10 NOVEMBER 1945, SURABAYA MEMBARA
FAKTA NKRI BUKAN HAYALAN, BUKAN NEGARA BONEKA
Bualan Belanda yang menyatakan bahwa Indonesia hanyalah negara hayalan yang diproklamirkan oleh segelintir orang berhasil mempengaruhi Tentara Sekutu untuk membantu Belanda mendapatkan wilayah jajahannya ini.
Belanda juga berhasil mempengaruhi Sekutu akan kekhawatiran berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara boneka Jepang, karena kedekatan Presiden Sukarno dengan pihak Dai Nippon.
Akhirnya, dengan penuh jumawa, Tentara Sekutu selaku PEMENANG Perang Dunia Kedua, diwakili oleh Tentara Inggris mendaratkan kekuatan penuh di Surabaya.
Tak dinyana, tak diduga, bahwa Negara Indonesia merdeka memang benar-benar ada. Hal ini terbukti dengan berbagai pertempuran kecil di Surabaya hingga tewasnya JENDERAL MALLABY. Tentu hal ini merupakan pukulan telak yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Bagaimana bisa? Menghadapi Pasukan NAZI Jerman dan Pasukan Maha Dahsyat Jepang yang memiliki kemampuan militer imbang saja selama kurun waktu 1939-1945, tak seorang Jenderal mereka terbunuh, tapi melawan arek-arek Suroboyo yang bersenjatakan sisa-sisa rampasan Jepang dan senjata tradisional lainnya bisa membunuh Jenderal mereka?
Marwah sebagai pemenang Perang Dunia-pun terusik. Dipersiapkanlah serangan balasan yang luar biasa, untuk meyakinkan dunia bahwa Indonesia tidak ada. Dan ancaman ini dijawab oleh para Ulama di bawah komando Hadlrotus Syaikh Hasyim Asy'arie dengan mengumandangkan Jihad Semesta Fardlu Ain bagi yang tinggal dalam radius 90 KM dari Surabaya.
Di bawah pimpinan Waline Gusti Allah Saka Kulon Yang Mulia Simbah Kyai Haji Abas Abdul Jamil, dan didukung penuh oleh Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Musthofa Rembang sebagai tempat persinggahan menuju arena pertempuran, para Mujahidin menyongsong datangnya Sang Juara Perang Dunia II.
Tak mau ketinggalan, Yang Mulia Simbah Kyai Mahrus Aly Lirboyo juga tancut taliwondo menuju Surabaya bersama 90 santri pilihan untuk mempertahankan Indonesia. Sekali lagi: INDONESIA.
Dan perangpun pecah. Puluhan ribu nyawa mujahidin Indonesia melayang. Dalam pertempuan ini, sekali lagi fakta membuktikan ketangguhan para Wali Allah, setelah Jenderal Mallaby terbunuh, para pejuang dan tentara Sekutu kembali menyaksikan sebuah kejadian tidak masuk akal:
Pesawat yang ditumpangi oleh BRIGADIR JENDERAL ROBERT GUY LODER SYMONDS meledak di udara terkena lemparan sandal bakiak milik Yang Mulia Mbah Abas, bersama dengan dua pesawat Mosquito lainnya.
Surabaya hancur lebur. Butuh tiga minggu kemudian bagi Sekutu untuk menguasai Surabaya dengan harga yang terlalu mahal. Dan justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Dunia internasional, terutama dalam tubuh masyarakat dan tokoh Inggris sendirilah yang menyerukan penarikan diri dan kemudian mendukung penuh kemerdekaan Indonesia, setelah itu meminta Belanda untuk hengkang dari Indonesia.
Ila hadlroti arwahi Hadrotusy syaikh Kyai Haji Hasyim Asy'arie, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Abbas Abdul Jamil Buntet, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Musthofa Rembang, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Machrus Aly Lirboyo, Bung Tomo, para Kyai yang tidak bisa disebutkan satu persatu, para santri, dan para pejuang untuk Indonesia wa azwajihim wa dzurriyatihim wa furu'ihim wa silsilatihim wa muridihim wa muhibbihim say'un lillahu lana wa lahum al fatihah...
Shuniyya Ruhama
10 November 2015
#NU #Ulama #ayonyantri #ayongaji #ayomondok #NUsantara #Indonesia #Nahdliyin #Wali9
Kamis, 30 Juni 2016
Semangat Pengorbanan Kyai Iskandar Jogja Untuk Ibu Pertiwi (Oleh:Shuniyya Ruhama)
Lem Dindingpun Jadi Makanan Berbuka Puasa
Ketika Indonesia telah diakui kembali kedaulatannya, pada awal tahun 1950, para pejuang kembali ke basis masing-masing. Demikian pula Mbah Yai Iskandar Jogja sekeluarga kembali ke desa asal beliau. Ternyata rumah sudah rata dengan tanah dan segala peralatan sudah habis tak bersisa akibat terlalu lama ditinggalkan. Maka, beliau membangun kembali rumah dan mushola dengan peralatan seadanya, hingga masih banyak bagian dinding yang belubang.
Dituturkan langsung oleh beliau sebagai pelaku sejarah, saat memasuki masa puasa menjelang sepuluh malam terakhir, beliau berinisiatif untuk memperbaiki mushola. Maka dikumpulkanlah jamaah untuk membeli kertas, dan meminta Mbah Nyai Arifah, istri beliau untuk membuat lem kanji agar bisa menempel di dinding bambu mushola.
Dengan riang gembira, di bulan Ramadlan segenap jamaah membuat dinding dari kertas dan lem kanji, dengan tujuan supaya saat dipakai i'tikaf taharrow laylatul qodar tidak kedinginan. Begitu asyiknya pekerjaan itu, hingga tak terasa waktu maghrib tiba. Jamaah kebingungan, karena tidak ada makanan untuk berbuka puasa, saking susahnya mendapatkan bahan makanan di masa itu. Maka Mbah Nyai Arifah merebus kembali sisa lem kanji kemudian diberi gula merah, dan digunakan untuk buka bersama para jamaah.
Pada saat Shuniyya sowan ke beliau pertama untuk mengaji tahun 1990-an, mushola sudah berdinding batu bata, berbeda sama sekali dengan aslinya. Sayang sekali tidak ada dokumentasi bentuk mushola sebelum direnovasi, sebuah mushola berdinding bambu jarang-jarang dan dilapisi dengan kertas dan lem kanji.
Sungguh dalam perjalanan hidmah beliau untuk negeri ini terdapat teladan bagi orang-orang yang berakal.
Khushushon ila ruhi Mbah Yai Is, wa zawjatihi Mbah Nyai Arifah fi quburihima ila yaumil qiyamah binuri wa bisyafa'ati, wabil kiromil fatihah...
Ketika Indonesia telah diakui kembali kedaulatannya, pada awal tahun 1950, para pejuang kembali ke basis masing-masing. Demikian pula Mbah Yai Iskandar Jogja sekeluarga kembali ke desa asal beliau. Ternyata rumah sudah rata dengan tanah dan segala peralatan sudah habis tak bersisa akibat terlalu lama ditinggalkan. Maka, beliau membangun kembali rumah dan mushola dengan peralatan seadanya, hingga masih banyak bagian dinding yang belubang.
Dituturkan langsung oleh beliau sebagai pelaku sejarah, saat memasuki masa puasa menjelang sepuluh malam terakhir, beliau berinisiatif untuk memperbaiki mushola. Maka dikumpulkanlah jamaah untuk membeli kertas, dan meminta Mbah Nyai Arifah, istri beliau untuk membuat lem kanji agar bisa menempel di dinding bambu mushola.
Dengan riang gembira, di bulan Ramadlan segenap jamaah membuat dinding dari kertas dan lem kanji, dengan tujuan supaya saat dipakai i'tikaf taharrow laylatul qodar tidak kedinginan. Begitu asyiknya pekerjaan itu, hingga tak terasa waktu maghrib tiba. Jamaah kebingungan, karena tidak ada makanan untuk berbuka puasa, saking susahnya mendapatkan bahan makanan di masa itu. Maka Mbah Nyai Arifah merebus kembali sisa lem kanji kemudian diberi gula merah, dan digunakan untuk buka bersama para jamaah.
Pada saat Shuniyya sowan ke beliau pertama untuk mengaji tahun 1990-an, mushola sudah berdinding batu bata, berbeda sama sekali dengan aslinya. Sayang sekali tidak ada dokumentasi bentuk mushola sebelum direnovasi, sebuah mushola berdinding bambu jarang-jarang dan dilapisi dengan kertas dan lem kanji.
Sungguh dalam perjalanan hidmah beliau untuk negeri ini terdapat teladan bagi orang-orang yang berakal.
Khushushon ila ruhi Mbah Yai Is, wa zawjatihi Mbah Nyai Arifah fi quburihima ila yaumil qiyamah binuri wa bisyafa'ati, wabil kiromil fatihah...
Rabu, 29 Juni 2016
Peran KH Agus Salim dan Prof Muh. Yamin Dalam Sumpah Pemuda (Oleh:Shuniyya Ruhama)
Kyai Haji Agus Salim dan Prof. Muh. Yamin
Penasehat Jong Islamieten Bond Penghantar Sumpah Pemuda
Sosok Kyai Haji Agus Salim selama ini hanya dikenal sebagai sosok diplomat ulung yang pernah dimiliki bangsa ini. Melalui beliaulah Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kali diakui oleh negara Mesir dan menguatkan posisi Indonesia di mata dunia, meskipun sebelumnya telah diakui oleh Palestina.
Haji Agus Salim menjadi pelopor berdirinya Jong Islamieten Bond (JIB) untuk menghalau gerakan sekuler yang berkembang pada masa itu. Bahkan dikabarkan, organisasi yang bersifat kesukuan pada masa itu diyakini beliau tidak akan menghantarkan Indonesia merdeka.
Maka lewat JIB inilah diadakanlah Kongres Pemuda II dan menelurkan Sumpah Pemuda. Tidak main-main, dengan pandangan beliau yang sedemikian luas, seluruh komponen dikumpulkan, sehingga perwakilan dari seluruh Nusantara hadir sekitar 750 orang.
Perwakilan datang dari berbagai kalangan mulai dari kesukuan, keturunan asing, juga keagamaan. Semua menyatupadu menjadi satu. Oleh Muhammad Yamin, disodorkan teks naskah Sumpah Pemuda , diparaf pemimpin sidang yakni Sugondo Joyopuspito dan disetujui secara aklamasi oleh semua yang hadir.
Maka didapatlah Sumpah Pemuda seperti yang kita miliki saat ini.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kongres ini mendapat pengawalan sangat ketat dari kepolisian Belanda. Namun, tidak membuat gentar para peserta kongres. Dekorasi dibuat merah-putih, karena Bendera Merah Putih tidak boleh dikibarkan. Melantunkan lagu Indonesia raya walaupun hanya dengan melodi biola tanpa melantunkan syairnya.
Hal ini terbukti dengan membludaknya perwakilan dari seluruh Indonesia. Mulai PPPI, Jong Java,Jong Soematranen Bond, Jong Bataks Bond,Jong Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon , Pemoeda Kaoem Betawi, bahkan fakta membuktikan perwakilan dari Pemuda Papua juga hadir pada masa itu.
Indonesia telah dilahirkan. JIB melalui Haji Agus Salim dan Muhammad Yamin telah melukiskan sejarah Indonesia dengan tinta emas, yang kelak kemerdekaannya akan dipertahankan mati-matian oleh Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’arie beserta umat Islam di seantero Indonesia.
Dalam perkembangannya, peran JIB dikecilkan dan seakan dihilangkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Padahal, peran mereka sangatlah signifikan. Pada masa pendudukan Jepang, JIB dibekukan karena dinilai mengkhawatirkan sepak terjangnya.
Di kemudian hari, para pelaku sejarahnya-pun tidak menuntut. Sebab, mereka merasakan bahwa yang dimunculkan haruslah keikhlasan, bukan sifat ingin menonjolkan diri. Indonesia merdeka sudah lebih dari cukup buat para pejuang itu.
SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA
Shuniyya Ruhama
28 Oktober 2015
Penasehat Jong Islamieten Bond Penghantar Sumpah Pemuda
Sosok Kyai Haji Agus Salim selama ini hanya dikenal sebagai sosok diplomat ulung yang pernah dimiliki bangsa ini. Melalui beliaulah Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kali diakui oleh negara Mesir dan menguatkan posisi Indonesia di mata dunia, meskipun sebelumnya telah diakui oleh Palestina.
Haji Agus Salim menjadi pelopor berdirinya Jong Islamieten Bond (JIB) untuk menghalau gerakan sekuler yang berkembang pada masa itu. Bahkan dikabarkan, organisasi yang bersifat kesukuan pada masa itu diyakini beliau tidak akan menghantarkan Indonesia merdeka.
Maka lewat JIB inilah diadakanlah Kongres Pemuda II dan menelurkan Sumpah Pemuda. Tidak main-main, dengan pandangan beliau yang sedemikian luas, seluruh komponen dikumpulkan, sehingga perwakilan dari seluruh Nusantara hadir sekitar 750 orang.
Perwakilan datang dari berbagai kalangan mulai dari kesukuan, keturunan asing, juga keagamaan. Semua menyatupadu menjadi satu. Oleh Muhammad Yamin, disodorkan teks naskah Sumpah Pemuda , diparaf pemimpin sidang yakni Sugondo Joyopuspito dan disetujui secara aklamasi oleh semua yang hadir.
Maka didapatlah Sumpah Pemuda seperti yang kita miliki saat ini.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kongres ini mendapat pengawalan sangat ketat dari kepolisian Belanda. Namun, tidak membuat gentar para peserta kongres. Dekorasi dibuat merah-putih, karena Bendera Merah Putih tidak boleh dikibarkan. Melantunkan lagu Indonesia raya walaupun hanya dengan melodi biola tanpa melantunkan syairnya.
Hal ini terbukti dengan membludaknya perwakilan dari seluruh Indonesia. Mulai PPPI, Jong Java,Jong Soematranen Bond, Jong Bataks Bond,Jong Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon , Pemoeda Kaoem Betawi, bahkan fakta membuktikan perwakilan dari Pemuda Papua juga hadir pada masa itu.
Indonesia telah dilahirkan. JIB melalui Haji Agus Salim dan Muhammad Yamin telah melukiskan sejarah Indonesia dengan tinta emas, yang kelak kemerdekaannya akan dipertahankan mati-matian oleh Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’arie beserta umat Islam di seantero Indonesia.
Dalam perkembangannya, peran JIB dikecilkan dan seakan dihilangkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Padahal, peran mereka sangatlah signifikan. Pada masa pendudukan Jepang, JIB dibekukan karena dinilai mengkhawatirkan sepak terjangnya.
Di kemudian hari, para pelaku sejarahnya-pun tidak menuntut. Sebab, mereka merasakan bahwa yang dimunculkan haruslah keikhlasan, bukan sifat ingin menonjolkan diri. Indonesia merdeka sudah lebih dari cukup buat para pejuang itu.
SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA
Shuniyya Ruhama
28 Oktober 2015
KH Abdul Wahab Hasbullah Pencetus Pesantren Putri Indonesia (Oleh :Shuniyya Ruhama)
PENCETUS PESANTREN PUTRI DAN PENGAWAL SEJATI NKRI
YANG MULIA SIMBAH KYAI HAJI WAHAB HASBULLAH
Telah disimak oleh sejarah, semangat luar biasa kaum santri dalam melawan penjajah di bawah komando Hadlrotusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’arie mencapai puncaknya. Menjadi jihad semesta yang menggetarkan dunia. Tentara Sekutu, dalam hal ini diwakili oleh Inggris sebagai pemenang Perang Dunia Kedua dibuat gentar oleh santri.
Babak berikutnya, saat Belanda hendak menancapkan kukunya ke bumi pertiwi dan dilawan keras oleh para pejuang, Gusti Allah memanggil kekasihNya. Hadlrotusy Syaikh pun berpulang. Duka yang mengguncangkan jiwa ini tidak bisa disikapi dengan berpangku tangan dan meratap. Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya sampai titik darah penghabisan.
Maka, atas kesepakatan seluruh ulama, ditunjuklah Yang Mulia Simbah Kyai Haji Wahab Hasbullah sebagai Rais Am untuk meneruskan kepemimpinan Hadlrotusy Syaikh. Mengemban amanah, membawa santri se Indonesia untuk menertibkan barisannya lagi. Gelora juang pun kembali menggelegak, dan mencapai puncaknya dengan hengkangnya Belanda dari bumi pertiwi.
Masa khidmah Yang Mulia Mbah Wahab adalah yang terpanjang dalam sejarah NU. Mulai antara tahun 1947-1970. Di tahun-tahun itulah, beliau melewati masa-masa keretakan dan kegoncangan negeri yang begitu beliau cintai. Mulai dari Agresi Militer Belanda II, Pemberontakan PKI Madiun, Pemberontakan DI/TII, Pemberontakan PRRI/Permesta hingga kudeta berdarah G 30 S/PKI.
Sejak muda, pembaharuan brilian beliau yang sangat dirasakan manfaatnya adalah saat beliau mendapat restu dari Hadlrotusy Syaikh untuk mengijinkan santri putri menimba ilmu khusus di Pesantren. Restu ini didapat setelah terjadinya perdebatan seru antara beliau dengan junior beliau terhebat, yakni Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri. Maka sejak itu, kaum muslimah mendapatkan kesempatan yang setara dalam menimba ilmu. Beliaulah yang merintis dan diikuti oleh seluruh pesantren di Nusantara.
Uniknya, ide cemerlang ini justru pertama kali direalisasikan oleh Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri yang mendirikan Pondok Pesantren Putri pertama di Indonesia pada tahun 1921. Barulah Yang mulia Simbah Kyai Haji Wahab Hasbullah berkesempatan membuka Pondok Pesantren Putri pada tahun 1944.
Kepiawaian beliau juga terbaca, saat menjadi juru bicara dalam Komite Hijaz. Hingga kini tidak ada yang bisa memecahkan misteri bagaimana cara beliau berjumpa dan berhadapan serta membuat Raja Saud yang dikenal sebagai Raja yang beringas itu bisa mengabulkan permintaan beliau. Kita hanya bisa menikmati saja hasil perjuangan beliau. Yakni kebebasan bermadzhab di Saudi Arabia, orang di luar penganut madzhab Wahaby diperkenankan untuk naik haji, dan dibatalkannya pemusnahan kubah makam Kanjeng Nabi Agung Muhammad SAW.
Demikian pula saat bergabung di partai Masyumi, NU tidak memiliki keterwakilan yang memadai bahkan dijadikan bahan tertawaan, sebab NU jarang sekali memiliki sarjana. Yang Mulia Mbah Wahab bersikeras untuk keluar dari Masyumi, dan terbukti, NU berhasil menjadi salah satu partai terbesar pada Pemilu 1955. Dan setelah itu Masyumi dibubarkan karena banyak tokohnya yang terlibat dalam pemberontakan PRRI.
Beliau juga menyaksikan pergantian kepemimpinan dari Orde Lama kepada Orde Baru. Kembali beliau dengan sukses mengantarkan NU menjadi jam’iyah yang sanggup bertahan walau seribu jaman berganti. Pada tahun 1970 nikmat beliau telah dicukupkan dan dipanggil oleh kekasihNya.
Beliau telah menorehkan sejarah emas bagi bangsa Indonesia. Karena itulah, tidak heran jika beliau di kemudian hari diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 22 Oktober . Semoga berkahnya meliputi seluruh Bangsa Indonesia.
Ila hadlroti arwahi Yang Mulia Hadlrotusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’arie, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri wa azwajihim wa dzurriyatihim wa silsilatihi wa ashhabihim wa muridihim wa muhibbihim syai-un lillahu lana wa lahum al fatihah…
Shuniyya Ruhama
Pengajar di PPTQ Al Istiqomah Weleri-Kendal Jawa Tengah
25 Oktober 2015
YANG MULIA SIMBAH KYAI HAJI WAHAB HASBULLAH
Telah disimak oleh sejarah, semangat luar biasa kaum santri dalam melawan penjajah di bawah komando Hadlrotusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’arie mencapai puncaknya. Menjadi jihad semesta yang menggetarkan dunia. Tentara Sekutu, dalam hal ini diwakili oleh Inggris sebagai pemenang Perang Dunia Kedua dibuat gentar oleh santri.
Babak berikutnya, saat Belanda hendak menancapkan kukunya ke bumi pertiwi dan dilawan keras oleh para pejuang, Gusti Allah memanggil kekasihNya. Hadlrotusy Syaikh pun berpulang. Duka yang mengguncangkan jiwa ini tidak bisa disikapi dengan berpangku tangan dan meratap. Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya sampai titik darah penghabisan.
Maka, atas kesepakatan seluruh ulama, ditunjuklah Yang Mulia Simbah Kyai Haji Wahab Hasbullah sebagai Rais Am untuk meneruskan kepemimpinan Hadlrotusy Syaikh. Mengemban amanah, membawa santri se Indonesia untuk menertibkan barisannya lagi. Gelora juang pun kembali menggelegak, dan mencapai puncaknya dengan hengkangnya Belanda dari bumi pertiwi.
Masa khidmah Yang Mulia Mbah Wahab adalah yang terpanjang dalam sejarah NU. Mulai antara tahun 1947-1970. Di tahun-tahun itulah, beliau melewati masa-masa keretakan dan kegoncangan negeri yang begitu beliau cintai. Mulai dari Agresi Militer Belanda II, Pemberontakan PKI Madiun, Pemberontakan DI/TII, Pemberontakan PRRI/Permesta hingga kudeta berdarah G 30 S/PKI.
Sejak muda, pembaharuan brilian beliau yang sangat dirasakan manfaatnya adalah saat beliau mendapat restu dari Hadlrotusy Syaikh untuk mengijinkan santri putri menimba ilmu khusus di Pesantren. Restu ini didapat setelah terjadinya perdebatan seru antara beliau dengan junior beliau terhebat, yakni Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri. Maka sejak itu, kaum muslimah mendapatkan kesempatan yang setara dalam menimba ilmu. Beliaulah yang merintis dan diikuti oleh seluruh pesantren di Nusantara.
Uniknya, ide cemerlang ini justru pertama kali direalisasikan oleh Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri yang mendirikan Pondok Pesantren Putri pertama di Indonesia pada tahun 1921. Barulah Yang mulia Simbah Kyai Haji Wahab Hasbullah berkesempatan membuka Pondok Pesantren Putri pada tahun 1944.
Kepiawaian beliau juga terbaca, saat menjadi juru bicara dalam Komite Hijaz. Hingga kini tidak ada yang bisa memecahkan misteri bagaimana cara beliau berjumpa dan berhadapan serta membuat Raja Saud yang dikenal sebagai Raja yang beringas itu bisa mengabulkan permintaan beliau. Kita hanya bisa menikmati saja hasil perjuangan beliau. Yakni kebebasan bermadzhab di Saudi Arabia, orang di luar penganut madzhab Wahaby diperkenankan untuk naik haji, dan dibatalkannya pemusnahan kubah makam Kanjeng Nabi Agung Muhammad SAW.
Demikian pula saat bergabung di partai Masyumi, NU tidak memiliki keterwakilan yang memadai bahkan dijadikan bahan tertawaan, sebab NU jarang sekali memiliki sarjana. Yang Mulia Mbah Wahab bersikeras untuk keluar dari Masyumi, dan terbukti, NU berhasil menjadi salah satu partai terbesar pada Pemilu 1955. Dan setelah itu Masyumi dibubarkan karena banyak tokohnya yang terlibat dalam pemberontakan PRRI.
Beliau juga menyaksikan pergantian kepemimpinan dari Orde Lama kepada Orde Baru. Kembali beliau dengan sukses mengantarkan NU menjadi jam’iyah yang sanggup bertahan walau seribu jaman berganti. Pada tahun 1970 nikmat beliau telah dicukupkan dan dipanggil oleh kekasihNya.
Beliau telah menorehkan sejarah emas bagi bangsa Indonesia. Karena itulah, tidak heran jika beliau di kemudian hari diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 22 Oktober . Semoga berkahnya meliputi seluruh Bangsa Indonesia.
Ila hadlroti arwahi Yang Mulia Hadlrotusy Syaikh Muhammad Hasyim Asy’arie, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri wa azwajihim wa dzurriyatihim wa silsilatihi wa ashhabihim wa muridihim wa muhibbihim syai-un lillahu lana wa lahum al fatihah…
Shuniyya Ruhama
Pengajar di PPTQ Al Istiqomah Weleri-Kendal Jawa Tengah
25 Oktober 2015
Pancasila Harga Mati Bagi NU (Oleh: Shuniyya Ruhama)
PANCASILA SAKTI
TANGGUNGJAWAB SELURUH ANAK NEGERI
Tanggal 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati hari Kesaktian Pancasila. Asal mula peringatan hari hikmad bagi bangsa Indonesia ini adalah ketika Pancasila berhasil diselamatkan dari kelompok dan golongan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Dalam hal ini, waktu itu adalah Komunis.
Keabsahan Pancasila sebagai sebuah dasar negara merupakan harga mati. Sudah terbukti dengan pernyataan langsung dari para tokoh NU yang sudah tidak diragukan lagi muktabaroh ilmu dan ketinggian hidmahnya untuk bangsa Indonesia.
Adalah Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri, Pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Jombang , Pendiri NU, sekaligus Rois Am PBNU periode 1971-1980, memberikan pernyataan, " Sekarang saya sudah mengerti apa itu Pancasila. Sekarang bila ada orang Indonesia, orang Islam, orang NU, yang anti Pancasila berarti ia anti padaku."
Tak kalah berkharismanya, Yang Mulia Simbah Wali Kyai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin Situbondo terang-terangan dhawuh, " Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus tetap dipertahankan dan dijaga kelestariannya. "
Dan tak ketinggalan Yang Mulia Simbah Kyai Haji Ahmad Shiddiq, Sesepuh Majlis Dzikrul Ghofilin sekaligus Rois Am PBNU periode 1984-1991 dengan lemah lembutnya bertitah, " Ibarat makanan, Pancasila yang sudah kita kunyah selama 36 tahun kok sekarang dipersoalkan halal haramnya."
Dari sini jelaslah, bahwa Pancasila merupakan harga mati yang wajib dipertahankan oleh seluruh anak negeri. Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, kita wajib waspada dengan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dari segala penjuru. Baik bahaya laten maupun manifestasinya. baik dari arus kanan maupun arus kiri, baik dari barat maupun timur.
Entah itu Komunis, Kapitalis, Liberal, Takfiri Wahaby serta ideologi apapun yang hendak meruntuhkan kejayaan negeri ini.
Pancasila Sakti, NKRI Harga Mati.
Ila hadlroti arwahi Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri, Yang Mulia Simbah Wali Kyai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin Situbondo, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Ahmad Shiddiq wa azwajihim wa dzurriyatihim wa furi'ihim wa silsilatihim wa muhibbihim syaiun lillahu lana wa lahum al fatihah...
Shuniyya Ruhama
2 Oktober 2015
TANGGUNGJAWAB SELURUH ANAK NEGERI
Tanggal 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati hari Kesaktian Pancasila. Asal mula peringatan hari hikmad bagi bangsa Indonesia ini adalah ketika Pancasila berhasil diselamatkan dari kelompok dan golongan yang hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Dalam hal ini, waktu itu adalah Komunis.
Keabsahan Pancasila sebagai sebuah dasar negara merupakan harga mati. Sudah terbukti dengan pernyataan langsung dari para tokoh NU yang sudah tidak diragukan lagi muktabaroh ilmu dan ketinggian hidmahnya untuk bangsa Indonesia.
Adalah Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri, Pengasuh Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Jombang , Pendiri NU, sekaligus Rois Am PBNU periode 1971-1980, memberikan pernyataan, " Sekarang saya sudah mengerti apa itu Pancasila. Sekarang bila ada orang Indonesia, orang Islam, orang NU, yang anti Pancasila berarti ia anti padaku."
Tak kalah berkharismanya, Yang Mulia Simbah Wali Kyai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin Situbondo terang-terangan dhawuh, " Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia, harus ditaati, harus diamalkan, harus tetap dipertahankan dan dijaga kelestariannya. "
Dan tak ketinggalan Yang Mulia Simbah Kyai Haji Ahmad Shiddiq, Sesepuh Majlis Dzikrul Ghofilin sekaligus Rois Am PBNU periode 1984-1991 dengan lemah lembutnya bertitah, " Ibarat makanan, Pancasila yang sudah kita kunyah selama 36 tahun kok sekarang dipersoalkan halal haramnya."
Dari sini jelaslah, bahwa Pancasila merupakan harga mati yang wajib dipertahankan oleh seluruh anak negeri. Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, kita wajib waspada dengan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan dari segala penjuru. Baik bahaya laten maupun manifestasinya. baik dari arus kanan maupun arus kiri, baik dari barat maupun timur.
Entah itu Komunis, Kapitalis, Liberal, Takfiri Wahaby serta ideologi apapun yang hendak meruntuhkan kejayaan negeri ini.
Pancasila Sakti, NKRI Harga Mati.
Ila hadlroti arwahi Yang Mulia Simbah Kyai Haji Bisri Syansuri, Yang Mulia Simbah Wali Kyai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin Situbondo, Yang Mulia Simbah Kyai Haji Ahmad Shiddiq wa azwajihim wa dzurriyatihim wa furi'ihim wa silsilatihim wa muhibbihim syaiun lillahu lana wa lahum al fatihah...
Shuniyya Ruhama
2 Oktober 2015
KH Maksum Jauhari, Lirboyo,Kediri (Oleh:Shuniyya Ruhama)
BANGKITKAN SEMANGAT JIHAD TUMPAS PKI
Nama Yang Mulia KH Maksum Jauhari atau lebih dikenal dengan sebutan Gus Maksum bagi warga Nahdliyyin sangat familiar terdengar. Seorang pendekar sejati yang gagah berani, penuh dengan karomah, tegas, tapi lembut, ramah dan bersahaja.
Sejak kecil, karomah beliau sudah bisa dilihat secara kasat mata oleh orang-orang di sekitarnya. Namun, beliau tidak pernah menggunakan kelebihannya itu untuk hal yang negatif.
Yang paling menonjol dari diri Gus Maksum ialah, di saat usia muda remaja beliau sudah menunjukkan sikap prawira yang luar biasa, dan berani terang-terangan menentang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melalui ormas-ormasnya acap kali melakukan pelecehan agama Islam.
Sebagai seorang pendekar, beliau amat ditakuti oleh orang PKI karena belum pernah ada sejarah, seorang pendekar PKI-pun yang berhasil mengalahkan beliau. Yang terjadi adalah beliau selalu saja mampu merobohkan lawan tandingnya.
Tatkala pemuda-pemuda PKI semakin menjadi-jadi dan mulai berani melakukan tindakan brutal dengan menyerang peserta pengajian, menyandera panitia dan melempar mushaf Al Quran lalu menginjak-injaknya, Gus Maksum tampil terdepan mengawal keselamatan peserta pengajian yang masih trauma. Kejadian tersebut baru beliau ketahui setelah selesai, namun banyak peserta pengajian yang tidak berani kembali ke kampung dan pondok. Dalam peristiwa itu, ayahanda beliau, KH Jauhari mendapat penganiayaan dan perlakuan tidak terhormat. Pengawalan itu beliau lakukan seorang diri.
Pasca puncak Gerakan 30 September 1965, Yang Mulia KH Mahrus Aly, sebagai Ketua Syuriah NU, mendapat kabar bahwa PKI sudah menyiapkan lubang untuk melakukan pembantaian terhadap diri beliau beserta keluarga ndalem, juga seluruh santri Lirboyo. Atas berita ini, Mbah Mahrus memerintahkan Gus Maksum untuk segera mempersiapkan diri dan melatih seluruh santri remaja dan dewasa untuk bersiap-siap.
Bentrokan antara santri dan anggota PKI tidak dapat dihindarkan lagi. Berkat panduan Mbah Mahrus Aly, beliau tidak memperbolehkan santri menyerang anggota PKI yang berada di sekitar pondok. Sikap luar biasa dari Mbah Mahrus ini sangat ditaati dan dijaga oleh Gus Maksum.
Gerakan pembelaan diri dan pembalasan kepada anggota PKI semakin membahana setelah organisasi ini dinyatakan sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia. Sikap "diam" Gus Maksum dan para santri yang diibaratkan seperti api disiram bensin, seketika tersulut tak terbendung. Apalagi, selain kekerasan fisik oleh Pemuda Rakyat dengan jargon Ganyang Santri, Ganyang Sorban, Feodal Borjuis, dan juga sebutan Setan Desa bagi Kyai.
Tak ketinggalan, PKI melalui Lekra-nya acapkali menyinggung umat Islam dengan menampilkan Ludruk dengan judul yang tidak bisa diterima oleh akidah, seperti "Gusti Allah Dadi Nganten", "Malaikat Kawin", dll...
Operasi Pagar Betis, yang merupakan kerjasama antara TNI, Santri, Anshor dan Masyarakat berhasil menumpas kelompok dari organisasi terlarang. Tentu tak lepas dari peran penting Gus Maksum. TNI sangat diuntungkan dengan hal ini. Sebab, pada masa itu, banyak anggota TNI yang menjadi "binaan" PKI, namun tentu saja tidak ada seorangpun Santri dan Ansor yang PKI, sehingga membuahkan hasil yang gilang gemilang. Kediri dan sekitarnya berhasil dibersihkan dari PKI.
Ila hadlroti ruhi KH Maksum Jauhari Lirboyo Kediri wa zawjatihi wadzurriyatihi wa furi'ihi wasilsilatihi wa muhibbihi syaiun lillahu lana walahum al fatihah...
Shuniyya Ruhama H
30 September 2015
Kyai Soleh Darat (Oleh :Shuniyya Ruhama)
SYAIKHONA MBAH SOLEH nDARAT SEMARANG
PENTERJEMAH AL QURAN DALAM BAHASA JAWA
Yang Mulia Syaikhona Mbah Soleh nDarat Semarang adalah salah satu founding father bangsa Indonesia ..... Guru dari Hadlrotusy Syaikh KH. Hasyim Asyari (Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Habib Yahya (Buyut Maulana Habib Lutfi- Pekalongan), Mbah Dalhar-Watucongol Magelang, Mbah Munawir Krapyak-Jogja, dan Ibu RA. Kartini, serta tokoh-tokoh bangsa Indonesia lainnya ...
Dikisahkan, Yang Mulia Mbah Soleh nDarat adalah seorang Priyogung yang hampir tidak pernah menampakkan karomahnya kepada siapapun. Sehingga, dalam kesehariannya, jika orang tidak faham tentang beliau, maka tidak sedikitpun menyadari bahwa yang ada di hadapannya adalah seorang wali Allah.
Beliau hidup di jaman penjajahan Belanda. Sebagaimana para Kyai pada jaman itu, beliau termasuk orang yang memupuk rasa Nasionalisme kepada para santri dan pengikutnya. Hal inilah yang memusingkan Belanda. Tetapi, pembawaan beliau yang tenang dan tidak tampak bahayanya, membuat Belanda tidak pernah punya alasan untuk menangkap, apalagi mengasingkan beliau Yang Mulia.
Sehingga suatu saat, ada seorang pengikut Mbah Soleh nDarat berhasil dipengaruhi oleh Belanda dengan memberikan banyak harta. Pengikut Mbah Soleh nDarat tersebut berusaha membujuk Gurunya supaya tidak lagi kritis dan tidak menanamkan jiwa nasionalisme. Beliau dihadiahi perhiasan dan sejumlah uang. Mbah Soleh nDarat hanya tersenyum saja.
Beliau bertitah, "Aku punya yang lebih banyak daripada itu," sembari menampakkan emas permata dan uang yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada hadiah tersebut.Menyadari hal ini, pengikut beliau minta maaf dan menyadari bahwa gurunya bukanlah "orang biasa".
Beliau juga termasuk orang yang berani melanggar peraturan dari Belanda, saat diminta oleh Ibu Kita Kartini, wanita Indonesia yang agung sepanjang masa, untuk menterjemahkan Al Quran dalam bahasa Jawa.
Di masa itu, menterjemahkan Al Quran ke bahasa daerah merupakan hal yang amat dilarang oleh Pemerintah Belanda. Sebab, Belanda menderita trauma akibat gelora Jihad yang dialunkan Al Quran melalui para Ulama.
Atas berkat perantara Ibu Kartini, Yang Mulia Mbah Soleh nDarat berkenan menterjemahkan Al Quran dalam Bahasa Jawa untuk pertama kalinya, sehingga pembaca Kitab Agung Gegemaning Jalma bisa dipelajari maknanya.
Ila hadlroti ruhi Syaikhona Mbah Soleh nDarat Semarang wa zawjatihi wadzurriyatihi wa furi'ihi wasilsilatihi wa muhibbihi syaiun lillahu lana walahum al fatihah...
Shuniyya Ruhama H
27 September 2015
PENTERJEMAH AL QURAN DALAM BAHASA JAWA
Yang Mulia Syaikhona Mbah Soleh nDarat Semarang adalah salah satu founding father bangsa Indonesia ..... Guru dari Hadlrotusy Syaikh KH. Hasyim Asyari (Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Habib Yahya (Buyut Maulana Habib Lutfi- Pekalongan), Mbah Dalhar-Watucongol Magelang, Mbah Munawir Krapyak-Jogja, dan Ibu RA. Kartini, serta tokoh-tokoh bangsa Indonesia lainnya ...
Dikisahkan, Yang Mulia Mbah Soleh nDarat adalah seorang Priyogung yang hampir tidak pernah menampakkan karomahnya kepada siapapun. Sehingga, dalam kesehariannya, jika orang tidak faham tentang beliau, maka tidak sedikitpun menyadari bahwa yang ada di hadapannya adalah seorang wali Allah.
Beliau hidup di jaman penjajahan Belanda. Sebagaimana para Kyai pada jaman itu, beliau termasuk orang yang memupuk rasa Nasionalisme kepada para santri dan pengikutnya. Hal inilah yang memusingkan Belanda. Tetapi, pembawaan beliau yang tenang dan tidak tampak bahayanya, membuat Belanda tidak pernah punya alasan untuk menangkap, apalagi mengasingkan beliau Yang Mulia.
Sehingga suatu saat, ada seorang pengikut Mbah Soleh nDarat berhasil dipengaruhi oleh Belanda dengan memberikan banyak harta. Pengikut Mbah Soleh nDarat tersebut berusaha membujuk Gurunya supaya tidak lagi kritis dan tidak menanamkan jiwa nasionalisme. Beliau dihadiahi perhiasan dan sejumlah uang. Mbah Soleh nDarat hanya tersenyum saja.
Beliau bertitah, "Aku punya yang lebih banyak daripada itu," sembari menampakkan emas permata dan uang yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada hadiah tersebut.Menyadari hal ini, pengikut beliau minta maaf dan menyadari bahwa gurunya bukanlah "orang biasa".
Beliau juga termasuk orang yang berani melanggar peraturan dari Belanda, saat diminta oleh Ibu Kita Kartini, wanita Indonesia yang agung sepanjang masa, untuk menterjemahkan Al Quran dalam bahasa Jawa.
Di masa itu, menterjemahkan Al Quran ke bahasa daerah merupakan hal yang amat dilarang oleh Pemerintah Belanda. Sebab, Belanda menderita trauma akibat gelora Jihad yang dialunkan Al Quran melalui para Ulama.
Ila hadlroti ruhi Syaikhona Mbah Soleh nDarat Semarang wa zawjatihi wadzurriyatihi wa furi'ihi wasilsilatihi wa muhibbihi syaiun lillahu lana walahum al fatihah...
Shuniyya Ruhama H
27 September 2015
Teladan Kerendahan Hati Pemimpin (Oleh : Shuniyya Ruhama)
Dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama, kepemimpinan tertinggi diduduki oleh seorang Rois Am. Namun, jangan disangka jabatan ini sebagai jabatan prestisius yang akan diperebutkan oleh orang yang mendudukinya. Fakta sejarah telah berbicara, posisi Rois Am diterima tidak dengan riang gembira, melainkan dengan kesedihan dan deraian air mata.
Tercatat, Syaikhona Mbah Bisyri Syansuri RA, selaku Rois Am wafat pada tahun 1980 padahal amanah yang beliau emban belumlah selesai masanya. Maka digelarlah Munas Alim-Ulama 1981 di Kaliurang, Jogja. Dan hasilnya: tidak ada seorang Kyai-pun berani menggantikan beliau sebagai Rais Am.
Adalah Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo yang pertama dipandang paling layak untuk menduduki posisi Rois Am selanjutnya. Namun, beliau menolak sejadi-jadinya. Bahkan beliau sangat tegas menyatakan penolakannya. Kalimat terkenal yang beliau ucapkan ’’Walaupun Malaikat Jibril turun sendiri dan menyuruh saya jadi Rais Am, saya tidak akan mau!’’
Maka, para Kyai saat itu segera mengalihkan perhatiannya kepada sosok tokoh mumpuni yang luar biasa yaitu, Kyai Mahrus Ali Lirboyo Kediri. Bukan persetujuan yang didapat melainkan penolakan yang lebih keras lagi dari beliau. ’’Jangankan Malaikat Jibril, Malaikat Izrail sekalipun yang turun menodong saya jadi Rais Am, saya tidak akan mau!’’
Kebingungan melanda para Kyai, hingga akhirnya diputuskan secara aklamasi untuk mengangkat Kyai Ali Ma’shum Krapyak Jogja yang waktu itu tidak hadir dalam pertemuan ini sehingga tidak bisa menolak.
Lalu para Kyai mengutus Gus Mus Rembang (KH Musthofa Bisri) ke Krapyak untuk menyampaikan kesepakatan itu dan membujuk gurunya agar bersedia menerima. Penolakan juga dilakukan oleh Kyai Ali Ma’shum. Bahkan beliau tidak mau keluar kamar dan menangis seharian. Dengan sabar, Gus Mus membujuk hingga akhirnya, Syaikhona Mbah Kyai Ali Ma’shum dengan deraian air mata menyatakan kesanggupannya. “ Rois Am bukanlah jabatan yang saya kehendaki. Namun, jika saya lari dari tanggungjawab ini, saya khawatir jika mendapat dosa besar”.
Kisah amazing ini, kini terulang dengan situasi yang berbeda. Saat Syaikhona Mbah Maimun Zubair menolak amanah sebagai Rois Am atas putusan Ahlul Halli Wal Aqdi, beliau meminta agar Syaikhona Mbah Mustofa Bisri untuk menjadi Rois Am. Dan ternyata, beliau dengan sangat santun menolak amanah ini.
Teladan yang luar biasa... sungguh luar biasa...
I love u Mbah Kyai...
Shuniyya Ruhama H
6 Agustus 2015
#NU #Ulama #ayonyantri #ayongaji #ayomondok #NUsantara #Indonesia #Nahdliyin #Wali9
Tercatat, Syaikhona Mbah Bisyri Syansuri RA, selaku Rois Am wafat pada tahun 1980 padahal amanah yang beliau emban belumlah selesai masanya. Maka digelarlah Munas Alim-Ulama 1981 di Kaliurang, Jogja. Dan hasilnya: tidak ada seorang Kyai-pun berani menggantikan beliau sebagai Rais Am.
Adalah Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo yang pertama dipandang paling layak untuk menduduki posisi Rois Am selanjutnya. Namun, beliau menolak sejadi-jadinya. Bahkan beliau sangat tegas menyatakan penolakannya. Kalimat terkenal yang beliau ucapkan ’’Walaupun Malaikat Jibril turun sendiri dan menyuruh saya jadi Rais Am, saya tidak akan mau!’’
Maka, para Kyai saat itu segera mengalihkan perhatiannya kepada sosok tokoh mumpuni yang luar biasa yaitu, Kyai Mahrus Ali Lirboyo Kediri. Bukan persetujuan yang didapat melainkan penolakan yang lebih keras lagi dari beliau. ’’Jangankan Malaikat Jibril, Malaikat Izrail sekalipun yang turun menodong saya jadi Rais Am, saya tidak akan mau!’’
Kebingungan melanda para Kyai, hingga akhirnya diputuskan secara aklamasi untuk mengangkat Kyai Ali Ma’shum Krapyak Jogja yang waktu itu tidak hadir dalam pertemuan ini sehingga tidak bisa menolak.
Lalu para Kyai mengutus Gus Mus Rembang (KH Musthofa Bisri) ke Krapyak untuk menyampaikan kesepakatan itu dan membujuk gurunya agar bersedia menerima. Penolakan juga dilakukan oleh Kyai Ali Ma’shum. Bahkan beliau tidak mau keluar kamar dan menangis seharian. Dengan sabar, Gus Mus membujuk hingga akhirnya, Syaikhona Mbah Kyai Ali Ma’shum dengan deraian air mata menyatakan kesanggupannya. “ Rois Am bukanlah jabatan yang saya kehendaki. Namun, jika saya lari dari tanggungjawab ini, saya khawatir jika mendapat dosa besar”.
Kisah amazing ini, kini terulang dengan situasi yang berbeda. Saat Syaikhona Mbah Maimun Zubair menolak amanah sebagai Rois Am atas putusan Ahlul Halli Wal Aqdi, beliau meminta agar Syaikhona Mbah Mustofa Bisri untuk menjadi Rois Am. Dan ternyata, beliau dengan sangat santun menolak amanah ini.
Teladan yang luar biasa... sungguh luar biasa...
I love u Mbah Kyai...
Shuniyya Ruhama H
6 Agustus 2015
#NU #Ulama #ayonyantri #ayongaji #ayomondok #NUsantara #Indonesia #Nahdliyin #Wali9
Peran Kyai Dalam Perjuangan Melawan Penjajah (Oleh : Shuniyya Ruhama)
Sekian belas tahun lalu, saat sulthoni qolby, salah satu guru ngaji Shuniyya, Simbah Kyai Iskandar Jogja masih sugeng, beliau sempat bertutur tentang sepenggal kisah perjuangan Hadlrotusy Syaikh KH Hasyim Asy'arie dan Panglima Jendral Sudirman.
Simbah Kyai Iskandar Jogja, atau biasa disebut Mbah Is, adalah sosok ulama kampung yang sangat tawaduk. Penampilannya sangat bersahaja, sehingga tidak berbeda sama sekali dengan warga setempat lainnya. Bahkan, panggilan "Mbah" membuat semua orang akrab dengan beliau, dan menganggap beliau seperti Mbah kita sendiri. Dhawuh beliau yang lemah lembut, wajah yang selalu sumringah, dan senyum yang selalu menghiasi wajah mulia beliau seakan beliau lebih senang dianggap sebagai sahabat bagi semua orang, bukan sebagai Kyai atau tokoh panutan. Sehingga, tidak heran jika nama beliau sangat asing, bahkan hanya dikenal di kalangan terbatas saja.
Beliau adalah salah satu santri dari Simbah Kyai Munawir Krapyak Jogja hingga wafatnya tahun 1942. Sepeninggal Mbah Munawir, Mbah Is, kembali ke desa asalnya, di sekitar kecamatan Mlati Sleman. Membangun mushola di sana, dan memiliki beberapa murid.
Pada tahun 1945, beliau menerima sebuah surat dari salah satu Kyai untuk ikut berjihad di Surabaya melawan londo. Waktu itu, beliau diminta untuk datang ke Stasiun Lempuyangan Yogyakarta dengan naik Sepur Ekspres. Beliau diminta, begitu kereta api datang, langsung masuk, duduk, dan jangan tengok kanan kiri hingga sampai tujuan. Inilah salah satu karomah guru beliau, sebab di jaman itu belum ada Kereta Api Ekspres, dan jelas bahwa pengurusan Kereta api adalah milik Belanda. Bagaimana bisa mengantarkan pejuang ke Surabaya untuk melawan Sekutu mereka?
Sesampai di Surabaya, beliau segera bergabung dengan barisan pejuang. Waktu itu ada pengumuman, "Para santri dan Kyai dilarang oleh Hadlrotusy Syaikh untuk melakukan penyerangan kepada Londo, sebab, nanti yang akan memimpin perang adalah Walinya Gusti Allah dari Kulon"... Ternyata yang memimpin adalah Simbah Kyai Haji Abas Buntet Cirebon.
Saat pecah perang 10 November, pasukan Indonesia terdesak hebat, kalah persenjataan. Mbah Abas mengangkat tangan entah berdoa apa, tiba-tiba alu dan lesung (alat penumbuk padi dari kayu) dan bebrapa perabotan rumah tangga sekota surabaya keluar dan menyerbu pasukan Londo. Sontak mereka kaget dan mundur hingga menuju ke pelabuhan. Kemudian saat salah satu montor mabur dari Londo tersebut dilempar bakiak yang beliau bawa di kantung kain, dan montor mabur itu meledak.
Perang berlangsung sangat seru dan meninggalkan banyak sekali korban. Keesokan harinya, Mbah Is diperintahkan untuk kembali ke Jogja. Beliau kembali memimpin pengajian di mushola semula. Namun, ketenangan tidak berlangsung lama. Saat Ibukota Negara Indonesia jatuh ke tangan Belanda, beliau memutuskan untuk ikut bergerilya. Beberapa kali beliau bertemu dengan Panglima Besar Sudirman.
Panglima Besar Sudirman dikisahkan sebagai seorang yang berperawakan kurus dan pucat, namun memiliki wibawa yang luar biasa. Tidak banyak bicara, tapi setiap beliau berbicara suasana akan hening dan semua orang menyimak satu persatu apa yang beliau ungkapkan. Dari beberapa pertemuan itu, suatu hari Mbah Is dipanggil oleh Panglima Besar Sudirman, dan diberi ijazah untuk istiqomah membaca Quran Surat Ash Shof ayat 10-12 setiap selesai sholat wajib.
Khushushon ila arwahi Hadlrotusy Syaikh Hasyim Asy'arie, Mbah Yai Munawir Krapyak Jogja, Mbah Yai Abas Buntet Cirebon, Panglima Besar Jendral Sudirman, Mbah Yai Iskandar Jogja wa zawjatihim, wadzurriyatihim, wa furu'ihim, wa silsilatihim binuri, wabi syafa'ati wa bikaromati Al Fatihah...
Shuniyya Ruhama
#NU #Ulama #ayonyantri #ayongaji #ayomondok #NUsantara #Indonesia #Nahdliyin #Wali9
Simbah Kyai Iskandar Jogja, atau biasa disebut Mbah Is, adalah sosok ulama kampung yang sangat tawaduk. Penampilannya sangat bersahaja, sehingga tidak berbeda sama sekali dengan warga setempat lainnya. Bahkan, panggilan "Mbah" membuat semua orang akrab dengan beliau, dan menganggap beliau seperti Mbah kita sendiri. Dhawuh beliau yang lemah lembut, wajah yang selalu sumringah, dan senyum yang selalu menghiasi wajah mulia beliau seakan beliau lebih senang dianggap sebagai sahabat bagi semua orang, bukan sebagai Kyai atau tokoh panutan. Sehingga, tidak heran jika nama beliau sangat asing, bahkan hanya dikenal di kalangan terbatas saja.
Beliau adalah salah satu santri dari Simbah Kyai Munawir Krapyak Jogja hingga wafatnya tahun 1942. Sepeninggal Mbah Munawir, Mbah Is, kembali ke desa asalnya, di sekitar kecamatan Mlati Sleman. Membangun mushola di sana, dan memiliki beberapa murid.
Pada tahun 1945, beliau menerima sebuah surat dari salah satu Kyai untuk ikut berjihad di Surabaya melawan londo. Waktu itu, beliau diminta untuk datang ke Stasiun Lempuyangan Yogyakarta dengan naik Sepur Ekspres. Beliau diminta, begitu kereta api datang, langsung masuk, duduk, dan jangan tengok kanan kiri hingga sampai tujuan. Inilah salah satu karomah guru beliau, sebab di jaman itu belum ada Kereta Api Ekspres, dan jelas bahwa pengurusan Kereta api adalah milik Belanda. Bagaimana bisa mengantarkan pejuang ke Surabaya untuk melawan Sekutu mereka?
Sesampai di Surabaya, beliau segera bergabung dengan barisan pejuang. Waktu itu ada pengumuman, "Para santri dan Kyai dilarang oleh Hadlrotusy Syaikh untuk melakukan penyerangan kepada Londo, sebab, nanti yang akan memimpin perang adalah Walinya Gusti Allah dari Kulon"... Ternyata yang memimpin adalah Simbah Kyai Haji Abas Buntet Cirebon.
Saat pecah perang 10 November, pasukan Indonesia terdesak hebat, kalah persenjataan. Mbah Abas mengangkat tangan entah berdoa apa, tiba-tiba alu dan lesung (alat penumbuk padi dari kayu) dan bebrapa perabotan rumah tangga sekota surabaya keluar dan menyerbu pasukan Londo. Sontak mereka kaget dan mundur hingga menuju ke pelabuhan. Kemudian saat salah satu montor mabur dari Londo tersebut dilempar bakiak yang beliau bawa di kantung kain, dan montor mabur itu meledak.
Perang berlangsung sangat seru dan meninggalkan banyak sekali korban. Keesokan harinya, Mbah Is diperintahkan untuk kembali ke Jogja. Beliau kembali memimpin pengajian di mushola semula. Namun, ketenangan tidak berlangsung lama. Saat Ibukota Negara Indonesia jatuh ke tangan Belanda, beliau memutuskan untuk ikut bergerilya. Beberapa kali beliau bertemu dengan Panglima Besar Sudirman.
Panglima Besar Sudirman dikisahkan sebagai seorang yang berperawakan kurus dan pucat, namun memiliki wibawa yang luar biasa. Tidak banyak bicara, tapi setiap beliau berbicara suasana akan hening dan semua orang menyimak satu persatu apa yang beliau ungkapkan. Dari beberapa pertemuan itu, suatu hari Mbah Is dipanggil oleh Panglima Besar Sudirman, dan diberi ijazah untuk istiqomah membaca Quran Surat Ash Shof ayat 10-12 setiap selesai sholat wajib.
Khushushon ila arwahi Hadlrotusy Syaikh Hasyim Asy'arie, Mbah Yai Munawir Krapyak Jogja, Mbah Yai Abas Buntet Cirebon, Panglima Besar Jendral Sudirman, Mbah Yai Iskandar Jogja wa zawjatihim, wadzurriyatihim, wa furu'ihim, wa silsilatihim binuri, wabi syafa'ati wa bikaromati Al Fatihah...
Shuniyya Ruhama
#NU #Ulama #ayonyantri #ayongaji #ayomondok #NUsantara #Indonesia #Nahdliyin #Wali9
Renungan Tentang Malam Lailatul Qadar (Oleh :Amiruddin Faisal)
Renungan Tentang Malam Lailatul Qadar
(Oleh :Amiruddin Faisal)
Sungguh Aku telah menurunkannya (Alquran) pada Malam Qadr (Lailatul Qadar) dan tahukah kau apa itu Malam Qadr? Malam Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu malaikat-malaikat, termasuk Malaikat Jibril turun dengan izin Tuhan mereka untuk segala urusan. Penuh kedamian malam itu hingga terbitnya fajar".
Di atas adalah terjemahan bebas saya atas surat Al-Qadr. Rangkaian kata lailatul qadar diulang tiga kali dalam tiga ayat dan dua yang terakhir tidak diganti dengan kata ganti sebagaimana lazimnya dalam bahasa Arab. Ini "sama dengan pengulangan lafal Allah dalam surah Al-Ikhlas". Menurut ahli tafsir menunjukkan penting dan agungnya malam itu. Apalagi ada shieghah atau gaya pertanyaan, "Tahukah kau apa itu Malam Qadr?" di situ.
Kemudian pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Alquran dengan firman berikutnya, Malam Qadr lebih baik dari seribu bulan. Dari banyak riwayat hadis, dapat diketahui bahwa "lebih baik dari seribu bulan" artinya, amalan-amalan ibadah yang dilakukan pada malam itu lebih afdal dan lebih bernilai daripada amalan-amalan ibadah yang dilakukan pada seribu bulan yang tak ada Malam Qadar. Dengan istilah lain dalam ayat lain (Q. 44: 3) , malam itu disebutkan sebagai malam penuh berkah.
Bermula dari surah ke-97 Alquran inilah istilah lailatul qadar menjadi sangat populer, termasuk pada kita ini. Hampir setiap bulan Ramadan, khususnya saat memasuki paro keduanya, orang (Islam) selalu membicarakannya sebagai semacam "buruan" atau tumpuan berbagai harapan.
Bagi mereka yang suka "potong kompas", tentu sangat tertarik membicarakan pendapat ulama tentang kapan tepatnya malam itu.
Kebetulan sejak dulu, ulama sudah membicarakan dan dari kalangan mereka muncul banyak versi. Ada yang mengatakan, Lailatul Qadar itu terdapat pada malam 10 terakhir Ramadan. Ada yang mengatakan pokoknya pada malam tanggal ganjil: 21, 23, 25, 27, atau 29. Ada lagi yang memastikan tanggal 21. Ada yang memastikan tanggal 27.
Tentu saja yang paling beruntung dan pasti menjumpai lailatul qadar adalah mereka yang "memburu"-nya pada setiap malam di seluruh bulan Ramadan. Berbahagialah mereka yang pada malam istimewa itu sedang berbuat atau beramal baik. Karena mereka akan mendapatkan pahala senilai beramal baik 1.000 bulan. Sayang, akhir-akhir ini banyak orang yang memburu dan berharap menemukan lailatul qadar hanya sebagaimana orang menunggu-nunggu pembukaan undian dan menganggap sebagai anugerah tiban yang dibayangkan berupa materi atau keberuntungan duniawi lainnya.
Keuntungan Materi
Kita misalnya, sering mendengar orang mengatakan, "Wah, saya baru saja mendapat lailatul qadar". Kemudian ternyata yang dimaksud orang tersebut tak lain adalah keuntungan materi .
Boleh jadi hal itu terjadi karena kondisi kita yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang didominasi kepentingan materi dan perhitungan untung-rugi, ditambah kentalnya budaya instan yang melekat. Surah Al-Qadr yang menjelaskan keiistimewaan malam pada saat mana Alquran itu turun, telah membuat banyak orang Islam "termasuk mereka yang sangat jarang membaca Alquran" sibuk memburu lailatul qadar. Sementara itu, Alquran sendiri yang diturunkan pada saat istimewa itu terus diperlakukan tidak semestinya.
Padahal bila orang lebih cermat menyimak, insya Allah akan melihat bahwa Surah Al-Qadr itu "wallahu a'lam bish-shawab" meski berbicara tentang keistimewaan malam, tidak terlepas kaitannya dengan keistimewaan Alquran.
Oleh banyak pemiliknya, kaum muslim, Alquran lebih sering diperlakukan sebagai azimat. Ditaruh dalam almari kaca agar terlihat indah dan sekaligus tidak tersentuh. Kalaupun dibaca, dibaca dengan semangat sebatas agar memperoleh berkah dan ganjaran membaca. Banyak sekali orang Islam yang membaca kitab sucinya itu dengan ekspresi untuk memenuhi target khatam sebulan atau setahun sekian kali. Dan, mungkin lebih banyak lagi yang sama sekali tidak membaca Alquran.
Sudah demikian, semua orang Islam selalu mengatakan bahwa Alquran adalah kitab suci dan pedoman hidupnya. Sungguh musykil orang yang memiliki kitab suci dan diakui sebagai pedoman hidupnya, ternyata tidak memahami kitabnya itu; apalagi tidak membacanya.
Maka, herankah kita bila melihat banyak kaum muslim yang perilakunya seperti mereka yang tidak mempunyai pedoman hidup sama sekali? Herankah kita bila di negeri kita yang mayoritas muslimin ini, pergaulan hidupnya seperti yang kita saksikan sampai sekarang ini?
Ataukah, seperti kebiasaan kita berspekulasi, kita hanya akan mengadang lailatul qadar dan tanpa mempersiapkan diri dalam laku Qurani?
(Oleh :Amiruddin Faisal)
Sungguh Aku telah menurunkannya (Alquran) pada Malam Qadr (Lailatul Qadar) dan tahukah kau apa itu Malam Qadr? Malam Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu malaikat-malaikat, termasuk Malaikat Jibril turun dengan izin Tuhan mereka untuk segala urusan. Penuh kedamian malam itu hingga terbitnya fajar".
Di atas adalah terjemahan bebas saya atas surat Al-Qadr. Rangkaian kata lailatul qadar diulang tiga kali dalam tiga ayat dan dua yang terakhir tidak diganti dengan kata ganti sebagaimana lazimnya dalam bahasa Arab. Ini "sama dengan pengulangan lafal Allah dalam surah Al-Ikhlas". Menurut ahli tafsir menunjukkan penting dan agungnya malam itu. Apalagi ada shieghah atau gaya pertanyaan, "Tahukah kau apa itu Malam Qadr?" di situ.
Kemudian pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Alquran dengan firman berikutnya, Malam Qadr lebih baik dari seribu bulan. Dari banyak riwayat hadis, dapat diketahui bahwa "lebih baik dari seribu bulan" artinya, amalan-amalan ibadah yang dilakukan pada malam itu lebih afdal dan lebih bernilai daripada amalan-amalan ibadah yang dilakukan pada seribu bulan yang tak ada Malam Qadar. Dengan istilah lain dalam ayat lain (Q. 44: 3) , malam itu disebutkan sebagai malam penuh berkah.
Bermula dari surah ke-97 Alquran inilah istilah lailatul qadar menjadi sangat populer, termasuk pada kita ini. Hampir setiap bulan Ramadan, khususnya saat memasuki paro keduanya, orang (Islam) selalu membicarakannya sebagai semacam "buruan" atau tumpuan berbagai harapan.
Bagi mereka yang suka "potong kompas", tentu sangat tertarik membicarakan pendapat ulama tentang kapan tepatnya malam itu.
Kebetulan sejak dulu, ulama sudah membicarakan dan dari kalangan mereka muncul banyak versi. Ada yang mengatakan, Lailatul Qadar itu terdapat pada malam 10 terakhir Ramadan. Ada yang mengatakan pokoknya pada malam tanggal ganjil: 21, 23, 25, 27, atau 29. Ada lagi yang memastikan tanggal 21. Ada yang memastikan tanggal 27.
Tentu saja yang paling beruntung dan pasti menjumpai lailatul qadar adalah mereka yang "memburu"-nya pada setiap malam di seluruh bulan Ramadan. Berbahagialah mereka yang pada malam istimewa itu sedang berbuat atau beramal baik. Karena mereka akan mendapatkan pahala senilai beramal baik 1.000 bulan. Sayang, akhir-akhir ini banyak orang yang memburu dan berharap menemukan lailatul qadar hanya sebagaimana orang menunggu-nunggu pembukaan undian dan menganggap sebagai anugerah tiban yang dibayangkan berupa materi atau keberuntungan duniawi lainnya.
Keuntungan Materi
Kita misalnya, sering mendengar orang mengatakan, "Wah, saya baru saja mendapat lailatul qadar". Kemudian ternyata yang dimaksud orang tersebut tak lain adalah keuntungan materi .
Boleh jadi hal itu terjadi karena kondisi kita yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang didominasi kepentingan materi dan perhitungan untung-rugi, ditambah kentalnya budaya instan yang melekat. Surah Al-Qadr yang menjelaskan keiistimewaan malam pada saat mana Alquran itu turun, telah membuat banyak orang Islam "termasuk mereka yang sangat jarang membaca Alquran" sibuk memburu lailatul qadar. Sementara itu, Alquran sendiri yang diturunkan pada saat istimewa itu terus diperlakukan tidak semestinya.
Padahal bila orang lebih cermat menyimak, insya Allah akan melihat bahwa Surah Al-Qadr itu "wallahu a'lam bish-shawab" meski berbicara tentang keistimewaan malam, tidak terlepas kaitannya dengan keistimewaan Alquran.
Oleh banyak pemiliknya, kaum muslim, Alquran lebih sering diperlakukan sebagai azimat. Ditaruh dalam almari kaca agar terlihat indah dan sekaligus tidak tersentuh. Kalaupun dibaca, dibaca dengan semangat sebatas agar memperoleh berkah dan ganjaran membaca. Banyak sekali orang Islam yang membaca kitab sucinya itu dengan ekspresi untuk memenuhi target khatam sebulan atau setahun sekian kali. Dan, mungkin lebih banyak lagi yang sama sekali tidak membaca Alquran.
Sudah demikian, semua orang Islam selalu mengatakan bahwa Alquran adalah kitab suci dan pedoman hidupnya. Sungguh musykil orang yang memiliki kitab suci dan diakui sebagai pedoman hidupnya, ternyata tidak memahami kitabnya itu; apalagi tidak membacanya.
Maka, herankah kita bila melihat banyak kaum muslim yang perilakunya seperti mereka yang tidak mempunyai pedoman hidup sama sekali? Herankah kita bila di negeri kita yang mayoritas muslimin ini, pergaulan hidupnya seperti yang kita saksikan sampai sekarang ini?
Ataukah, seperti kebiasaan kita berspekulasi, kita hanya akan mengadang lailatul qadar dan tanpa mempersiapkan diri dalam laku Qurani?
Merenungkan Kembali Hakikat Islam Rasulullah SAW (Oleh :Amiruddin Faisal)
Merenungkan Kembali Hakikat Islam Rasulullah SAW
Oleh :Amiruddin Faisal
Jarak waktu kehidupan kita sekarang ini dengan kehidupan pemimpin agung kita Rasulullah SAW sudah mendekati 15 abad. Ibarat air sungai, kita sudah sangat jauh dari mata air. Boleh jadi sudah mendekati muara. Maka air sungai pun sudah semakin keruh, nyaris tak terlihat lagi warnanya. Tinggal namanya saja.
Berbaur dengan limbah nilai-nilai baru yang dikemas begitu menarik oleh kehidupan serba materi yang mendominasi dunia dewasa ini, ajaran dan keteladanan Rasulullah SAW sering tak jelas lagi. Kalau pun tampak, kebanyakan sekedar dagingnya belaka. Peringatan-peringatan Maulid Nabi yang digelar dalam kemas yang begitu-begitu saja dengan isi yang kurang lebih permanen dari Rabi’ul Awal ke Rabi’ul Awal, tak cukup berarti di sela-sela derasnya banjir ‘pengajian lain’ yang lebih menggiurkan yang secara rutin dan tertib melanda rumah-rumah.
Setiap kali kita menyebut suatu perangai atau perilaku pemimpin agung kita Muhammad SAW, kita hanya terkagum-kagum seperti mendengar dongeng nan indah. Apalagi di zaman dimana kebanyakan pemimpin tidak lagi mecerminkan sosok pemimpin yang pantas disebut pemimpin, pemimpin yang membantu memudahkan orang menghormati dan meneladaninya. Mereka yang terlanjur disebut pemimpin dewasa ini, bila diingatkan akan keagungan Rasulullah SAW, mungkin akan berdalih, “Itu kan Nabi pemimpin agung yang mendapat wahyu Ilahi, mana mungkin kami bisa menirunya. Lagi pula kalian sebagai umat juga tidak seperti para shahabat Nabi.”
Seperti juga air sungai yang masih jernih ketika baru saja meninggalkan mataairnya, para pemimpin salaf masih dapat dengan jelas kita lihat benang merah yang menghubungkan mereka dengan kepemimpinan Rasulullah SAW. Aroma keharuman akhlak mereka masihanduk kesemerbakan uswah hasanah-nya. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Abu Bakar Shiddiq, misalnya, masih dapat dengan jelas melihat kelembutan; kasihsayang; dan kearifan kenabian melalui pribadi khalifah pertamanya ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Umar Ibn Khatthab, masih dapat dengan jelas menyaksikan kesederhanaan; kedemokratan; dan keadilan kenabian melalui pribadi Amirulmukminienini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Utman Ibn ‘Affan, masih dapat dengan jelas merasakan; kesantunan; kedermawanan; dan keikhlasan kenabian melalui pribadi Dzun Nurain ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat mengenal shahabat ‘Ali Ibn Abi Thalib, masih dapat dengan jelas menghayati keilmuan; kezuhudan; dan keberanian kenabian melalui pribadi Babul Ilmi ini. Jika mau, Anda bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh agung lainnya seperti Tholhah Ibn ‘Ubaidillah; Zubeir Ibn ‘Awwam; ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf; Sa’d Ibn Abi Waqqash; Sa’id Ibn Zaid; Abu ‘Ubaidah Ibn Jarrah dan masih banyak lagi dari para pemimpin salaf --radhiaLlahu ‘anhum ajmaien-- yang meneruskan tradisi Nabi: menebar kasihsayang. Rahmatan lil ‘aalamien!
Kalau mereka terlalu jauh, Anda masih dapat mencari-cari dari teladan-teladan mulia yang datang belakangan, seperti khalifah Umar Ibn Abdul Aziez; imam Hasan Bashari; imam Abu Hanifah; imam Malik, imam Syafii; imam Ahmad; imam Juneid; imam Ghazali; syeih Syadzily; syeikh Abdul Qadir Jailani; dlsb. Atau yang lebih belakangan lagi: Hadlratussyeikh Hasyim Asy’ari …hingga Kiai Abdu Hamid Pasuruan. Rahimahumullahu ajma’ien.
Setiap bulan Rabi’ul Awal, memang banyak di antara kita yang sengaja mendatangi tempat dimana ‘percik-percik’ kebeningan mata air coba dikemukakan. Sekilas-sekilas kemilau kejernihannya tampak oleh kita; namun belum sempat kita menyerap kesegarannya, sampah-sampah yang membanjiri sungai sudah melanda kita.
Gemerlap sampah-sampah yang deras itu begitu canggih menutupi sisa-sisa air mata air, hingga kita tak lagi dapat atau sempat membedakan mana yang warna sampah dan mana yang warna air. Kekeruhan yang sempurna. Masya Allah!
Meratapi nasib saja tak ada gunannya. Kita yang berada di hilir ini masih bisa menapis dan menyaring untuk mendapatkan air yang bersih. Apalagi zaman sekarang menyediakan berbagai fasilitas canggih untuk itu. Tinggal kita. Maukah kita menyempatkan diri melakukan penapisan dan penyaringan itu, atau bahkan mau bersusah payah naik ke hulu, mencari mata air. Ataukah kita masih asyik dan sibuk dengan sampah-sampah limbah hingga tak merasa perlu dengan air jernih nan bersih?
Oleh :Amiruddin Faisal
Jarak waktu kehidupan kita sekarang ini dengan kehidupan pemimpin agung kita Rasulullah SAW sudah mendekati 15 abad. Ibarat air sungai, kita sudah sangat jauh dari mata air. Boleh jadi sudah mendekati muara. Maka air sungai pun sudah semakin keruh, nyaris tak terlihat lagi warnanya. Tinggal namanya saja.
Berbaur dengan limbah nilai-nilai baru yang dikemas begitu menarik oleh kehidupan serba materi yang mendominasi dunia dewasa ini, ajaran dan keteladanan Rasulullah SAW sering tak jelas lagi. Kalau pun tampak, kebanyakan sekedar dagingnya belaka. Peringatan-peringatan Maulid Nabi yang digelar dalam kemas yang begitu-begitu saja dengan isi yang kurang lebih permanen dari Rabi’ul Awal ke Rabi’ul Awal, tak cukup berarti di sela-sela derasnya banjir ‘pengajian lain’ yang lebih menggiurkan yang secara rutin dan tertib melanda rumah-rumah.
Setiap kali kita menyebut suatu perangai atau perilaku pemimpin agung kita Muhammad SAW, kita hanya terkagum-kagum seperti mendengar dongeng nan indah. Apalagi di zaman dimana kebanyakan pemimpin tidak lagi mecerminkan sosok pemimpin yang pantas disebut pemimpin, pemimpin yang membantu memudahkan orang menghormati dan meneladaninya. Mereka yang terlanjur disebut pemimpin dewasa ini, bila diingatkan akan keagungan Rasulullah SAW, mungkin akan berdalih, “Itu kan Nabi pemimpin agung yang mendapat wahyu Ilahi, mana mungkin kami bisa menirunya. Lagi pula kalian sebagai umat juga tidak seperti para shahabat Nabi.”
Seperti juga air sungai yang masih jernih ketika baru saja meninggalkan mataairnya, para pemimpin salaf masih dapat dengan jelas kita lihat benang merah yang menghubungkan mereka dengan kepemimpinan Rasulullah SAW. Aroma keharuman akhlak mereka masihanduk kesemerbakan uswah hasanah-nya. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Abu Bakar Shiddiq, misalnya, masih dapat dengan jelas melihat kelembutan; kasihsayang; dan kearifan kenabian melalui pribadi khalifah pertamanya ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Umar Ibn Khatthab, masih dapat dengan jelas menyaksikan kesederhanaan; kedemokratan; dan keadilan kenabian melalui pribadi Amirulmukminienini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Utman Ibn ‘Affan, masih dapat dengan jelas merasakan; kesantunan; kedermawanan; dan keikhlasan kenabian melalui pribadi Dzun Nurain ini. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW dan masih sempat mengenal shahabat ‘Ali Ibn Abi Thalib, masih dapat dengan jelas menghayati keilmuan; kezuhudan; dan keberanian kenabian melalui pribadi Babul Ilmi ini. Jika mau, Anda bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh agung lainnya seperti Tholhah Ibn ‘Ubaidillah; Zubeir Ibn ‘Awwam; ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf; Sa’d Ibn Abi Waqqash; Sa’id Ibn Zaid; Abu ‘Ubaidah Ibn Jarrah dan masih banyak lagi dari para pemimpin salaf --radhiaLlahu ‘anhum ajmaien-- yang meneruskan tradisi Nabi: menebar kasihsayang. Rahmatan lil ‘aalamien!
Kalau mereka terlalu jauh, Anda masih dapat mencari-cari dari teladan-teladan mulia yang datang belakangan, seperti khalifah Umar Ibn Abdul Aziez; imam Hasan Bashari; imam Abu Hanifah; imam Malik, imam Syafii; imam Ahmad; imam Juneid; imam Ghazali; syeih Syadzily; syeikh Abdul Qadir Jailani; dlsb. Atau yang lebih belakangan lagi: Hadlratussyeikh Hasyim Asy’ari …hingga Kiai Abdu Hamid Pasuruan. Rahimahumullahu ajma’ien.
Setiap bulan Rabi’ul Awal, memang banyak di antara kita yang sengaja mendatangi tempat dimana ‘percik-percik’ kebeningan mata air coba dikemukakan. Sekilas-sekilas kemilau kejernihannya tampak oleh kita; namun belum sempat kita menyerap kesegarannya, sampah-sampah yang membanjiri sungai sudah melanda kita.
Gemerlap sampah-sampah yang deras itu begitu canggih menutupi sisa-sisa air mata air, hingga kita tak lagi dapat atau sempat membedakan mana yang warna sampah dan mana yang warna air. Kekeruhan yang sempurna. Masya Allah!
Meratapi nasib saja tak ada gunannya. Kita yang berada di hilir ini masih bisa menapis dan menyaring untuk mendapatkan air yang bersih. Apalagi zaman sekarang menyediakan berbagai fasilitas canggih untuk itu. Tinggal kita. Maukah kita menyempatkan diri melakukan penapisan dan penyaringan itu, atau bahkan mau bersusah payah naik ke hulu, mencari mata air. Ataukah kita masih asyik dan sibuk dengan sampah-sampah limbah hingga tak merasa perlu dengan air jernih nan bersih?
Asimilasi Budaya Lokal Dalam Islam Nusantara (Oleh : Amiruddin Faisal)
Asimilasi Budaya Lokal Dalam Islam Nusantara
Oleh : Amiruddin Faisal
Kosa kata ‘pribumisasi Islam’ tidak terdapat di dalam kamus, tetapi dalam thesaurus Bahasa Indonesia terdapat lema ‘mempribumikan’ dengan padanan kata ‘menasionalisasikan.’ Jika ‘pribumisasi’ adalah padanan kata ‘domestication’ dalam bahasa Inggris, maka arti yang paling dekat adalah ‘membawa (satu kosakata asing, istilah, dan sebagainya) ke dalam suatu wilayah atau negeri untuk dapat diterima (oleh anak negeri itu). Jadi, bila demikian, ‘pribumisasi Islam’ dapat diartikan sebagai berbagai macam cara dan usaha untuk menjadikan nilai, kaidah, dan tradisi Islam yang didaku bersifat universasl ke dalam komunitas lokal dan masyarakat negeri (Indonesia atau nusantara). Jika demikian maka ada dua jurusan yang ditempuh, yaitu upaya pembatinan nilai, kaidah, dan tradisi Islam ke dalam diri setiap individu lewat proses internalisasi dan sosialisasi; dan kegiatan strategis penebaran nilai, kaidah, dan tradisi Islam kepada individu lain di komunitas berbeda yang tersebar secara geografis di seluruh pelosok nusantara. Di dalam perspektif Gramscian, dengan demikian ‘pribumisasi Islam’ adalah wujud dari perang posisi, untuk merebut posisi dominatif dan hegemonis. Nampaknya apa yang dimaksud oleh Gus Dur dengan ‘pribumisasi Islam’ itu mengacu kepada berbagai upaya yang dianggap telah dilakukan oleh Wali Songo di Jawa dalam upaya penebaran Islam di masyarakat Jawa, dan proses pembatinan (internalisasi) nilai, kaidah, dan ajaran Islam menjadi milik setiap individu orang Jawa, bukan dengan cara kekerasan dan paksaan melainkan dengan cara hikmah dan ihsan dengan memprakarsai dan melakukan inovasi metode yang cocok bagi masyarakat Jawa pada saat itu, misalnya menggunakan media gamelan dan wayang.
Gagasan Gus Dur ini dalam bidang kesenian disambut antusias oleh para seniman, sehingga lahirlah produk kesenian, misalnya sebagaimana musik yang diciptakan oleh kelompok musik ‘kyai Kanjeng;’ atau upaya yang sangat sungguh-sungguh untuk menerjemahkan al Qur’an ke dalam kidung (tembang) bahasa Jawa yang dilakukan seorang tokoh di daerah pedesaan jawa Timur, sebagaimana terjemahan puitisasi ayat al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin. Di dalam bidang nilai, kaidah, idiom, dan tradisi, misalnya muncul wacana ‘Islam Nusantara’ yang diprakarsai oleh kaum muda NU di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Demikian juga dalam bidang pendidikan, dapat dicontohkan metode pendidikan ‘Islam partisipatori’ yang dieksperimentasikan dan dilaksanakan satu pesantren di desa Kalibening, Salatiga, yang dipimpin oleh Bahrudin. Pendek kata nilai dan ajaran Islam yang didaku universal itu dihadirkan secara lokal, dibingkai dengan bingkai kebudayaan lokal, yang memiliki warna lokal, sehingga ruh (dan ideologi) Islam universal meresap dalam tradisi komunitas dan masyarakat lokal (pribumi Indonesia). Proses inilah yang juga bisa disebut sebagai transformasi nilai dan ajaran universal Islam ke dalam kebudayaan dan tradisi lokal (pribumi). Akan tetapi prosesnya sudah barang tentu tidak hanya berhenti di sini, melainkan pada saat yang sama, ketika terjadi eksternalisasi nilai, kaidah, dan tradisi hasil proses ‘pribumisasi’ itu maka sekaligus terjadi transformasi ‘pribumisasi Islam’ itu ke khalayak di dunia, sehingga terbukalah kemungkinan proses pengayaan (enrichment) Islam dan tradisinya. Dalam konteks seperti itu, gagasan Gus Dur tentang ‘pribumisasi Islam’ dapat dilihat sebagai wahana transformatif. Tetapi istilah ‘pribumisasi Islam’ itu juga terbuka untuk diartikan sebagai upaya mengikis habis ‘bias tradisi Arab’ yang melekat atau dilekatkan pada agama Islam. Di dalam hal ini, seorang tokoh apa yang dikenal sebagai ‘kelompok masjid Salman ITB’, yakni almarhum Immadudin Abdurrahim (dikenal dengan panggilan ‘bang Imad’) pernah menggambarkan secara tepat gerakan Islamisasi yang tidak perlu bersifat ‘aping the Arab’ yang beranggapan dan berpendapat bahwa Islam sama dengan Arab, sehingga kata dia pada waktu itu, menjadi Islam berarti harus berjenggot, bergamis, bersurban bagi laki-laki, dan menutup seluruh anggota badan dan bercadar bagi perempuan. Dalam arti yang kedua ini, ‘pribumisasi Islam’ juga dapat diartikan sebagai wujud dari perang posisi Gramscian, yakni merebut posisi dan peran dominatif dan hegemonis Arab dalam hal Islam, dan menggantinya dengan Islam yang telah dipribumisasikan dan diwarnai oleh kebudayaan dan tradisi lokal, meski tetap memegang teguh nilai dan kaidah universal dari Islam.
Pribumisasi Islam merupakan gagasan Gus Dur yang berkembang pada era 8o-an ,tujuan gagasan pribumisasi Islam adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga keduanya dapat saling menerima dan memberi,salingg mengisi.Meski terdapat ketegangan di antara keduanya.Namun,hendaknya tidak ada upaya penaklukan atau hubungan menang kalah dalam hal ini.Sebagaimana hal ini dapat dibaca di tulisan tulisan Gus Dur sebelumnya terutama makalah Al- qur`an dalam pemahaman konteks sosial baru dalam bukunya Muslim di Tengha Pergumulan. Terjadinya dialog antara pendiri NU dengan tokoh nasionalis untuk mencari titik temu agama dan faham kebangsaan merupakan realitas yang menarik.Apakah Islam dapat menerima paham ini?.Dlm bahasa Ir.Soekarno presiden pertama RI,beliau menerjamahkan makna nasiolisme dengan mengatakan nasionalismeku adalah kemanusian. Pada titik inilah Gus Dur sering berbicara tentang prjuangn atas nama kemanusiaan.Bahkan untuk membedakan tindakan agama dengan tindakan "bukan agama" dilihat dari praktik dan sikap yang manusiawi.Jika suatu tindakan tidak manusiawi terjadi dengan menggunakan atas nama agama,maka jelaslah,bahwa itu sebenarnya bukan praktik keagamaan yang benar.Karen itu Gus Dur terkenal dengan sifatnya yang humanis. Mesk demikian,bukan berarta Gus Dur antiagama.Justru beliau sadar betul suatu ungkapan,bahwa "Islam itu luhur dan tiada yang lebih luhur diatas(islam)".Namun, Gus Dua tidak terjebak pada sikap verbal dalam memahami ungkapan ini.Beliau mmbuktikannya keyakinannya pada ajaran agamanya yang luhur itu dalam tindak - tanduknya ,sikap - sikap politiknya yang menjunjung tinggi kemanusian.Beliau menolak betul tindakan tidak manusiawi termasuk kekerasan yang dibungkus dan dikemas atas nama agama.Beliau juga setuju dengan tindakan - tindakan manusiawa meski tidak atas nama agama.Beliau membela eksistensi dan hak hidup kaum minoritas di tanah air,dst.Semua dilakukanny a demi bangsa. Sampai disini,dapat dikatakan,bahwa perjuangan pribumisasi Islam yang diusung Gus Dur,adalah perjuangannya untuk mendialogkan Islam dengan masalah -masalah kemanusian misalnya kebudayaan .Kebudayaan adalah hasil kreatifitas manusia.Lalu bagaimana agama menyikapinya.Dengan rumusan pemikiran Gus dur,tentu saja agama harus menyikapinya secara manusiawi,dan tidak serta merta mmberangus kreatifts manusia itu.Beliau menghargai hak -hak manusia,kebebasan berpikir,sambli membuang hal-hal yg tidak perlu atau bertentangan dengan agama secara perlahan.
Oleh : Amiruddin Faisal
Kosa kata ‘pribumisasi Islam’ tidak terdapat di dalam kamus, tetapi dalam thesaurus Bahasa Indonesia terdapat lema ‘mempribumikan’ dengan padanan kata ‘menasionalisasikan.’ Jika ‘pribumisasi’ adalah padanan kata ‘domestication’ dalam bahasa Inggris, maka arti yang paling dekat adalah ‘membawa (satu kosakata asing, istilah, dan sebagainya) ke dalam suatu wilayah atau negeri untuk dapat diterima (oleh anak negeri itu). Jadi, bila demikian, ‘pribumisasi Islam’ dapat diartikan sebagai berbagai macam cara dan usaha untuk menjadikan nilai, kaidah, dan tradisi Islam yang didaku bersifat universasl ke dalam komunitas lokal dan masyarakat negeri (Indonesia atau nusantara). Jika demikian maka ada dua jurusan yang ditempuh, yaitu upaya pembatinan nilai, kaidah, dan tradisi Islam ke dalam diri setiap individu lewat proses internalisasi dan sosialisasi; dan kegiatan strategis penebaran nilai, kaidah, dan tradisi Islam kepada individu lain di komunitas berbeda yang tersebar secara geografis di seluruh pelosok nusantara. Di dalam perspektif Gramscian, dengan demikian ‘pribumisasi Islam’ adalah wujud dari perang posisi, untuk merebut posisi dominatif dan hegemonis. Nampaknya apa yang dimaksud oleh Gus Dur dengan ‘pribumisasi Islam’ itu mengacu kepada berbagai upaya yang dianggap telah dilakukan oleh Wali Songo di Jawa dalam upaya penebaran Islam di masyarakat Jawa, dan proses pembatinan (internalisasi) nilai, kaidah, dan ajaran Islam menjadi milik setiap individu orang Jawa, bukan dengan cara kekerasan dan paksaan melainkan dengan cara hikmah dan ihsan dengan memprakarsai dan melakukan inovasi metode yang cocok bagi masyarakat Jawa pada saat itu, misalnya menggunakan media gamelan dan wayang.
