Lem Dindingpun Jadi Makanan Berbuka Puasa
Ketika Indonesia telah diakui kembali kedaulatannya, pada awal tahun 1950, para pejuang kembali ke basis masing-masing. Demikian pula Mbah Yai Iskandar Jogja sekeluarga kembali ke desa asal beliau. Ternyata rumah sudah rata dengan tanah dan segala peralatan sudah habis tak bersisa akibat terlalu lama ditinggalkan. Maka, beliau membangun kembali rumah dan mushola dengan peralatan seadanya, hingga masih banyak bagian dinding yang belubang.
Dituturkan langsung oleh beliau sebagai pelaku sejarah, saat memasuki masa puasa menjelang sepuluh malam terakhir, beliau berinisiatif untuk memperbaiki mushola. Maka dikumpulkanlah jamaah untuk membeli kertas, dan meminta Mbah Nyai Arifah, istri beliau untuk membuat lem kanji agar bisa menempel di dinding bambu mushola.
Dengan riang gembira, di bulan Ramadlan segenap jamaah membuat dinding dari kertas dan lem kanji, dengan tujuan supaya saat dipakai i'tikaf taharrow laylatul qodar tidak kedinginan. Begitu asyiknya pekerjaan itu, hingga tak terasa waktu maghrib tiba. Jamaah kebingungan, karena tidak ada makanan untuk berbuka puasa, saking susahnya mendapatkan bahan makanan di masa itu. Maka Mbah Nyai Arifah merebus kembali sisa lem kanji kemudian diberi gula merah, dan digunakan untuk buka bersama para jamaah.
Pada saat Shuniyya sowan ke beliau pertama untuk mengaji tahun 1990-an, mushola sudah berdinding batu bata, berbeda sama sekali dengan aslinya. Sayang sekali tidak ada dokumentasi bentuk mushola sebelum direnovasi, sebuah mushola berdinding bambu jarang-jarang dan dilapisi dengan kertas dan lem kanji.
Sungguh dalam perjalanan hidmah beliau untuk negeri ini terdapat teladan bagi orang-orang yang berakal.
Khushushon ila ruhi Mbah Yai Is, wa zawjatihi Mbah Nyai Arifah fi quburihima ila yaumil qiyamah binuri wa bisyafa'ati, wabil kiromil fatihah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar