Sekian belas tahun lalu, saat sulthoni qolby, salah satu guru ngaji Shuniyya, Simbah Kyai Iskandar Jogja masih sugeng, beliau sempat bertutur tentang sepenggal kisah perjuangan Hadlrotusy Syaikh KH Hasyim Asy'arie dan Panglima Jendral Sudirman.
Simbah Kyai Iskandar Jogja, atau biasa disebut Mbah Is, adalah sosok ulama kampung yang sangat tawaduk. Penampilannya sangat bersahaja, sehingga tidak berbeda sama sekali dengan warga setempat lainnya. Bahkan, panggilan "Mbah" membuat semua orang akrab dengan beliau, dan menganggap beliau seperti Mbah kita sendiri. Dhawuh beliau yang lemah lembut, wajah yang selalu sumringah, dan senyum yang selalu menghiasi wajah mulia beliau seakan beliau lebih senang dianggap sebagai sahabat bagi semua orang, bukan sebagai Kyai atau tokoh panutan. Sehingga, tidak heran jika nama beliau sangat asing, bahkan hanya dikenal di kalangan terbatas saja.
Beliau adalah salah satu santri dari Simbah Kyai Munawir Krapyak Jogja hingga wafatnya tahun 1942. Sepeninggal Mbah Munawir, Mbah Is, kembali ke desa asalnya, di sekitar kecamatan Mlati Sleman. Membangun mushola di sana, dan memiliki beberapa murid.
Pada tahun 1945, beliau menerima sebuah surat dari salah satu Kyai untuk ikut berjihad di Surabaya melawan londo. Waktu itu, beliau diminta untuk datang ke Stasiun Lempuyangan Yogyakarta dengan naik Sepur Ekspres. Beliau diminta, begitu kereta api datang, langsung masuk, duduk, dan jangan tengok kanan kiri hingga sampai tujuan. Inilah salah satu karomah guru beliau, sebab di jaman itu belum ada Kereta Api Ekspres, dan jelas bahwa pengurusan Kereta api adalah milik Belanda. Bagaimana bisa mengantarkan pejuang ke Surabaya untuk melawan Sekutu mereka?
Sesampai di Surabaya, beliau segera bergabung dengan barisan pejuang. Waktu itu ada pengumuman, "Para santri dan Kyai dilarang oleh Hadlrotusy Syaikh untuk melakukan penyerangan kepada Londo, sebab, nanti yang akan memimpin perang adalah Walinya Gusti Allah dari Kulon"... Ternyata yang memimpin adalah Simbah Kyai Haji Abas Buntet Cirebon.
Saat pecah perang 10 November, pasukan Indonesia terdesak hebat, kalah persenjataan. Mbah Abas mengangkat tangan entah berdoa apa, tiba-tiba alu dan lesung (alat penumbuk padi dari kayu) dan bebrapa perabotan rumah tangga sekota surabaya keluar dan menyerbu pasukan Londo. Sontak mereka kaget dan mundur hingga menuju ke pelabuhan. Kemudian saat salah satu montor mabur dari Londo tersebut dilempar bakiak yang beliau bawa di kantung kain, dan montor mabur itu meledak.
Perang berlangsung sangat seru dan meninggalkan banyak sekali korban. Keesokan harinya, Mbah Is diperintahkan untuk kembali ke Jogja. Beliau kembali memimpin pengajian di mushola semula. Namun, ketenangan tidak berlangsung lama. Saat Ibukota Negara Indonesia jatuh ke tangan Belanda, beliau memutuskan untuk ikut bergerilya. Beberapa kali beliau bertemu dengan Panglima Besar Sudirman.
Panglima Besar Sudirman dikisahkan sebagai seorang yang berperawakan kurus dan pucat, namun memiliki wibawa yang luar biasa. Tidak banyak bicara, tapi setiap beliau berbicara suasana akan hening dan semua orang menyimak satu persatu apa yang beliau ungkapkan. Dari beberapa pertemuan itu, suatu hari Mbah Is dipanggil oleh Panglima Besar Sudirman, dan diberi ijazah untuk istiqomah membaca Quran Surat Ash Shof ayat 10-12 setiap selesai sholat wajib.
Khushushon ila arwahi Hadlrotusy Syaikh Hasyim Asy'arie, Mbah Yai Munawir Krapyak Jogja, Mbah Yai Abas Buntet Cirebon, Panglima Besar Jendral Sudirman, Mbah Yai Iskandar Jogja wa zawjatihim, wadzurriyatihim, wa furu'ihim, wa silsilatihim binuri, wabi syafa'ati wa bikaromati Al Fatihah...
Shuniyya Ruhama
#NU #Ulama #ayonyantri #ayongaji #ayomondok #NUsantara #Indonesia #Nahdliyin #Wali9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar