Hakikat Berpuasa
(Oleh :Amiruddin Faisal)
Puasa tidak hanya menyangkut tidak makan dan tidak minum saja. Puasa berkaitan dengan seluruh mekanisme kehidupan, menyangkut seluruh kenikmatan dan penderitaan di dalamnya. Anda kan sudah hafal bahwa ayat yang dikutip para ustadz ketika sudah masuk bulan Ramadhan adalah ayat ke-83 dari Surah Al-Baqarah yang berbunyi: Yaa ayyuhalladzina amanu kutibu ‘alaikumushshiyaamu kama kutiba ‘alalladziina min qablikum la’allakum tattaquun.
Kutiba memiliki arti ‘dituliskan’ yang kemudian oleh para ulama fiqh dikontekstualisasikan menjadi ‘diwajibkan’. As-siyaam memiliki padanan kata yakni shaum, seperti yang terjadi pada kata qaum yang padanan katanya adalah qiyam. Qiyam artinya berdiri, sementara qaum adalah orang yang berkumpul bersama-sama untuk bersepakat mendirikan sesuatu.
Masyarakat adalah orang yang berkumpul karena menyepakati untuk mengerjakan suatu kesepakatan di mana suatu pekerjaan akan diserikatkan. Masyarakat memiliki makna yang lebih padat atau jasadi daripada ummat. Kalau rakyat berasal dari ra’yah, yaitu orang-orang yang berkumpul karena sama-sama memiliki kedaulatan atas suatu wilayah dan urusan.
Masyarakat adalah orang yang berkumpul karena menyepakati untuk mengerjakan suatu kesepakatan di mana suatu pekerjaan akan diserikatkan. Masyarakat memiliki makna yang lebih padat atau jasadi daripada ummat. Kalau rakyat berasal dari ra’yah, yaitu orang-orang yang berkumpul karena sama-sama memiliki kedaulatan atas suatu wilayah dan urusan.
Maka dipersyaratkan ada MoU yang kemudian diresmikan dalam konstitusi berupa negara. Rakyat adalah orang yang berkumpul dalam suatu perjanjian yang disebut negara di mana yang pegang kedaulatan adalah mereka. Rakyat tidak sama dengan masyarakat. Masyarakat bisa segmentatif, tapi kalau rakyat bersifat utuh.
Qaum adalah orang yang berkumpul karena suatu ciri. Cirinya boleh budaya, boleh gen, boleh apapun saja. Tapi kalau qiyam adalah orang yang berkumpul untuk menegakkan kekauman mereka. Lalu bagaimana dengan shaum dan shiyam?
“Terserah Anda apakah Ramadhan ini Anda pakai untuk shaum atau shiyam. Kalau untuk shaum, yang penting Anda mendapatkan nilai-nilai puasa secara universal, tapi kalau Ramadhan Anda pakai untuk pergerakan shiyam, maka Anda menyepakati ada satu prinsip-prinsip nilai yang akan Anda tegakkan bersama-sama. Kalau bahasa Jawa memilih menggunakan shiyam dalam penyebutan puasa.”
Poin kedua, kama kutiba ‘alalladziina min qablikum. Puasa merupakan tradisi budaya yang sudah ada sebelum Islamnya Muhammad datang. Islam-Islam yang ada sebelumnya merupakan Islam yang belum lengkap. Allah menyebarkan ratusan ribu Nabi dan dua puluh lima rasul kemudian dijadikan dalam satu tabung besar bernama Muhammad. Di dalam Muhammad ada Ayub, ada Adam, ada Idris, Nuh, Hud, Ibrahim, Khidir, Isa, Yesus, Buddha dan siapa saja. Yang kita sebut Muhammad bin Abdullah ini adalah salah satu episode Muhammad yang berlangsung selama 63 tahun. Sedangkan alam semesta ini berlangsung selama beratus-ratus juta tahun dan Muhammad sudah ada sejak sebelum jagad raya diciptakan.
“Maka benar kalau Maulid Nabi itu tanggal 12 Rabbiul Awwal, tapi kalau maulidu Muhammad itu sudah tidak bisa kita hitung. Nur ciptaan Allah yang pertama itu dibikin sebelum Dia menciptakan apapun. Karena Dia bahagia terhadap ciptaan-Nya yang berupa nur ini, diberikannyalah gelar Muhammad”.
“Nah, Muhammad ini besok-besok dicicil dalam Adam, Idris, Ayub, sampai Musa, Ibrahim, dan seterusnya kemudian diaplikasikan secara biologis menjadi Muhammad putra Abdullah cucu Abdul Mutholib. Jadi pemahaman mengenai Muhammad jangan berhenti pada Islam melalui fiqh yang dikenal dan diperkenalkan oleh para ulama. Kalau selama ini ada maulidun Nabi, kita Maiyah akan bikin maulidunnur”.
“Poin ketiga adalah la’alakum tattaqun. La’alakum selama ini menurut sebagian orang diterjemahkan sebagai ‘dengan berpuasa mudah-mudahan engkau menjadi bertaqwa. Sementara Allah memerintahkan hamba-Nya berpuasa dengan asumsi bahwa mereka sudah bertakwa. Kan kemarin sudah shalat, sudah zakat? Masa untuk bertakwa mesti menunggu Ramadhan?”
La’lakum selama ini tidak membikin Indonesia mengalami kemajuan apapun selama berpuluh-puluh Ramadhan karena salah dalam penerjemahannya. Efeknya adalah anggapan bahwa setelah Ramadhan kita boleh tidak bertakwa lagi karena akan ada Ramadhan-Ramadhan di depan untuk membuat kita bertakwa.
“La‘alakum bukan berarti ‘supaya’. Kemudian, Sampeyan ini masuk Ramadhan rumangsane durung puasa? Anda kan sudah selalu puasa? Yang terus-menerus berbuka adalah parpol, dirjen, menteri-menteri, ketua partai. Anda kan tidak. Saya pada Ramadhan lalu bertanya pada jamaah, semua orang mengaku telah bergembira masuk Ramadhan. Ngaku kamu yang jujur apakah seneng atau nggak disuruh berpuasa? Asline mangkel to, cuma nggak berani ngelawan? Aslinya kan nggak suka to? Kalau ada pengumuman dari Allah yang membebaskan kita dari keharusan berpuasa, pasti seneng to?”
“Lho, tapi bagaimana dengan orang yang berpuasa tapi hatinya tidak ikhlas? Lebih bagus dong! Kalau kamu bahagia masuk Ramadhan kemudian kamu gembira, apa hebatnya? Yang hebat adalah orang yang tidak senang tapi tetap menjalankannya. Kalau kamu suka rujak lalu memakan hidangan rujak, apa istimewanya? Tapi kalau kamu memakan rujak yang tak kamu sukai itu semata-mata karena Allah yang menyuruh, akan menjadi lebih tinggi nilainya.”
“Waktu Umar bin Khatab mencium Hajar Aswad kan Beliau juga ngomong gitu, ‘Kalau tidak karena Rasulullah menciummu, tidak akan aku menciummu. Tapi karena Rasulullah yang aku cintai dan aku imani menciummu, maka aku menciummu. Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku menciummu karenamu’.”
“Terus ada kiai-kiai yang mengatakan bahwa puasa adalah untuk menghayati kemiskinan. Terus orang miskin menghayati apa? Kemiskinan kok dihayati? Kalau berani ya jadi miskin seperti Rasulullah. Menghayati itu kan seperti akting saja”.
“Terus ada kiai-kiai yang mengatakan bahwa puasa adalah untuk menghayati kemiskinan. Terus orang miskin menghayati apa? Kemiskinan kok dihayati? Kalau berani ya jadi miskin seperti Rasulullah. Menghayati itu kan seperti akting saja”.
Dalam rukun Islam, Anda orang dengan tipologi yang mana? Apakah syahadat, shalat, puasa, zakat, atau haji? Kecenderungan irama hidupmu, improvisasimu, ketahanan mental dan staminamu, itu berbeda-beda. Kalau kamu manusia puasa berlaku dengan budaya shalat, tidak kuat. Kamu harus menemukan dirimu. Kalau saya ini memang katuranggannya dari sana adalah manusia puasa. Saya tak perlu Ramadhan untuk belajar berpuasa. Anda harus menemukan puasamu sendiri.”
Manusia syahadat membutuhkan manusia shalat, zakat, puasa, haji. Mereka semua berfungsi. Di setiap kantor ada yang bagian syahadat thok, ada bagian sholat yang memelihara secara rutin dan istiqomah, ada bagian puasa yang mengontrol dengan menciptakan perundingan-perundingan, ada bagian zakat yang berinisiatif atas social contribution, ada bagian haji yang memastikan bahwa kelompok tersebut harus memiliki puncak-puncak prestasi. Lima jenis manusia ada di dalam setiap komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar