Rabu, 29 Juni 2016

Asimilasi Budaya Lokal Dalam Islam Nusantara (Oleh : Amiruddin Faisal)

Asimilasi Budaya Lokal Dalam Islam Nusantara
Oleh : Amiruddin Faisal

Kosa kata ‘pribumisasi Islam’ tidak terdapat di dalam kamus, tetapi dalam thesaurus Bahasa Indonesia terdapat lema ‘mempribumikan’ dengan padanan kata ‘menasionalisasikan.’ Jika ‘pribumisasi’ adalah padanan kata ‘domestication’ dalam bahasa Inggris, maka arti yang paling dekat adalah ‘membawa (satu kosakata asing, istilah, dan sebagainya) ke dalam suatu wilayah atau negeri untuk dapat diterima (oleh anak negeri itu). Jadi, bila demikian, ‘pribumisasi Islam’ dapat diartikan sebagai berbagai macam cara dan usaha untuk menjadikan nilai, kaidah, dan tradisi Islam yang didaku bersifat universasl ke dalam komunitas lokal dan masyarakat negeri (Indonesia atau nusantara). Jika demikian maka ada dua jurusan yang ditempuh, yaitu upaya pembatinan nilai, kaidah, dan tradisi Islam ke dalam diri setiap individu lewat proses internalisasi dan sosialisasi; dan kegiatan strategis penebaran nilai, kaidah, dan tradisi Islam kepada individu lain di komunitas berbeda yang tersebar secara geografis di seluruh pelosok nusantara. Di dalam perspektif Gramscian, dengan demikian ‘pribumisasi Islam’ adalah wujud dari perang posisi, untuk merebut posisi dominatif dan hegemonis. Nampaknya apa yang dimaksud oleh Gus Dur dengan ‘pribumisasi Islam’ itu mengacu kepada berbagai upaya yang dianggap telah dilakukan oleh Wali Songo di Jawa dalam upaya penebaran Islam di masyarakat Jawa, dan proses pembatinan (internalisasi) nilai, kaidah, dan ajaran Islam menjadi milik setiap individu orang Jawa, bukan dengan cara kekerasan dan paksaan melainkan dengan cara hikmah dan ihsan dengan memprakarsai dan melakukan inovasi metode yang cocok bagi masyarakat Jawa pada saat itu, misalnya menggunakan media gamelan dan wayang.

Gagasan Gus Dur ini dalam bidang kesenian disambut antusias oleh para seniman, sehingga lahirlah produk kesenian, misalnya sebagaimana musik yang diciptakan oleh kelompok musik ‘kyai Kanjeng;’ atau upaya yang sangat sungguh-sungguh untuk menerjemahkan al Qur’an ke dalam kidung (tembang) bahasa Jawa yang dilakukan seorang tokoh di daerah pedesaan jawa Timur, sebagaimana terjemahan puitisasi ayat al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin. Di dalam bidang nilai, kaidah, idiom, dan tradisi, misalnya muncul wacana ‘Islam Nusantara’ yang diprakarsai oleh kaum muda NU di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Demikian juga dalam bidang pendidikan, dapat dicontohkan metode pendidikan ‘Islam partisipatori’ yang dieksperimentasikan dan dilaksanakan satu pesantren di desa Kalibening, Salatiga, yang dipimpin oleh Bahrudin. Pendek kata nilai dan ajaran Islam yang didaku universal itu dihadirkan secara lokal, dibingkai dengan bingkai kebudayaan lokal, yang memiliki warna lokal, sehingga ruh (dan ideologi) Islam universal meresap dalam tradisi komunitas dan masyarakat lokal (pribumi Indonesia). Proses inilah yang juga bisa disebut sebagai transformasi nilai dan ajaran universal Islam ke dalam kebudayaan dan tradisi lokal (pribumi). Akan tetapi prosesnya sudah barang tentu tidak hanya berhenti di sini, melainkan pada saat yang sama, ketika terjadi eksternalisasi nilai, kaidah, dan tradisi hasil proses ‘pribumisasi’ itu maka sekaligus terjadi transformasi ‘pribumisasi Islam’ itu ke khalayak di dunia, sehingga terbukalah kemungkinan proses pengayaan (enrichment) Islam dan tradisinya. Dalam konteks seperti itu, gagasan Gus Dur tentang ‘pribumisasi Islam’ dapat dilihat sebagai wahana transformatif. Tetapi istilah ‘pribumisasi Islam’ itu juga terbuka untuk diartikan sebagai upaya mengikis habis ‘bias tradisi Arab’ yang melekat atau dilekatkan pada agama Islam. Di dalam hal ini, seorang tokoh apa yang dikenal sebagai ‘kelompok masjid Salman ITB’, yakni almarhum Immadudin Abdurrahim (dikenal dengan panggilan ‘bang Imad’) pernah menggambarkan secara tepat gerakan Islamisasi yang tidak perlu bersifat ‘aping the Arab’ yang beranggapan dan berpendapat bahwa Islam sama dengan Arab, sehingga kata dia pada waktu itu, menjadi Islam berarti harus berjenggot, bergamis, bersurban bagi laki-laki, dan menutup seluruh anggota badan dan bercadar bagi perempuan. Dalam arti yang kedua ini, ‘pribumisasi Islam’ juga dapat diartikan sebagai wujud dari perang posisi Gramscian, yakni merebut posisi dan peran dominatif dan hegemonis Arab dalam hal Islam, dan menggantinya dengan Islam yang telah dipribumisasikan dan diwarnai oleh kebudayaan dan tradisi lokal, meski tetap memegang teguh nilai dan kaidah universal dari Islam.

Pribumisasi Islam merupakan gagasan Gus Dur yang berkembang pada era 8o-an ,tujuan gagasan pribumisasi Islam adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga keduanya dapat saling menerima dan memberi,salingg mengisi.Meski terdapat ketegangan di antara keduanya.Namun,hendaknya tidak ada upaya penaklukan atau hubungan menang kalah dalam hal ini.Sebagaimana hal ini dapat dibaca di tulisan tulisan Gus Dur sebelumnya terutama makalah Al- qur`an dalam pemahaman konteks sosial baru dalam bukunya Muslim di Tengha Pergumulan. Terjadinya dialog antara pendiri NU dengan tokoh nasionalis untuk mencari titik temu agama dan faham kebangsaan merupakan realitas yang menarik.Apakah Islam dapat menerima paham ini?.Dlm bahasa Ir.Soekarno presiden pertama RI,beliau menerjamahkan makna nasiolisme dengan mengatakan nasionalismeku adalah kemanusian. Pada titik inilah Gus Dur sering berbicara tentang prjuangn atas nama kemanusiaan.Bahkan untuk membedakan tindakan agama dengan tindakan "bukan agama" dilihat dari praktik dan sikap yang manusiawi.Jika suatu tindakan tidak manusiawi terjadi dengan menggunakan atas nama agama,maka jelaslah,bahwa itu sebenarnya bukan praktik keagamaan yang benar.Karen itu Gus Dur terkenal dengan sifatnya yang humanis. Mesk demikian,bukan berarta Gus Dur antiagama.Justru beliau sadar betul suatu ungkapan,bahwa "Islam itu luhur dan tiada yang lebih luhur diatas(islam)".Namun, Gus Dua tidak terjebak pada sikap verbal dalam memahami ungkapan ini.Beliau mmbuktikannya keyakinannya pada ajaran agamanya yang luhur itu dalam tindak - tanduknya ,sikap - sikap politiknya yang menjunjung tinggi kemanusian.Beliau menolak betul tindakan tidak manusiawi termasuk kekerasan yang dibungkus dan dikemas atas nama agama.Beliau juga setuju dengan tindakan - tindakan manusiawa meski tidak atas nama agama.Beliau membela eksistensi dan hak hidup kaum minoritas di tanah air,dst.Semua dilakukanny a demi bangsa. Sampai disini,dapat dikatakan,bahwa perjuangan pribumisasi Islam yang diusung Gus Dur,adalah perjuangannya untuk mendialogkan Islam dengan masalah -masalah kemanusian misalnya kebudayaan .Kebudayaan adalah hasil kreatifitas manusia.Lalu bagaimana agama menyikapinya.Dengan rumusan pemikiran Gus dur,tentu saja agama harus menyikapinya secara manusiawi,dan tidak serta merta mmberangus kreatifts manusia itu.Beliau menghargai hak -hak manusia,kebebasan berpikir,sambli membuang hal-hal yg tidak perlu atau bertentangan dengan agama secara perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar