Afrizal mengatakan, alasan diberikannya penghargaan Tokoh Perbukuan Islam 2009 kepada HM Quraish Shihab antara lain karena Quraish dinilai sudah terbukti mampu memberi inspirasi terhadap perkembangan perbukuan Indonesia melalui buku-buku karyanya.

Ia menyebut sejumlah buku karya Quraish Shihab yang cukup populer, fenomenal dan menjadi "best seller" seperti "Membumikan Al Qur`an (Bandung: Mizan, 1992) dan "Tafsir Al Mishbah", tafsir Al Qur?an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati).

Sejumlah buku lain karya HM Quraish Shihab di antara adalah "Tafsir Al Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya" (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984), "Filsafat Hukum Islam" (Jakarta: Departemen Agama, 1987), dan "Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah)" (Jakarta: Untagma, 1988).

"Selain itu, beliau (Quraish Shihab) juga dikenal sebagai tokoh agama dan pendidik, di samping beliau juga mendirikan penerbitan sendiri yakni Penerbit Lentera Hati. Jadi, beliau sangat pantas menerima penghargaan itu," katanya.

Dalam acara tersebut juga diserahkan empat penghargaan Buku Islam Terbaik IBF Award 2009 yakni pertama untuk kategori buku fiksi anak berjudul "Ibuku Chayank, Muach!" karya Sri Izzati (Penerbit Dar Mizan), kedua untuk kategori buku fiksi dewasa berjudul "The Road Ti The Empire" karya Sinta Yudisia (Penerbit Lingkar Pena Publishing House).

Sedangkan penghargaan ketiga untuk kategori buku non fiksi berjudul "Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager" karya Dr Muhammad Syafii Antonio, MEc (penerbit Tazkia Multimedia & ProLM Center dan keempat untuk kategori buku terjemahan terbaik berjudul "5 Tantangan Abadi Terhadap Agama" karya Saiyad Fareed Ahmad dan Saiyad Salahudin Ahmad yang diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam (penerbit Mizan).




Sementara itu, Quraish Shihab dalam sambutannya saat menerima penghargaan tersebut mengatakan, kata yang paling tepat terkait penghargaan ini adalah terimakasih dan Alhamdulillah.

"Sebenarnya saya merasa bukan orang yang tepat untuk menerima penghargaan ini. Saya sempat berpikir untuk tidak menerimanya karena masih banyak orang lain yang lebih baik, tetapi kalau menolak nanti bisa menimbulkan penafsiran-penafsiran, maka dengan penuh kerendahan hati, saya menerima dengan penuh syukur," katanya.

Ia berharap, penghargaan tersebut bisa menjadi pendorong bagi dirinya untuk lebih meningkatkan kiprah dan karyanya di bidang penulisan.

Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Makassar, Sulawesi Selatan, Quraish melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, Jawa Timur, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul Hadits Al Faqihiyyah.

Pada 1958, Quraish melanjutkan pendidikan ke Kairo, Mesir, hingga meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al Azhar. Pada 1969, ia meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran di universitas yang sama. Gelar doktor ia peroleh pada 1980 juga di universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, dalam ilmu-ilmu Al Quran. Quraish Shihab dipercaya sebagai Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (16 Maret 1998 sampai 21 Mei 1998). (ant/mad)

Dikutip dari NU.Online

Jumat, 15 Juli 2016

Renungan Tentang "KAFIR" (Oleh :Amiruddin Faisal)

Mendengar istilah “kafir” pikiran orang akan segera menunjuk kepada orang yang tidak mau mengakui keberadaan Tuhan. penolakan-penolakan ini biasanya berawal dengan tidak meyakini agama dengan segala atribut doktrin dan ritual ibadahnya.
Agama menjadi hal yang pertama diingkari tidak lain karena agama menjadi medium antara Tuhan dengan manusia. Agama seolah menjadi rumah Tuhan dan barang siapa yang ingin bertamu, berjumpa dengan-Nya maka harus lewat agama. Tanpa sadar atau tidak lambat laun agama memonopoli jalan menuju Tuhan, berjumpa dengan Tuhan. ini bukan salah agama, bagaimana pun juga agama sekedar alat (obyek) yang memaknai dan merubah tetaplah pemeluknya.
Akibat pemonopolian tersebut jika ada orang yang ingin berjumpa dengan Tuhan harus, rela atau terpaksa, masuk ke dalam salah satu agama. Bahkan “lakon” masuknya ke dalam salah satu agama belumlah cukup untuk “membenarkan” jalannya yang ingin berjumpa dengan Tuhan. Masih terjadi klaim, rebutan bahwa yang berhak dan paling sohih menjadi “pemandu” adalah hanya Agama “A”, Agama “B”.

Sungguh, manusia tidak memiliki kebebasan hanya sekedar untuk memilih jalannya menuju Tuhan. Parahnya jika ada “orang” yang berada di luar agama, belum atau memang tidak mau memeluk agama, maka tangan-tangan orang-orang beragama tadi akan segera menuding “orang” ini kafir, ingkar atau apalah bahasanya sesuai idiom masing-masing agama hanya sekedar menunjuk “The Other”, itu. Celakanya lagi, orang kafir halal darahnya untuk dilenyapkan. Untuk ditumpahkan agar tidak menjadi ‘rereget” dunia. Inilah akibat tatkala Tuhan telah dimonopoli agama. Belum lagi antar satu agama dengan agama lainnya juga terkesan saling curiga, tidak ada kemesraan.
Jika ada Pak Sabar yang Muslim sering blusukan ke gereja atau sering boncengan bareng dengan Mas Paulus yang Nasrani, maka seribu pertanyaan di benak masing-masing pemeluk agama segera berkeliaran: jangan-janga Pak Sabar...., jangan-jangan Mas Paulus..., kita benar-benar terkekang dengan “jangan-jangan”, terhimpit prasangka.

Sebenarnya siapa yang berhak memberikan predikat “KAFIR” pada manusia lain? Agamakah? Manusiakah? Jawabannya: ya si empunya manusia itu sendiri. Tuhan yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa lah yang tahu desiran hati manusia, yang tahu keingkaran-keingkaran manusia yang paling lembut dan tersembunyi sekalipun. Tuhanlah yang memegang hak ciptanya, bukan yang lain. “Bila engkau tidak mau disebut menyekutukan Dia, maka jangan sekali-sekali menggusur hak Dia, kecuali kalau kamu memang berniat mau menyaingi Tuhan semesta Alam...”. kewajiban kita adalah terus-menerus belajar memahami berbagai macam hal dari ciptaan-Nya, termasuk memahami ciptaan-Nya juga banyak yang saling bebeda, bahkan lebih ekstrem saling bertentangan sifatnya, bertentangan jenisnya, bertentangan posisinya, bertentangan perannya dan sebagainya.


#‎Keragaman‬ adalah kerbau membiarkan kambing manjadi kambing, dan kambing mempersilahkan kerbau menjadi kerbau. Jelas kambingnya, jelas kerbaunya, sehingga plural. Kalau kerbau “ tidak boleh menonjolkan kekerbauannya” dan kambing “jangan menonjolkan kekambingannya” .#

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat (Oleh M Kholid Syeirazi, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlaul Ulama PP ISNU)

Toleransi Beragama: Perbedaan itu Rahmat
Oleh M Kholid Syeirazi

NU.Online
Wahyu dalam bentuk Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW. Sebagai penerima wahyu, Rasulullah SAW adalah orang paling mengerti maksud dan isi Al-Qur’an. Di zaman Rasulullah SAW, perbedaan sahabat dalam memahami ayat langsung bisa dikonfirmasi kepada Rasulullah. Beliau adalah hakam, pemberi kata putus dalam setiap perbedaan pendapat.

Terkadang perbedaan pendapat dalam memahami nash, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits dibiarkan Rasulullah SAW tanpa dicelanya. Sejak zaman Rasulullah SAW sudah ada kecenderungan sekelompok sahabat yang memahami bunyi nash apa adanya dan juga ada juga sekelompok lain yang tidak letterlijk serta menyertakan rasio dalam memahami nash.

Ketika perang parit, Bani Qurayzhah yang telah menekan perjanjian damai dengan Rasulullah Saw berkhianat. Mereka membelot, bersekutu dengan kafir Quraisy menjanjikan bantuan untuk memerangi Rasulullah dalam perang Khandaq. Selepas zuhur, Jibril datang membawa perintah agar Rasulullah Saw menyerbu benteng Bani Qurayzhah. Panji pasukan diserahkan kepada Ali Ra dan Rasulullah bersabda: “Lâ yushalliyanna ahadun al-ashra illâ fî banî Qurayzhah” (Jangan kalian shalat asar kecuali di Bani Qurayzhah)

Peristiwa ini diceritakan oleh Ibnu Hisyâm dalam Sîrah-nya yang legendaris, diriwayatkan oleh Imâm Bukhâri dalam Sahîh Bukhâri ‘Kitâb al-Maghâzi,’ diberikan syarah panjang lebar oleh Ibnu Hajar Al-Asqalanî dalam Fathul Bâri. Azhim Abadi membahas hadits ini dalam Awnul Ma’bûd Syarah Sunan Abî Dâwud“ dalam Kitâb al-Qadhâ Bâb Ijtihâd al-Ra’y fil Qadha” (Lihat Ibnu Hisyâm, As-Sîrah An-Nabawiyyah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2001, halaman 462-463; Ibn Hajar Al-Asqalanî, Fathul Bâri, Beirut: Dâr Ihyâ’it Turâts Al-Arabî, 1988, Juz 7, halaman 327-329; Syamsul Haq Al-Azhîm Abadî, Awnul Ma’bûd Syarah Sunan Abî Dâwud, Kairo: Darul Hadits, 2001, Juz 6, halaman 427-428).

Diriwayatkan, di tengah perjalanan, waktu shalat asar masuk padahal mereka belum sampai perkampungan Bani Qurayzhah. Sahabat terbelah dalam dua kubu. Kubu pertama enggan shalat asar berdasarkan bunyi harfiah perkataan Nabi “Jangan kalian shalat asar kecuali di Bani Qurayzhah.” Kubu kedua melaksanakan shalat asar di tengah jalan. Mereka memahami perkataan Nabi tidak secara letterlijk, tetapi secara rasional. Menurut mereka, maksud ucapan Nabi adalah kita disuruh segera bertindak sehingga dapat melaksanakan shalat asar di  perkampungan Bani Qurayzhah. Begitu tidak tercapai, shalat asar harus dilaksanakan selagi ada kesempatan. Kubu pertama akhirnya baru dapat melaksanakan shalat asar setelah masuk shalat isya.’

Kejadian ini dilaporkan kepada Rasulullah saw dan beliau tidak mencela salah satunya. Wahyu juga tidak turun membenarkan satu kelompok, dan menyalahkan kelompok lain. Artinya, ijtihad dua kelompok sahabat yang tekstual dan yang rasional diakui, karena dalam ijtihad, yang benar dan yang salah sama-sama diganjar pahala. Yang benar dapat dua pahala, yang salah dapat satu pahala. Menurut Azhim Abadi, kubu pertama adalah penduhulu kelompok tekstualis (salafu ahliz zhahir), kubu kedua adalah penduhulu kelompok logis (salafu ashâbil ma’nâ wal qiyâs). Sikap Rasulullah yang arif bijaksana membuat dua kelompok sahabat toleran, saling menghormati dan menghargai perbedaan pandangan.

Masalahnya, sepeninggal Rasulullah Saw umat Islam kehilangan sumber hidup yang dapat memutus dan menyelesaikan pertentangan. Al-Qur’an satu, tetapi penafsirannya sebanyak isi kepala sahabat dan umat sepeninggalnya. Rasulullah Saw meninggalkan sunah, tetapi banyak versi riwayat ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi dan juga pemahaman umat terhadapnya. Menjadi semakin kompleks karena ada kubu yang mulai memaksakan pandangan mereka dan kehilangan toleransi untuk mengakui pandangan kelompok lain.

Ketika perang Shiffin sekelompok orang keluar dari barisan Ali dan Mu’awiyah, mencela dan mengafirkan keduanya, dan mengusung slogan “lâ hukma illallâh.” Proses arbitrase (tahkîm), yang kemudian secara curang dimenangkan kubu Mu’awiyah, oleh kelompok yang kelak dikenal sebagai Khawarij ini dianggap mengingkari hukum Allah. Pelakunya kafir dan harus diperangi. Di sinilah tradisi takfir dimulai.

Pada zaman sahabat perbedaan tajam sering kali terjadi. Umar yang tidak membagi rampasan perang (fai') berupa tanah pertanian di Syam dan sekitarnya ditentang oleh Bilal dan sahabat lain karena dianggap menyelisihi bunyi nash Al-Qur’an (tentang ijtihad Umar Ra, lihat Muhammad Bultajiy, Manhaj Umar ibnil Khattâb fit Tasyrî (Kairo: Dârul Fikr Al-Arabî, 1970). Namun, setajam apa pun pertentangan di antara sahabat, tidak ada takfir. Khawarij memulai tradisi pemaksaan pendapat dengan takfir dan kekerasan. Ali Ra wafat setelah ditikam oleh pengikut Khawarij, Abdurrahman bin Muljam. Ali Ra berkali-kali menampik slogan Khawarij “lâ hukma illallâh” dengan menyatakan “kalimatu haqqin yurâdu bihal bâthil” (ungkapan benar, tetapi digunakan untuk tujuan salah).

Saling menghargai perbedaan pendapat, terutama dalam perkara furû’, mutlak diperlukan untuk mewujudkan ukhuwwah Islâmiyyah. Persaudaraan umat Islam tidak mungkin terwujud dalam suasana takfir dan penyesatan. Beragamalah dengan ilmu! Jangan gunakan jargon “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits” seperti kaum Khawarij menggemakan slogan “lâ hukma illallâh.”

Al-Qur’an satu, tetapi penafsiran terhadapnya sebanyak isi kepala para mufassir. Ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari banyak jenis, kita mengetahuinya dari para ulama yang merumuskan disiplin Ulûmul Qur’an. Al-Qur’an tidak bisa dicuplik satu dua ayat, dipotong sepenggal-sepenggal sesuai kepentingan partisan. Hadits ada berbagai tipe, diriwayatkan banyak rawi, sampai ke tangan kita atas jasa para ulama yang telah membukukan ucapan Rasulullah Saw, menyeleksinya berdasarkan kategori hadis shahih, hasan, dan dha’if.

Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits hanya berhenti sebagai jargon bagi orang yang baru membaca Al-Qur’an dan mengerti satu dua hadits dari majelis taklim. Saya sendiri tidak berani menafsirkan Al-Qur’an, hatta satu ayat, tanpa membuka cara ulama sejak sahabat hingga tabi’, tabi’in menafsirkannya sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab tafsir. Begitu pun dalam memahami hadits, saya terikat dengan kitab-kitab hadits (kutubus sittah) yang diakui otentisitasnya serta syarah ulama yang diakui keilmuannya terhadap kitab-kitab tersebut. Itulah tradisi ilmiah! Jangan potong dengan ucapan sapu jagat “Mari Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits,” tetapi baca Al-Qur’an saja masih tersendat-sendat.

Beragamalah dengan akal! Hargai perbedaan pendapat, yang bahkan sudah terjadi di kalangan sahabat sejak zaman Rasulullah Saw seperti ditunjukkan dalam insiden Bani Qurayzhah. Toleransi hanya dapat terwujud jika masing-masing punya pedoman: “Pendapat saya benar, tetapi bisa jadi salah. Pendapat orang lain salah, tetapi bisa jadi benar.” Tidak ada pemutlakan, tidak ada penyesatan apalagi takfir dan kekerasan.

Jangan gunakan standar ganda! Jika saya kritik cara pemahaman kelompok tekstualis, mereka bilang saya memecah belah umat. Tetapi jika ustadz-ustadz mereka menulis di blog dan ceramah di youtube yang membid’ah-bid’ahkan dan bahkan menyesat-nyesatkan amaliah NU, mereka bilang itu amar ma’ruf nahi munkar. Kembalilah kepada kebenaran. Tidak ada kebenaran mutlak sejauh di tangan manusia. Kebenaran manusia selalu relatif, karena akal manusia nisbi. Hanya kebenaran Allah yang benar-benar benar! Itulah sejatinya kebenaran.


*) M Kholid Syeirazi, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlaul Ulama (PP ISNU)

Kang Said: Lebaran Ketupat Tradisi Islam Nusantara (Oleh : Hadi/Alhafiz K)

Kang Said: Lebaran Ketupat Tradisi Islam Nusantara

NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut lebaran ketupat sebagai salah satu tradisi khas Islam Nusantara. Menurut Kang Said, Islam Nusantara bukan aliran baru. Islam Nusantara merupakan cara masyarakat Nusantara mempraktikkan Islamnya.
Demikian disampaikan Kang Said pada perayaan lebaran ketupat yang diselenggarakan Pemkab Lombok Tengah. Dalam perayaan yang diisi dengan tabligh akbar dan halal bihalal bertema Pererat dan Perkokoh Silaturahmi, Ukhuwah Mewujudkan Lombok Tengah Bersatu, Kang Said sebelumnya menyampaikan ucapan terimakasih telah mendapat sambutan hangat.
"Tujuan manusia dilahirkan salah satunya adalah amanah insaniah yaitu saling menjalin hubungan silaturahmi antarsesama manusia," kata Kang Said.
Sementara lebaran ketupat, lanjutnya, adalah salah satu tradisi Islam Nusantara di mana Muslim di sini bukan sekadar menyantap ketupat, tetapi saling memaafkan satu sama lain.
Menurutnya, yang mengakibatkan rusaknya hubungan tali silaturahmi antarsesama adalah kepentingan atau hawa nafsu.
"Kita tidak boleh gengsi dalam maaf-memaafkan. Segeralah meminta maaf tanpa memandang gelar, pangkat, jabatan. Sesungguhnya maaf-memaafkan perbuatan terpuji yang dimuliakan," ajaknya di hadapan puluhan tuan guru serta ribuan masyarakat Lombok Tengah.

Lebaran ketupat ini merupakan tradisi yang rutin diadakan di Lombok setiap tanggal 8 Syawwal. Tampak hadir tuan guru se-Lombok Tengah.
"Hajatan ini tujuannya untuk mempererat tali silaturahmi pemerintah beserta masyarakat Lombok Tengah," kata Bupati Lombok Tengah TGH M Suhaili Fadil Tohir dalam sambutannya pada perayaan yang digelar di Bencingah Tastura Praya, Lombok Tengah, Rabu (13/7).
Ia berharap kepada seluruh jajarannya untuk selalu menjaga kebersamaan dalam membangun Kabupaten Lombok Tengah yang beriman, berbudi, dan sejahtera.
Bupati yang menjabat dua periode ini juga menyampaikan ucapan terima kasihnya terutama atas kehadiran Kang Said pada tradisi lebaran ketupat di Lombok Tengah. "Harus kita selalu bersyukur kepada Allah SWT," ajaknya. (Hadi/Alhafiz K)

Kamis, 14 Juli 2016

Kang Said: Lebaran Ketupat Tradisi Islam Nusantara

Kang Said: Lebaran Ketupat Tradisi Islam Nusantara

NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut lebaran ketupat sebagai salah satu tradisi khas Islam Nusantara. Menurut Kang Said, Islam Nusantara bukan aliran baru. Islam Nusantara merupakan cara masyarakat Nusantara mempraktikkan Islamnya.

Demikian disampaikan Kang Said pada perayaan lebaran ketupat yang diselenggarakan Pemkab Lombok Tengah. Dalam perayaan yang diisi dengan tabligh akbar dan halal bihalal bertema Pererat dan Perkokoh Silaturahmi, Ukhuwah Mewujudkan Lombok Tengah Bersatu, Kang Said sebelumnya menyampaikan ucapan terimakasih telah mendapat sambutan hangat.

"Tujuan manusia dilahirkan salah satunya adalah amanah insaniah yaitu saling menjalin hubungan silaturahmi antarsesama manusia," kata Kang Said.

Sementara lebaran ketupat, lanjutnya, adalah salah satu tradisi Islam Nusantara di mana Muslim di sini bukan sekadar menyantap ketupat, tetapi saling memaafkan satu sama lain.

Menurutnya, yang mengakibatkan rusaknya hubungan tali silaturahmi antarsesama adalah kepentingan atau hawa nafsu.

"Kita tidak boleh gengsi dalam maaf-memaafkan. Segeralah meminta maaf tanpa memandang gelar, pangkat, jabatan. Sesungguhnya maaf-memaafkan perbuatan terpuji yang dimuliakan," ajaknya di hadapan puluhan tuan guru serta ribuan masyarakat Lombok Tengah.

Lebaran ketupat ini merupakan tradisi yang rutin diadakan di Lombok setiap tanggal 8 Syawwal. Tampak hadir tuan guru se-Lombok Tengah.

"Hajatan ini tujuannya untuk mempererat tali silaturahmi pemerintah beserta masyarakat Lombok Tengah," kata Bupati Lombok Tengah TGH M Suhaili Fadil Tohir dalam sambutannya pada perayaan yang digelar di Bencingah Tastura Praya, Lombok Tengah, Rabu (13/7).

Ia berharap kepada seluruh jajarannya untuk selalu menjaga kebersamaan dalam membangun Kabupaten Lombok Tengah yang beriman, berbudi, dan sejahtera.

Bupati yang menjabat dua periode ini juga menyampaikan ucapan terima kasihnya terutama atas kehadiran Kang Said pada tradisi lebaran ketupat di Lombok Tengah. "Harus kita selalu bersyukur kepada Allah SWT," ajaknya. (Hadi/Alhafiz K)

Kang Said: Lebaran Ketupat Tradisi Islam Nusantara
Loteng, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut lebaran ketupat sebagai salah satu tradisi khas Islam Nusantara. Menurut Kang Said, Islam Nusantara bukan aliran baru. Islam Nusantara merupakan cara masyarakat Nusantara mempraktikkan Islamnya.

Demikian disampaikan Kang Said pada perayaan lebaran ketupat yang diselenggarakan Pemkab Lombok Tengah. Dalam perayaan yang diisi dengan tabligh akbar dan halal bihalal bertema Pererat dan Perkokoh Silaturahmi, Ukhuwah Mewujudkan Lombok Tengah Bersatu, Kang Said sebelumnya menyampaikan ucapan terimakasih telah mendapat sambutan hangat.

"Tujuan manusia dilahirkan salah satunya adalah amanah insaniah yaitu saling menjalin hubungan silaturahmi antarsesama manusia," kata Kang Said.

Sementara lebaran ketupat, lanjutnya, adalah salah satu tradisi Islam Nusantara di mana Muslim di sini bukan sekadar menyantap ketupat, tetapi saling memaafkan satu sama lain.

Menurutnya, yang mengakibatkan rusaknya hubungan tali silaturahmi antarsesama adalah kepentingan atau hawa nafsu.

"Kita tidak boleh gengsi dalam maaf-memaafkan. Segeralah meminta maaf tanpa memandang gelar, pangkat, jabatan. Sesungguhnya maaf-memaafkan perbuatan terpuji yang dimuliakan," ajaknya di hadapan puluhan tuan guru serta ribuan masyarakat Lombok Tengah.

Lebaran ketupat ini merupakan tradisi yang rutin diadakan di Lombok setiap tanggal 8 Syawwal. Tampak hadir tuan guru se-Lombok Tengah.

"Hajatan ini tujuannya untuk mempererat tali silaturahmi pemerintah beserta masyarakat Lombok Tengah," kata Bupati Lombok Tengah TGH M Suhaili Fadil Tohir dalam sambutannya pada perayaan yang digelar di Bencingah Tastura Praya, Lombok Tengah, Rabu (13/7).

Ia berharap kepada seluruh jajarannya untuk selalu menjaga kebersamaan dalam membangun Kabupaten Lombok Tengah yang beriman, berbudi, dan sejahtera.

Bupati yang menjabat dua periode ini juga menyampaikan ucapan terima kasihnya terutama atas kehadiran Kang Said pada tradisi lebaran ketupat di Lombok Tengah. "Harus kita selalu bersyukur kepada Allah SWT," ajaknya. (Hadi/Alhafiz K)

Kang Said: Lebaran Ketupat Tradisi Islam Nusantara
Loteng, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut lebaran ketupat sebagai salah satu tradisi khas Islam Nusantara. Menurut Kang Said, Islam Nusantara bukan aliran baru. Islam Nusantara merupakan cara masyarakat Nusantara mempraktikkan Islamnya.

Demikian disampaikan Kang Said pada perayaan lebaran ketupat yang diselenggarakan Pemkab Lombok Tengah. Dalam perayaan yang diisi dengan tabligh akbar dan halal bihalal bertema Pererat dan Perkokoh Silaturahmi, Ukhuwah Mewujudkan Lombok Tengah Bersatu, Kang Said sebelumnya menyampaikan ucapan terimakasih telah mendapat sambutan hangat.

"Tujuan manusia dilahirkan salah satunya adalah amanah insaniah yaitu saling menjalin hubungan silaturahmi antarsesama manusia," kata Kang Said.

Sementara lebaran ketupat, lanjutnya, adalah salah satu tradisi Islam Nusantara di mana Muslim di sini bukan sekadar menyantap ketupat, tetapi saling memaafkan satu sama lain.

Menurutnya, yang mengakibatkan rusaknya hubungan tali silaturahmi antarsesama adalah kepentingan atau hawa nafsu.

"Kita tidak boleh gengsi dalam maaf-memaafkan. Segeralah meminta maaf tanpa memandang gelar, pangkat, jabatan. Sesungguhnya maaf-memaafkan perbuatan terpuji yang dimuliakan," ajaknya di hadapan puluhan tuan guru serta ribuan masyarakat Lombok Tengah.

Lebaran ketupat ini merupakan tradisi yang rutin diadakan di Lombok setiap tanggal 8 Syawwal. Tampak hadir tuan guru se-Lombok Tengah.

"Hajatan ini tujuannya untuk mempererat tali silaturahmi pemerintah beserta masyarakat Lombok Tengah," kata Bupati Lombok Tengah TGH M Suhaili Fadil Tohir dalam sambutannya pada perayaan yang digelar di Bencingah Tastura Praya, Lombok Tengah, Rabu (13/7).

Ia berharap kepada seluruh jajarannya untuk selalu menjaga kebersamaan dalam membangun Kabupaten Lombok Tengah yang beriman, berbudi, dan sejahtera.

Bupati yang menjabat dua periode ini juga menyampaikan ucapan terima kasihnya terutama atas kehadiran Kang Said pada tradisi lebaran ketupat di Lombok Tengah. "Harus kita selalu bersyukur kepada Allah SWT," ajaknya. (Hadi/Alhafiz K)

Rabu, 13 Juli 2016

Deradikalisasi Nusantara (Oleh: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA)

Deradikalisasi Nusantara
Oleh: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA

Sebuah buku bertajuk Deradikalisasi Nusantara buah karya Mayjen TNI Agus Surya Bakti yang kini menjabat Pangdam Wirabuana. Dari judulnya menyiratkan suatu gagasan besar pencegahan terorisme yang digayutkan dengan kearifan budaya Nusantara.
Tampaknya gagasan ini sepakat dengan ”Islam Nusantara” yang saat ini terus didengungkan dalam rangka mencegah radikalisme.
Tentu gagasan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh membesar karena dipacu oleh kegelisahan tentang negeri tercinta ini yang belakangan terus didera oleh ancaman kekerasan dan terorisme. Benih radikalisme yang sudah kadung ditanam dan disebar oleh para idiolognya sudah menyemai serta memakan banyak korban. Tak gampang menghabisi virus yang sudah menjangkit. Perlu ”rekam medis” dan ”obat penawar” yang tepat guna menghalau sumber penyakit yang akan menggerogoti keindonesiaan kita.

Wabah kebiadaban
Ancaman aksi terorisme masih menjadi bayangan kelam di 2016. Kasus-kasus hilangnya beberapa orang dengan ragam profesi diduga terjerat jaringan radikalisme. Tiba-tiba kita dihebohkan oleh kehadiran kelompok Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang ditengaraisebagai ”NII gaya baru”.
Senyampang itu, mata dunia terus terbelalak dengan berbagai tindakan ngawur para teroris seperti polah biadab ISIS. Sungguh suatu perbuatan yang tak masuk akal yang mengusik tanya, ajaran apa yang membuat mereka ini bertindak sedemikian kacau. Cobalah kita baca, seorang pemuda di Suriah menembak mati ibu kandungnya di hadapan khalayak ramai lantaran ibunya melarangnya bergabung dengan ISIS.

Di negeri kita, ”aroma” seperti itu sudah mulai tercium walaupun tidak sebiadab di Timur Tengah. Terjadinya ”pecah kongsi” antara anak dan orangtuanyaakibat perbedaan pandang keagamaan. Atau menghilangnya beberapa orang yang terbuai rayuan kelompok radikal tanpa hirau dengan nasihat keluarganya lantaran keluarganya sudah dianggap ”kafir”.
Sikap dan tindakan radikal (tanathu’, tasyaddud) memang bukan barang baru. Ia tak pernah mati gaya. Ibarat dunia fashion akan terus melahirkan gaya yang baru yang bisa membuat orang akan mudah terpana. Radikalisme bak ”korporasi”, banyak akal untuk menciptakan sesuatu yang dalam penampakannya ”baru”. Ada daya upaya untuk menyiasati agar produknya bisa laku keras di pasaran.
Para ”inovator” radikalisme akan selalu berusaha menciptakan penampilan baru, papan nama baru, busana baru, atau bendera baru. Soal ”isi” tak penting karena bisa mencomot yang sudah ada dan diyakini ”baku” (dogma). Para penggerak radikalisme ini bisa mengendus ”permintaan pasar”, apa yang dibutuhkan masyarakat, di saat-saat adanya kesenjangan ekonomi, kekisruhan politik, krisis keteladanan, ketidakadilan, atau juga kekaburan masalah keagamaan. Mereka dengan sigap tampil menyodorkan ”solusi” yang tampak menjanjikan.

Produk-produk yang mereka lahirkan pun tampak ”diversifikatif” kendati itu hanya pada tataran permukaan. Mereka memandang dengan ”mata elang”-nya bahwa ajaran Islam telah banyak terselewengkan. Mereka meracau dan mengecam tatanan modern sebagai biang keladi kekeruhan sosial dan agama.
Dengan kelebihan ”hormon” literalismenya, mereka memandang bahwa segala tafsir terhadap ajaran Islam selama ini telah melenceng jauh dari kebenaran. Namun, anehnya, mereka menampilkan rujukan sosok yang mereka pandang sebagai ”mu’tabar” (otoritatif). Seperti halnya pemimpin ISIS, yaitu Abdurrahman al-Baghdadi yang tidak jelas ”sanad’-nya, justru dipandang sebagai ”amirul mukminin”.

Begitulah, penampakan kelompok-kelompok radikal senantiasa beragam rupa. Mereka ada yang hanya fokus pada masalah ”pemurnian” ajaran Islam dengan slogannya mengganyang segala bentuk bid’ah atau khurafat yang tampil dalam tradisi masyarakat. Menurut keyakinan mereka, Islam akan menjadi ”jaya dan besar” (ya’lu wa la yu’la ’alaihi) bila dakwah diarusutamakan pada pemberangusan apa yang mereka sebut sebagai bid’ah.
Dalam level gaya yang lain, mereka ada yang lebih mengedepankan jalan ”militansi” dengan cara membuat gerakan militeristik (I’dad askari) demi menghancurkan segala bentuk penampakan yang mereka kutuk sebagai ”thoghut”.
Betapapun gaya mereka tampak beda, ada common platform yang menyatukan pandangan mereka. Mereka sama-sama menolak terhadap segala hal yang berbau bid’ah. Maksudnya, baik yang tampil gaya ”moderat” maupun yang jelas-jelas radikal, sama-sama digelorakan oleh semangat ”jihad” pemurnian agama. Mereka menolak segala bentuk ”inovasi budaya” terutama bila disangkutkan dengan agama. Ya, mereka mengalami ”kebutaan budaya” karena pemahaman picik. Coba kita lihat, apa yang telah dilakukan ISIS saat berhasil menguasai suatu daerah. Mereka menghancurkan situs-situs purbakala karena dipandang sebagai tempat syirik.

Kebajikan Nusantara
Negeri kita punya ”warisan” radikalisme. Tak perlu banyak jabaran, kita cukup menatapi hingga kini banyak ”area” yangmenjadi ”lahan” persemaian puritanisme dan radikalisme. Semakin membesarnya kelompok radikal, semakin besar pula penolakan mereka terhadap budaya Nusantara. Seolah inilah ”nasib” kita yang sampai detik ini tak pernah sepi dari munculnya kelompok radikal baik radikal ”kelas pinggiran” maupun radikal ”kelas eksekutif”. Tak heran,ketikaada ”ekspor” paham keagamaan anti budaya seperti ISIS yang terus menabur badai, maka selalu ada yang menuainya.
Saatnyakita menoleh pada moderatisme pesantren yang senantiasa disinari oleh sebuah kredo ”almuhafadztu ’alal qodim al-sholih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan tradisi lama dan mengambil hal-hal baru yang bermanfaat. Kredo ini melahirkan sikap ”melek budaya” sehingga agama mampu bersanding harmonis dengan budaya lokal. Kearifan lokal yang tersebar di Nusantara menjadi ”pasangan” bagi agama yang perlu dirawat dan diruwat karena di dalamnya mengandung ajaranyang adiluhung.

Di sinilah pentingnya mengembalikan anak bangsa yang terserang virus radikalisme pada akarnya, yaitu budaya bangsa. Kearifan lokal, seperti tradisi gotong royong, sikap harmoni dan toleransiadalah laksana sumur yang tak pernah kering betapapun di musim kemarau. Ia akan selalu memancarkan mata air keteduhan di tengah sengatan kegalauan.
Pendekatan keagamaan ternyata tak niscaya mampu meredam radikalisme. Kadang kala justru makin ”berkobar’ karena perbedaan pijakan dalil keagamaan. Masing-masing bersikukuh lantaran merasa paling benar. Walhasil, ”kebajikan Nusantara” harus menjadi ”obat penawar” bagi upaya deradikalisasi terhadap mereka yang galau dan radikal. Para aktor radikal harus diberi pencerahan melalui nilai-nilai budaya bangsa. Inilah keindonesiaan kita, kesadaran kita.

KOMPAS, 20 Januari 2016
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA | Ketua Umum PBNU

Sabtu, 09 Juli 2016

Tamu Wali yang Diistimewakan Oleh Gus Dur (Oleh:Ayah Debay)

Tamu Wali yang Diistimewakan Oleh Gus Dur
Oleh : Ayah Debay

Sebagai tokoh yang dihormati dan dikagumi banyak orang, rumah Gus Dur tak pernah sepi dari kunjungan para tamu, baik dari warga NU, pejabat, politisi, wartawan dan sebagainya.
Gus Dur menerima tamu-tamunya biasanya dengan pakaian non formal. Karena kondisi fisiknya yang sudah lemah, biasanya para tamu diajak mengobrol sambil tiduran.
Nuruddin Hidayat, salah satu santri Gus Dur suatu ketika merasa terheran-heran ketika ada tamu, Gus Dur minta untuk digantikan pakaiannya dengan kain sarung dan peci, seperti ketika mau sholat Idul Fitri. Seumur-umur ia belum pernah melihat Gus Dur seperti itu.
Rombongan tamu tersebut sampai ditahan-tahan agar tidak masuk rumah dahulu, sampai Gus Dur dipinjami salah satu sarung milik santrinya agar bisa cepat berganti pakaian.
Tamu, yang diketahuinya ternyata dari Aceh tersebut berpakaian sederhana, dekil, dan memakai celana seperti yang biasa dipakai oleh bakul dawet (penjual dawet). Tamu tersebut diantar oleh aktifitis Aceh.

Perilaku Gus Dur dan tamunya juga aneh. Setelah keduanya bersalaman, Gus Dur pun duduk di karpet, demikian pula tamunya, tetapi tak ada obrolan diantara keduanya. Gus Dur tidur, tamunya juga tidur, suasana menjadi sunyi yang berlangsung sekitar 15 menit.

Setelah sang tamu bangun, ia langsung pamit pulang, tak ada pembicaraan.
Udin, panggilan akrab Nuruddin, karena merasa penasaran, segera setelah tamu pergi bertanya kepada Gus Dur.
Udin: “Gus, ngak biasanya menerima tamu seperti ini”
Gus Dur: “Itu Wali”
Udin: “Apa ada wali seperti itu selain beliau di Indonesia”
Gus Dur: “Tidak ada, adanya di Sudan”
"Orang yang sangat dihormati Gus Dur tersebut ternyata adalah almarhum Tgk Ibrahim Woyla dari Woyla Aceh Barat."
Tokoh ini merupakan orang yang sangat dihormati di Aceh. Masyarakat Aceh memanggilnya "Tgk Beurahim Wayla" dan percaya bahwa ia sering menunaikan sholat Jum’at di Makkah dan kembali pada hari itu juga.
Menurut Cerita, masyarakat disana, dia bisa berjalan cepat dan lebih cepat dari mobil. Dia jarang naik bus, tapi lebih senang berjalan kaki. Ia juga dipercaya bisa menghilang
Ada orang yang menyebutnya sebagai "dewa tidur", yang menghabiskan hari-harinya dengan tidur. Tgk.Ibrahim Woyla juga bisa mengetahui perilaku seseorang dan sering sekali orang yang menemui beliau dibacakan kesalahannya untuk di perbaiki.
Sebelum terjadinya tsunami, Abu Ibrahim yang pernah mengatakan ''air laut bakal naik sampai setinggi pohon kelapa, terbukti tsunami. Posisi tidur Abu yang dianggap aneh (melengkung/meukewien) ucapannya sedih melihat manusia banyak seperti hewan serta mengatakan dunia ini sudah semakin sempit dan masih banyak cerita gaib yang menjadi kan ulama kharismatik ini selalu dicari-cari hanya untuk dimintai berkahnya.
Tokoh kharismatik ini baru meninggal Juli 2009 lalu dalam usia 90 tahun di kediamannya di Desa Pasi Aceh Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat dan dikebumikan tak jauh dari rumahnya. Ribuan pelayat memberinya penghormatan terakhir.

Kamis, 07 Juli 2016

Tuhan, Nabi, Khulafaurrosyidin Tak Perintahkan Buat Negara Khilafah

Semangat pendukung negara khilafah kembali marak di media massa setelah aksi teroris di Paris yang berhasil membunuh 132 orang warga sipil yag tak berdosa. Aksi teroris ini  mendapat sambutan positif dari jaringan-jaringan teroris di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Bahkan sejumlah situs radikal kembali memposting tentang kewajiban umat Islam untuk mendirikan negara khilafah dengan mengangkat sejumlah Hadis yang dianggap sebagai perintah agar umat Islam mendirikan negara khilafah.

Khilafah yang dimaksud oleh kelompok radikal ini adalah khilafah ala manhajinnubuwwah atau khilafah yang menganut sistim yang diberlakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para  Khulafaurrasyidin yaitu; Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib bukan khilafah setelah sahabat-sahabat Nabi, tapi yang dimaksud seperti khilafah Umawiyyah, Abbasyia dan Usmania.

Pertanyaannya benarkah nabi meminta kepada umatnya untuk mendirikan negara khilafah seperti yang diutarakan oleh kelompok radikal yang ingin mendirikan khilafah? Apakah nabi Muhammad Saw telah mendirikan pemerintahan khilafah pada masanya sebagaimana yang didengun-dengunkan oleh pendukung negara khilafah? Bagaimanakah bentuk negara khilafah itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, nampaknya kita harus kembali ke sejarah dan memahami baik-baik teks Islam tentang pemerintahan sehingga tidak rancau dalam mengusung sebuah idealisme yang sangat sulit diwujudkan.
Saya pikir semua umat Islam sepakat bahwa Islam tidak menjelaskan bentuk pemerintahan apapun yang ingin dilaksanakan oleh umatnya, bahkan ketika Nabi meninggal, beliau tidak berpesan kepada siapapun untuk menjalankan sebuah bentuk pemerintahan. Ia hanya berpesan agar senantiasa berpegang teguh kepada Alquran dan Sunnahnya. Bentuk pemerintahan Islam juga sama sekali tidak dijelaskan dalam Alquran dan Hadis-hadis nabi Muhammad Saw, apakah negara Islam itu berbentuk Monarki sebagaimana umumnya negara Arab saat ini atau bentuk republik sebagaimana mayoritas negara di dunia saat ini yang mengadopsi sistim demokrasi, semuanya tergantung kepada umatnya.
Nabipun tidak menetapkan suatu sistim dalam pemerintahannya dan tidak mengklaim bahwa apa yang dijalankan adalah sistim khilafah. Islam hanya mendorong umatnya agar tetap menjunjung tinggi esensi-esensi islam dan menjadikan islam sebagai pedoman hidup untuk kebahagian dunia dan akhirat tanpa menentukan bentuk pemerintahan yang harus dijalankan. Yang terpenting bagi Islam adalah menjalankan esensi-esensi islam yang meliputi aqidah, syariah  dan ihsan atau moral. Adapun bentuk pemerintahan seperti, khilafah sama sekali tidak disinggung dalam Islam baik di dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad Saw.

Jika kita mengamati lebih dalam sistim yang dijalankann Nabi Muhammad Saw selama di Madinah adalah cenderung mirip dengan sistim pemerinhan konfederasi, dimana kepala-kepala suku tetap berkuasa dalam komunitas sukunya dan menentukan sistim adminsitrasi yang dikehendaki baik dalam memilih maupun dalam menentukan kebijakan. Nabi tidak ikut campur terhadap urusan internal setiap suku dan sepenuhnya menyerahkan kepada kepala-kepala sukunya untuk mengatur urusannya. Yang menjadi perhatian Nabi adalah bagaimana setiap kepala suku mewujudkan masyarakat yang Islami yang menghormati hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap kaum dhuafa serta perhatian kaum pakir misikin dan kaum wanita. Posisi Nabi Muhammad Saw di kalangan kepala suku bukanlah  khalifah atau Amir atau raja akan tetapi ia adalah guru (muallim) kepada semua kepala-kepala suku termasuk suku yang belum menganut Islam atau agama lain di Madinah. Kepala suku dan tokoh agama tetap berkuasa dalam lingkungannya dan mengatur masing-masing urusan dalam sukunya tanpa keterlibatan Rasulullah. Pelaksanaan hukum dalam satu komunitas suku tetap mengacu kepada kebiasaan setiap suku dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam setiap komunitasnya. Nabi hanya mengarahkan dan mengajarkan tentang penyelesaian setiap kasus yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Sistim ini seperti yang dikatakan di atas adalah sama dengan sistim pemerintahan konfederasi.

Ketika Abu Bakar Assiddiq hingga Ali Bin Abi Tholib menjadi khalifah, mereka tetapi mengikuti gaya Rasulullah Saw dalam menjalankan kekuasaannya. Karena wilayah Islam telah meluas ke benua Afrika dan wilayah Persia maka para khalifah menunjuk Gubernur-Gubernur di setiap wilayah untuk mengatur urusan dalam wilayah tersebut. Sistim yang dijalankan oleh para Khulafaurrasyidin ini sama dengan sistim yang dijalankan oleh sejumlah negara di dunia ini termasuk Indonesia. Artinya Khalifah dipilih setelah dibaiat oleh umat dan Ahlul Halli wal Aqd dan menunjuk Gubernur-gubernur di setiap wilayah dan selanjutnya Gubernur-Gubernur ini menunjuk pembantu-pembantunya untuk mengurus wilayah yang telah dibagi-bagi.
Jika sistim yang dijalankan oleh Khulafaurrasyidin mulai dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Tholib seperti yang disebutkan di atas, maka tidak ada yang membedakan dengan sistim yang dijalankan saat ini di beberapa negara termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Lalu apa yang membedakan pemerintahan Khilafah dengan pemerintah non-Khilafah?

Pada dasarnya tidak ada perbedaan inti dalam sistim Khilafah yang dijalankan oleh para Khulafaurrasyidin dengan sistim yang dijalankan oleh pemerintahan di beberapa negara saat ini. Yang membedakan hanya subtansi saja tapi metode sama saja. Jika pada era Khulafaurrasyidin menjadikan Islam sebagai undang-undang dalam bernegara seperti hukum Kriminal maka pemerintahan sekarang memiliki dasar falsafah yang berbeda tetapi bentuk Khilafah dengan bentuk pemerintahan saat ini sama saja.
Semestinya para pendukung berdirinya negara Khilafah tidak mesti berjuang apalagi menjadi teroris untuk mencapai tujuannya karena bentuk pemerintahan yang diinginkan sebenarnya sudah di depan mata mereka tinggal mengisi dan memanfaatkan peluang tersebut. Undang-undang negara dimanapun di dunia ini termasuk di Indonesia yang sudah mengadopsi sistim demokrasi dimana setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih merupakan sebuah kesempatan emas untuk maju menjadi pemimpin. Jika menang dalam pemilihan maka ini sebuah kemajuan kongkrit yang dicapai oleh kelompok pendukung negara Khilafah artinya melalui kepemimpinanya ia dapat mengimpelementasikan esensi-esensi Islam tanpa harus merubah Konstitusi dan Undang-Undang Dasar Negara yang sudah menjadi komitmen bersama karena Islam sendiri tidak mempersoalkan bentuk dan falsafah negara yang penting substansinya tidak berbeda dengan esensi-esensi Islam.

Dikutip dari : Al Jazzera.com

Rabu, 06 Juli 2016

Inilah Ucapan Selamat Lebaran PBNU Zaman KH Hasyim Asy’ari (Ditulis kembali oleh :Abdul Rofik)

Inilah Ucapan Selamat Lebaran PBNU Zaman KH Hasyim Asy’ari
Ditulis kembali oleh :Abdul Rofik

Di majalah Berita Nahdlatul Oelama (BNO) tahun 1354 H, hoofdbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama menghaturkan selamat hari raya Idul Fitri. Di tahun itu Idul Fitri jatuh pada tanggal 7 Januari 1936 M, sepuluh tahun sejak NU didirikan dan Indonesia (Hindia Belanda) masih dijajah Belanda.

Pada kolom haturan selamat Idul Fitri di majalah yang terbit 1 Januari 1936 tersbut, jajaran Syuriyah dan Tanfidziyah Hoofdbestuur Nahdlatul Ulama dicantumkan di situ mulai Hadrotusyekh KH Hasyim Asy’ari dan pengurus lain.

Diantara kiai-kiai yang disebut adalah KH Ridwan bin Abdullah Surabaya, Abdul Wahab bin Hasbullah Surabaya, Abdullah bin Ali, KH Hamim, KH Sahal, KH A Faqih dll. Sementara di Tanfidziyah KH M Noer, H S Samil, M Kariadi dan lain-lain.

Ucapan selamat Idul Fitri itu berbunyi, Menghatoerkan selamat hari raya A’Idil fitri kehadapan sekalian Ichwanul moeslimin wal moeslimat, pembaca BNO umuman, wachoesoeson qoum Nahdliijin, menghatoerkan poela beberapa jenis kesalahan, kelalaian, kehilapan dan koerangnya Ta’addoeb semasa doedoek dalam Bestoeran, maoepoen sebeloemnya; Maka atas hal demikian, tenteo sedjoemlah kami ampoenja doesa hak adami, moehoen di maafkan sekaliannja dari Doenia hingga Acherat kelak.

Di samping inipoen ta’loepalah kami sekalian bersedia memafakan sekedar doesa saudara terhadap kami sekaliannja.

Dan mari kita berdo’ea pada Allah djoega bersama-sama, disampaikan Oemoer kita masing-masing sampai bertemu A’idilfitri tahoen jang akan datang 1355 Amin!!

Pada tahun 1936 beberapa sejarah penting NU tercatat, NU menggelar Kongres ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pada waktu itu Hidayah Islamiyah, sebuah organisasi Islam bergabung dengan NU. Pada tahun itu pula KH Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar-Pelajar Islam di Jombang, membangun taman bacaan tak kurang 500 buku, termasuk majalah, surat kabar dalam bahasa Jawa dan Indonesia.

Menurut Ensiklopedi NU (terbit 2014), majalah BNO, diperkirakan terbit pertama kali tahun 1931. Majalah itu diupayakan oleh kiai-kiai NU dengan harapan berperan sebagai obor kaum muslimin pada umumnya dan nahdliyin khususnya. (Abdullah Alawi)

Selasa, 05 Juli 2016

Renungan Idul Fitri (Oleh:Amiruddin Faisal)

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Inilah momentum anugerah tertinggi. Inilah kondisi kebahagiaan teragung. Inilah situasi karomah, kemuliaan, yang paling menggiurkan. Hamba-hamba-Mu tergetar menggemakan takbir, musik yang paling musik dari segala musik. Yang terpendam di dalamnya puisi tersunyi dari segala aras keheningan yang hanya mungkin diwakili oleh dua kata: Allah dan Akbar. Allah satu-satunya nama yang orisinal, satu-satunya yang benar-benar nama. Dan, Akbar, bukan Kabir. Kabir itu maha besar maha agung, maha unggul. Akbar adalah maha yang lebih besar, maha lebih, maha lebih unggul. 'Lebih', karena hamba-hambalah yang mengucapkan kata itu: di dalam kesadaran para hamba, di dalam penghayatan dan cinta para hamba -senantiasa terasa lebih besar, lebih agung dan lebih unggul. Memuai. Akbar. Para hamba meninggikan tangan dalam ketakjuban total. Para hamba tersujud-sujud di hamparan shiroth mustaqim, jalan yang ditegakkan. Jalan an'amta'alaihim. Jalin dimana Sang Maha Engkau menyiapkan setinggi-tinggi nikmat: suatu kondisi kosmologis yang diraih dengan teologi Ramadhan dan Idul Fitri, serta melalui pergulatan filosofis ilaihi roji'un.

Menempuh perjalanan kembali. Kembali ke hadirat-Nya. Kembali fitri. Kembali sejati.
Betapakah wajah para hamba yang Engkau beri nikmat, ya Akbar? Menjadi siapakah mereka? An-nabiyyin. Para Nabi yang Engkau nobatkan serta para pewaris tongkat mereka. Para pembawa kabar gembira. Para wartawan segala peradaban. Penabur kebenaran, basyir wa nadzir, yang membangun, mengontrol dan memperbaiki. Oleh karena itu merekalah as-shiddiqin, orang-orang yang kepada mereka kita bisa sandarkan kepercayaan. Orang-orang yang jujur. Yang utuh dan memelihara kejujurannya dengan terus-menerus bertahan menjadi syuhada , pejuang. Syuhada itu berarti jamak dari syahid. Saksi. Orang-orang yang menyaksikan, bersaksi dan memperjuangkan kesaksiannya atas kebenaran Allah, haqqullah dengan pena dan kata-kata, dengan badan dan keringat, dan akhirnya dengan kematian - karena kebenaran sebisa mungkin harus tersertakan di sisi mautnya, agar kematiannya pun menyaksikan dan bersaksi atas kebenaran itu.
Tak heranlah kalau Allah menyebut mereka as-shalihin orang-orang salih. Pelaku-pelaku ishlah, yang setiap kali siap dan bersedia memperbaiki zaman, merombak dan membenahi sejarah, merevisi, mereformasi, merestrukturisasi, meresistemasi, mengubah dan melahirkannya kembali. Ya Allah, semoga itulah kami. Semogak arena itulah tak ragu kami melangkah ke arah agung Idul Fitri-Mu dan menggemakan Akbar-Mu. Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar.
Adapun dengan common sense barangkali kita bisa mengasosiasikan arti idul fitri secara sederhana. 'Id itu berarti kembali. Fitri itu fitrah. Asli. Orisinal. Bayi. Bayi itu 'telanjang', tidak banyak embel-embel, tidak rewel dan penuh pamrih oleh tetek bengek sebagaimana orang dewasa. Bayi itu masih alam, belum budaya.

Mengidul-fitri, kembali meng-alam, tidak lantas berarti undur budaya, melainkan menanggalkan -minimal pada level kesadaran dan sikap- setiap anasir budaya yang tidak relevan atau terutama yang destruktif terhadap kemurnian alam. Idul fitri itu retrospeksi total.
Kalau bayi itu tertawa,'natur'nya, keasliannya yang tertawa, sehingga seakan-akan Tuhan itu sendiri yang tertawa. Sebab siapa lagikah, selain Ia, yang asli sejati dalam arti yang sebenar-benarnya? Dan kalau ia menangis, yang menangis bukan naluri untung ruginya, bukan kemabukan hayawani seperti kalau orang dewasa berdagang,berpolitik dan berkarier. Tangis bayi adalah ekspresi alam dan budaya, di mana dimensi keindahan, kebajikan dan kebenaran masih menyatu, total dan masih bisa 'dijamin'.
Tangis bayi itu haqq (kebenaran) Allah, sekaligus hubb (cinta)-Nya yang baik dan indah. Tangis itu suci. Tanpa pamrih. Mungkin juga bayi menangis karena awal rasa sakit dan penderitaan: salah satu 'tema' gagasan penciptaaan atas makhluk. Namun tangis bayi masih berupa 'derita alam' yang merupakan bagian dari orkestrasi nilai ciptaan Allah. Bukan tangis oleh stress, oleh kesengsaran artificial sebagaimana kelak terjadi pada kehidupan orang-orang dewasa - sesuatu yang sebenarnya bisa tak perlu terjadi. Tangis bayi itu total, utuh, karena antara Khalik dengan makhluk yang belum dijaraki oleh kebudayaan atau rekayasa manusia (iradatunnas). Padanya masih bersatu tiga unsur: asal-usul alam (amrullah), sebab alam (irodatulllah) dan disiplin untuk kembali kepada-Nya (ilaihi roji'un) - yang pada orang dewasa, pada realitas sosial, kebudayaan dan peradaban: unsur ketiga itu ditempuh melalui sejumlah jarak, yakni hisab atau perhitungan dosa dan pahala, rugi dan untung, perohanian, neraka dan sorga.
Kalau kita omong tentang bayi, pasti teringat lbu. Dan untuk menemukan rujukan orisinal tentang bayi dan kefitrian, ada kemungkinan kita lantas ingat juga 'Ibu Qur'an' (ummul Qur'an), yaitu Al-Fatihah, sebagaimana kita temukan hikmah as-shiroth al-mustaqim dan an'amta.'alaihim di atas. Kemudian kalau di gua garba ibu Qur'an itu kita bertapa rohani dan bertafakur intelektual, tampaklah anasir-anasir kasih sayang, kepengasuhan dan pengelolaan. Yakni Rahman (pecinta, pengasih), Rahim (penyayang), Rabb (pengasuh) dan Malik (maharaja).

Maka bagi setiap dan semua manusia, Idul Fitri bermakna memposisikan dirinya kembali pada titik paling sehat di tengah mizan (pertimbangan) manajemen empat sifat Allah yang terkandung dalam nukleus dari ragam dan kesempurnaan asma-Nya. Ini berlaku baik dalam kedudukan manusia sebagai bagian dari hamparan al'alamin (alam semesta, universalitas) maupun sebagai titik-titik relatif di tengah realitas sosial (komunitas, negara, kebudayaan, peradaban). Manusia tidak bisa mengambil hanya salah satu dari al-asma al-'adham -nama yang teragung- itu. Seseorang, sebagai produk inisiatif ciptaan Allah (irodatullah), tidak relevan untuk hanya mentransfer -umpamanya- sifat maharaja-Nya belaka, tanpa persenyawaan dengan sifat cinta, kasih sayang dan kepenyantunan dan kepengasuhan-Nya. Segala macam praktek otoritarianisme, ketidakadilan, penghisapan manusia atas manusia, tak lain adalah akibat dari pengambilan secara parsial atas sifat Allah yang terjelmakan dalam diri manusia. Gejala yang sama juga terjadi tatkala kelengkapan acuan dalam Qur’an diambil hanya berdasarkan dan untuk melegitimasikan subyektivitas kepentingan, 'kelas', pamrih kelompok atau egosentris. Itulah sumber kenapa Agama sering disalahpahamkan, dimanifestasikan secara pincang atau manipulatif. Mari kita pakai kiasan bersahaja lagi: ibaratkan buah mangga. 'Daging' isinya adalah rahman, cinta individual. Rasa manisnya adalah rahim, kasih sayang universal. Kulitnya adalah rab, pengasuh yang menyantuni atau melindungi. Kerekatan antara isi dengan kulit mangga adalah malik, otoritas yang dipelihara. Adapun apa biji yang terletak di pusat buah manggaitu? Ia lebih tersembunyi, pahit rasanya, namun dialah yang menyangga mandat regenerasi, pertumbuhan, kelestarian, pengabdian. Ketika Allah memaparkan skema pokok asma-Nya dibelahan surah Qur’an, nama Rahman dan Rahim selalu didahului 'alimul ghoibi (Khaliq) yang mengetahui segala yang tidak terketahui (oleh segala makhluk)

Bertumbuh dan memulaikah pengetahuan kita tentang kandungan sifat itu? Tentulah substansi 'alimul ghoibi itu pengetahuan, sebagaimana kesengajaan Allah sendiri untuk menuturkan 'lqra' -bacalah!- sebagai kata firman yang pertama.
Karena Ia Maha MengetahuiIah, maka la mencintai kita, menyayangi kita, dan mengasuh kita. Ilmu pengetahuan adalah sumber atau sebab alami dan sekaliggs perangkat pokok dari cinta dan kesantunan. Maka padanya pulalah mata air atau muara (makrifah) perimbangan pengelolaan cinta, kasih sayang, kepengasuhan dan otoritas. Bayangkanlah orang mencintai dan menyayangi tanpa ilmu: dekat dengan kemungkinan keterjerumusan. Bayangkanlah orang mengasuh tanpa ilmu: destruksi sangat mungkin terjadi.Bayangkan orang menyantuni tanpa ilmu: kemanjaan hasilnya. Dan bayangkanlah orang berkuasa tanpa ilmu, apalagi tanpa cinta, kasih sayang dan kesadaran kepengasuhan dan kesantunan: fir'aunisme yang dibangunnya. Allah juga menyebut dirinya tidak sekedar 'alim, tapi 'alimul ghoib. Bukan sekedar maha mengetahui, tapi maha mengetahui segala yang ghaib. Ghaib itu simbol dari ketakterhinggaan. Cerminan dari kenyataan relativitas dan keterbatasan ilmu yang dipinjamkan-Nya kepada manusia. Jadi, jabaran keilmuan kata ghaib ialah keterbatasan terhadap ketakterhinggaan. Efek moralnya bagi manusia, tentunya adalah kerendahhatian. Tawadlu. Yang diasah terus menerus dengan tradisi sujud. Bayangkanlah perilaku manusia yang tanpa kerendahhatian. Bayangkanlah ideologi, teknokrasi kehidupan masyarakat dan negara, institusi ilmu, partai politik, kritik sosial, atau langkah-langkah adab budaya masyarakat manusia yang tidak berhikmah dari kerendahhatian. Produknya mungkin keterjebakan ber abad- abad, bumerang peradaban yang terlalu mahal ongkosnya, artifisialisasi kebudayaan, perang, stres, mabuk, dan bunuh diri. Oleh karena itu puasa adalah media otokritik bagi manusia, komunitas, kebudayaan dan peradaban. Adalah peluang untuk proses pengambilan jarak dari diri manusia – baik 'diri personal' maupun 'diri sosial' dalam arti 'masing-masing' mapun 'bersama', diri pada segala konteks dan skala. Kemudian mengevaluasinya dan melahirkan pembaruan yang memungkinkan kondisi Idul ritri bisa diperoleh.

Dengan demikian, prinsip utama realitas Idul Fitri ialah bahwa ia merupakan titik paling sublim yang dihasilkan oleh proses laku puasa. Situasi dan kondisi sublim itu memiliki kemungkinan untuk berlaku pada level personal-psikologis maupun sosial-empiris. Seseorang berhasil mensublimkan dirinya, tetap dihadang kemungkinan untuk 'terguncang' atau' terpecah' kembali karena atmosfir sosial atau system-sistem lingkungan yang mengikatnya -sesudah Lebaran- membuatnya terapuhkan dan terhanyutkan kembali. Bahasa sederhananya, sesudah beridul fitri bersih diri, ia bisa 'kotor' kembali. Mungkin karena itu maka sesudah setahun, ia dipuasakan dan mempuasakan diri kembali. Allah bukan saja maha mafhum terhadap kemungkinan 'gelombang' dan 'pasang surut' situasi hamba-hamba-Nya. Lebih dari itu, la juga 'taktis'. Bahkan Ia sediakan juga metode yang 'radikal': mulai sehari setelah sesudah hari Idul Fitri, kita disunnahkan untuk berpuasa enam hari - ibadah'frontal' di hadapan pesta pora lebaran - dengan janji pahala dan kemuliaan beribu kali lipat. Term dalam Qur’an, yang agaknya paling tepat untuk menggambarkan situasi sublim itu, adalah muthahhar. Artinya, manusia yang tersucikan.Terjernihkan. Tercerahkan. Di kulit luar kitab Qur’an Anda selalu bisa menemukan kalimat Allah itu: la yamassuhu illal-muthahharun. Arti tekstualnya: "tidak menyentuh kitab ini kecuali dalam keadaan suci". Makna kontekstualnya, sejauh yang coba saya pahami: "seseorang tidak akan tuning-in iklim Qur'ani, kecuali ia tercerahkan, baik secara spiritual, intelektual, mental dan moral. Dengan demikian gambaran situasi sublim kehidupan seseorang mempersyaratkan dipenuhinya kebersihan spiritual, kejernihan dan kejujuran intelektual, kesehatan mental dan kelayakan moral. Tingkat dan kualitas pencapaian empat dimensi itu menentukan seberapa rekat seseorang berada dalam persenyawaan dengan ruhani Qur’an dan ilmu Qur’an, serta dalam mentalitas dan moralitas Qur’ani -yang pada akhirnya tercermin dalam perilaku sosialnya. Bukankah visibilitas ldul fitri mempersyaratkan keadaan kejiwaan dan realitas perilaku sosial sedemikian rupa sehingga relevan (berhak secara hukum, dan ilmiah sebagai kenyataan) untuk mengalami dan memperoleh Idul Fitri? Bukankah lbu-Qur'an memperbandingkan antara an'amta'alqihim dengan manusia maghdlub dan manusia dhollin? Maghdub, orang yang Allah marah kepadanya. Orang yang "tahu tapi tak mau." Orang-orang yang menyerap ilmu, namun tidak menerjemahkannya menjadi realitas kehidupan. Orang-orang yang menumpuk pemahaman, namun tak memperjuangkan dan menegakkannya karena kecil hati dan ciut nyali pada kekuatan yang bukan Tuhan. Orang-orang yang membanggakan kepandaian akal, namun memanjakan kehidupan dan menghinakan kematian, sehingga hidupnya membuih dan mengambang. Orang-orang yang dalam shalat formalnya mengucapkan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in -“hanya kepada-Mu aku mengabdi dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan”- ternyata untuk memperolok-olokkan Allah, sebab realitas kehidupannya tidak sungguh-sungguh ia letakkan dalam ikrar, konteks dan iklim sikap yang semacam itu. Orang-orang yang selalu mengemis ihdinash-shirothol-mustaqim -“tunjukilah kami jalan lurus, jalan yang ditegakkan”- dan Allah telah sejak dulu kala memberikannya namun mereka tidak benar-benar bersedia dan menggunakannya. Orang-orang yang meminta, diberi, tak menerimanya namun meminta lagi, diberi dan tak menerimanya, dan meminta lagi. Mungkin karena itu Rasulullah mengajarkan agar sesudah shalat, hendaknya para hamba Allah berwirid

Astaghfirullah, Astaghfirullah - "Ampun ya Allah! Ampun ya Allah!" Dan si allah kalau ternyata kata-kata ini pun bercanda belaka. Masih mending adh-dhollin, orang-orang yang "mau tapi tak tahu." Orang yang kurang maksimal ber-iqra', namun tulus hati pengabdiannya. Orang yang tidak pintar, namun berani bekerja keras, penuh tekad dan mengandalkan kesembodoan. Tidak mereka capai kesempurnaan an'amta 'alqihim karena akal budi dan kecerdasan -indikator utama kemakhlukan manusia- kurang mereka asah dan olah, namun mereka berada di 'antrean' kedua dalam menghadapi ghodobullah, murka Allah. Kita yang maghdlub, dianjurkan oleh Ibu Qur'an untuk mengacu dan menghayati poros malik-rahim: perjuangan otoritas dan cinta kasih sosial. Adapun kita yang dhollin, disarankan untuk mempedomani lajur rabb-rahman:bahwa untuk mengasuh dan menyantuni zaman, diperlukan pendalaman atau internalisasi cinta kasih, yakni cinta yang 'tidakbuta', cinta yang 'kawin' dengan kebenaran -melalui ilmu.
Itulah jalan pencerahan.
‪#‎selamat‬ idul fithri mohon atas kekhilafan hamba atas lisan dan prilaku hamba

4 Mentalitas Pikiran Manusia (Oleh:Amiruddin Faisal)

Manusia sebagai khalifah memiliki kemungkinan mencapai derajat tertinggi jika ia mampu menggunakan perangkat kemanusiaan (akal) dengan benar. Namun, jika manusia tidak berbuat sebagaimana manusia, dengan kata lain membiarkan akalnya tidak berfungsi sedemikian rupa, maka hakekat manusia akan hilang pada saat itu juga. Sebab, yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain hanyalah akal yang bersemayam dalam dirinya.

Ada 4 kelompok manusia
1. Manusia yang berfikir dan mengetahui banyak tentang banyak hal,
2. manusia yang berfikir dan mengetahui banyak tentang sedikit hal,
3. manusia yang berfikir dan mengetahui sedikit tentang banyak hal, dan yang terakhir
4. adalah manusia yang berfikir dan mengetahui sedikit tentang sedikit hal.

Atau lebih sohihnya oleh Imam Al Ghazali. Sang Hujjatul Islam itu menggolongkan manusia menjadi empat macam berdasar pada situasi akal dan mentalitas:
1. Rajuulun yadrii wa yadrii annahu yadri ( Manusia yang mengerti, dan mengerti bahwa dia mengerti ),
2. Rajuulun yadri wa laa yadri annahu yadri ( Manusia yang mengerti dan dia tidak mengerti bahwa dia mengerti ),
3. Rajuulun laa yadrii, wa yadrii annahu laa yadrii ( manusia yang tidak mengerti, dan mengerti bahwa dia tidak mengerti ),
4. Rajuulun laa yadrii wa laa yadrii annahu laa yadri ( Manusia yang tidak mengerti, dan tidak mengerti bahwa dia tidak mengerti ).

Pembahasan mengenai manusia memang selalu menarik. Manusia sebagai penghuni jagad raya, tak hanya tersusun dari materi berupa badan wadag yang kasat mata. Lebih dari itu, ia juga tersusun dari benda non materi berupa ruh yang berasal dari penguasa semesta. Ketika perlakuan manusia terhadap dirinya sendiri mengalami kesenjangan begitu rupa, dengan mengutamakan kebutuhan materi dan membiarkan ruhaninya gersang dan terlunta-lunta, yang terjadi adalah ketimpangan individu dimana manusia tak sempurna sebagai manusia. Pada skala yang jauh, ia akan tiba pada situasi tertentu.
Mari kita untuk memejamkan mata sejenak berkontemplasi guna menelaah kembali cara berfikir, sikap hidup, sekaligus praktek keberagamaan yang kadang cenderung tak sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan oleh-Nya, yang ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas iman serta perubahan sosial hanyalah sekedar contoh.

Bahwa sampai kapanpun manusia harus terus berjuang untuk memelihara kemanusiaannya. Bukankah secara empiris banyak dijumpai manusia yang secara fisik memang manusia, namun hakekatnya adalah serigala yang tak segan-segan mencakar dan membunuh saudaranya sendiri? Maka sebagai manusia, tak ada kemungkinan lain kecuali kita harus berjuang untuk tetap menjadi manusia. Supaya pada penghujung kehidupan nanti, kita tetap menjadi manusia yang ahsani taqwiim, dan tidak terjerembab kedalam pengapnya jurang asfalaa saafiliin!