Gagasan Gus Dur ini dalam bidang kesenian disambut antusias oleh para seniman, sehingga lahirlah produk kesenian, misalnya sebagaimana musik yang diciptakan oleh kelompok musik ‘kyai Kanjeng;’ atau upaya yang sangat sungguh-sungguh untuk menerjemahkan al Qur’an ke dalam kidung (tembang) bahasa Jawa yang dilakukan seorang tokoh di daerah pedesaan jawa Timur, sebagaimana terjemahan puitisasi ayat al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia oleh H.B. Jassin. Di dalam bidang nilai, kaidah, idiom, dan tradisi, misalnya muncul wacana ‘Islam Nusantara’ yang diprakarsai oleh kaum muda NU di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Demikian juga dalam bidang pendidikan, dapat dicontohkan metode pendidikan ‘Islam partisipatori’ yang dieksperimentasikan dan dilaksanakan satu pesantren di desa Kalibening, Salatiga, yang dipimpin oleh Bahrudin. Pendek kata nilai dan ajaran Islam yang didaku universal itu dihadirkan secara lokal, dibingkai dengan bingkai kebudayaan lokal, yang memiliki warna lokal, sehingga ruh (dan ideologi) Islam universal meresap dalam tradisi komunitas dan masyarakat lokal (pribumi Indonesia). Proses inilah yang juga bisa disebut sebagai transformasi nilai dan ajaran universal Islam ke dalam kebudayaan dan tradisi lokal (pribumi). Akan tetapi prosesnya sudah barang tentu tidak hanya berhenti di sini, melainkan pada saat yang sama, ketika terjadi eksternalisasi nilai, kaidah, dan tradisi hasil proses ‘pribumisasi’ itu maka sekaligus terjadi transformasi ‘pribumisasi Islam’ itu ke khalayak di dunia, sehingga terbukalah kemungkinan proses pengayaan (enrichment) Islam dan tradisinya. Dalam konteks seperti itu, gagasan Gus Dur tentang ‘pribumisasi Islam’ dapat dilihat sebagai wahana transformatif. Tetapi istilah ‘pribumisasi Islam’ itu juga terbuka untuk diartikan sebagai upaya mengikis habis ‘bias tradisi Arab’ yang melekat atau dilekatkan pada agama Islam. Di dalam hal ini, seorang tokoh apa yang dikenal sebagai ‘kelompok masjid Salman ITB’, yakni almarhum Immadudin Abdurrahim (dikenal dengan panggilan ‘bang Imad’) pernah menggambarkan secara tepat gerakan Islamisasi yang tidak perlu bersifat ‘aping the Arab’ yang beranggapan dan berpendapat bahwa Islam sama dengan Arab, sehingga kata dia pada waktu itu, menjadi Islam berarti harus berjenggot, bergamis, bersurban bagi laki-laki, dan menutup seluruh anggota badan dan bercadar bagi perempuan. Dalam arti yang kedua ini, ‘pribumisasi Islam’ juga dapat diartikan sebagai wujud dari perang posisi Gramscian, yakni merebut posisi dan peran dominatif dan hegemonis Arab dalam hal Islam, dan menggantinya dengan Islam yang telah dipribumisasikan dan diwarnai oleh kebudayaan dan tradisi lokal, meski tetap memegang teguh nilai dan kaidah universal dari Islam.
Pribumisasi Islam merupakan gagasan Gus Dur yang berkembang pada era 8o-an ,tujuan gagasan pribumisasi Islam adalah agar terjadinya dialog Islam dan kebudayaan sehingga keduanya dapat saling menerima dan memberi,salingg mengisi.Meski terdapat ketegangan di antara keduanya.Namun,hendaknya tidak ada upaya penaklukan atau hubungan menang kalah dalam hal ini.Sebagaimana hal ini dapat dibaca di tulisan tulisan Gus Dur sebelumnya terutama makalah Al- qur`an dalam pemahaman konteks sosial baru dalam bukunya Muslim di Tengha Pergumulan. Terjadinya dialog antara pendiri NU dengan tokoh nasionalis untuk mencari titik temu agama dan faham kebangsaan merupakan realitas yang menarik.Apakah Islam dapat menerima paham ini?.Dlm bahasa Ir.Soekarno presiden pertama RI,beliau menerjamahkan makna nasiolisme dengan mengatakan nasionalismeku adalah kemanusian. Pada titik inilah Gus Dur sering berbicara tentang prjuangn atas nama kemanusiaan.Bahkan untuk membedakan tindakan agama dengan tindakan "bukan agama" dilihat dari praktik dan sikap yang manusiawi.Jika suatu tindakan tidak manusiawi terjadi dengan menggunakan atas nama agama,maka jelaslah,bahwa itu sebenarnya bukan praktik keagamaan yang benar.Karen itu Gus Dur terkenal dengan sifatnya yang humanis. Mesk demikian,bukan berarta Gus Dur antiagama.Justru beliau sadar betul suatu ungkapan,bahwa "Islam itu luhur dan tiada yang lebih luhur diatas(islam)".Namun, Gus Dua tidak terjebak pada sikap verbal dalam memahami ungkapan ini.Beliau mmbuktikannya keyakinannya pada ajaran agamanya yang luhur itu dalam tindak - tanduknya ,sikap - sikap politiknya yang menjunjung tinggi kemanusian.Beliau menolak betul tindakan tidak manusiawi termasuk kekerasan yang dibungkus dan dikemas atas nama agama.Beliau juga setuju dengan tindakan - tindakan manusiawa meski tidak atas nama agama.Beliau membela eksistensi dan hak hidup kaum minoritas di tanah air,dst.Semua dilakukanny a demi bangsa. Sampai disini,dapat dikatakan,bahwa perjuangan pribumisasi Islam yang diusung Gus Dur,adalah perjuangannya untuk mendialogkan Islam dengan masalah -masalah kemanusian misalnya kebudayaan .Kebudayaan adalah hasil kreatifitas manusia.Lalu bagaimana agama menyikapinya.Dengan rumusan pemikiran Gus dur,tentu saja agama harus menyikapinya secara manusiawi,dan tidak serta merta mmberangus kreatifts manusia itu.Beliau menghargai hak -hak manusia,kebebasan berpikir,sambli membuang hal-hal yg tidak perlu atau bertentangan dengan agama secara perlahan.
Rabu, 22 Juni 2016
Perjuangan Jaman Penjajahan (Oleh : KH Sya'roni Ahmadi)
Tidak banyak yang tahu, Mustasyar PBNU KH Sya'roni Ahmadi ternyata memiliki pengalaman cobaan yang tidak mengenakkan. Pada masa mudanya, ia pernah dipenjara oleh penjajah Belanda.
Dalam pengajian Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, Selasa (21/6), KH Sya'roni menyinggung kisah perjuangannya. Dituturkan, pada tahun 1948 saat turut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, ia ditangkap penjajah Belanda dan dimasukkan ke dalam penjara.
Selama beberapa bulan, ulama kharismatik yang biasa disapa Mbah Sya'roni ini mendekam di dalam terali besi. Di dalam penjara, tuturnya, kondisinya sangat sulit termasuk melaksanakan kewajiban shalat.
"Waktu itu mau wudhu atau tayammum tidak bisa sehingga saya juga tidak bisa shalat. Jadi shalatnya lihurmatil waqti (untuk menghormati waktu)," ujarnya berbahasa Jawa.
Melihat kondisi demikian, Mbah Sya'roni mengucapkan sebuah nadzar, manakala lepas dari kurungan penjajah Belanda, ia akan mandi di sungai Kaligelis Kudus dan mengkhatamkan Al-Qur'an.
Mbah Sya'roni juga merasa bersyukur dirinya tidak termasuk tahanan yang dibunuh Belanda. "Saat dibebaskan, saya pun langsung nyemplung (masuk) di sungai Kaligelis dan mengkhatamkan Al-Qur'an," tuturnya yang disambut gerrr jamaah.
Di depan ribuan jamaah itu, Mbah Sya'roni menyimpulkan bahwa setiap orang akan mengalami ujian atau cobaan yang diberikan Allah seperti kisah pengalamannya. Untuk bisa mengetahui cobaan, hanyalah pribadi masing-masing yang merasakan dan mengalaminya. (Qomarul Adib/Mahbib)
Dalam pengajian Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Baqarah di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, Selasa (21/6), KH Sya'roni menyinggung kisah perjuangannya. Dituturkan, pada tahun 1948 saat turut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, ia ditangkap penjajah Belanda dan dimasukkan ke dalam penjara.
Selama beberapa bulan, ulama kharismatik yang biasa disapa Mbah Sya'roni ini mendekam di dalam terali besi. Di dalam penjara, tuturnya, kondisinya sangat sulit termasuk melaksanakan kewajiban shalat.
"Waktu itu mau wudhu atau tayammum tidak bisa sehingga saya juga tidak bisa shalat. Jadi shalatnya lihurmatil waqti (untuk menghormati waktu)," ujarnya berbahasa Jawa.
Melihat kondisi demikian, Mbah Sya'roni mengucapkan sebuah nadzar, manakala lepas dari kurungan penjajah Belanda, ia akan mandi di sungai Kaligelis Kudus dan mengkhatamkan Al-Qur'an.
Mbah Sya'roni juga merasa bersyukur dirinya tidak termasuk tahanan yang dibunuh Belanda. "Saat dibebaskan, saya pun langsung nyemplung (masuk) di sungai Kaligelis dan mengkhatamkan Al-Qur'an," tuturnya yang disambut gerrr jamaah.
Di depan ribuan jamaah itu, Mbah Sya'roni menyimpulkan bahwa setiap orang akan mengalami ujian atau cobaan yang diberikan Allah seperti kisah pengalamannya. Untuk bisa mengetahui cobaan, hanyalah pribadi masing-masing yang merasakan dan mengalaminya. (Qomarul Adib/Mahbib)
Senin, 13 Juni 2016
Keistimewaan Puasa Ramadhan ( Oleh: KH.Ahmad Mustofa Bisri )
Oleh: KH. Ahmad Mustofa Bisri
Semestinya, kalau melihat sambutan dan pernyataan-pernyataan kaum muslimin menjelang Ramadan, tentu bulan suci itu adalah bulan yang istimewa. Tapi di manakah letak istimewanya? Apakah hanya pada perubahan jadwal makan, ramainya tarawih keliling, dan lomba ceramah agama, termasuk dagelan-dagelan di televisi? Bukankah selain itu semuanya seperti berjalan sebagaimana biasa?
Simaklah media massa, media cetak, atau elektronik; bacalah berita-berita. Bukankah isinya tidak banyak berbeda dengan hari-hari sebelum Ramadan?
Anda masih dapat menikmati gosip selebritas, sinetron percintaan, dan film kekerasan. Anda masih bisa membaca berita, mulai copet yang dikeroyok di pasar hingga korupsi dengan manuver-manuver politikus. Anda masih bisa menyaksikan demo-demo dan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Anda masih melihat tokoh-tokoh memamerkan keahliannya mengulas dan memutarbalikkan fakta.
Apakah hanya pedagang-pedagang warung yang harus “menghormati” Ramadan dan mereka yang merusak tatanan justru bisa terus melenggang “melecehkan” kesucian Ramadan? Atau apakah sebenarnya maksud kita dengan penghormatan terhadap Ramadan itu?
Para wali, kekasih Allah, memulai pendekatannya kepada Allah dengan cara itu. Dengan menunjukkan kehambaan mereka yang tulus dan tuntas kepada Tuan mereka. Allah Yang Maha Agung. Melaksanakan segala perintah Tuan adalah prioritas utama hamba sejati. Jadi mereka memulai dari niat dan membersihkan hati.
Puasa adalah salah satu perintah Allah yang istimewa. Kebanyakan perintah-perintah Allah sangat rentan terhadap godaan pamer. Salat, misalnya, yang seharusnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain dan dilaksanakan semata-mata untuk Allah, sering kali pelaksanaannya tak dapat mengelak dari godaan pamer. Puasa, karena sifatnya, lebih jauh dari godaan itu. Kecuali, mereka yang memang maniak pamer, hampir sulit dibayangkan orang yang berpuasa pamer kepada orang lain: menunjukkan puasanya.
Orang yang berpuasa seharusnya adalah orang yang berkeyakinan kuat bahwa puasanya dapat membuat Tuhannya ridha, atau minimal yakin ada pahala untuk puasanya. Kalau tidak, alangkah ruginya berpuasa hanya untuk menahan lapar dan haus.
Semua amal ibadah diganjar minimal 10 kali lipat dan bisa sampai 700 kali lipat dan seterusnya, kecuali puasa. Puasa merupakan ibadah yang hanya Allah sendiri yang tahu seberapa besar Ia akan mengganjarnya. “Kullu ‘amali Ibni Adam lahu illash shiyaam,” kata Allah dalam hadis Qudsi, “fainnahu lii wa anaa ajzii bihi.” (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah r.a). “Semua amal manusia miliknya, kecuali puasa. Puasa adalah milik-Ku; Aku sendiri yang akan membalasnya.”
*) Ahmad Mustofa Bisri, Kiai dan Seniman.
Dimuat lima tahun silam di Koran Tempo Media, 26 Agustus 2011.
Selasa, 07 Juni 2016
KESETIAAN KAMI PAGAR NUSA TERHADAP PANCASILA & NKRI (Oleh : Amirudin Faisal)
KESETIAAN KAMI PAGAR NUSA TERHADAP PANCASILA & NKRI
(Oleh : Amirudin Faisal)
Sebagai bangsa dan negara yang beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan, wajib bagi semua masyarakat Indonesia menghargai dan menghormati perbedaan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mewadahi semua elemen bangsa, wajib juga kita harus menjaganya dengan sebaik-baiknya. NKRI Dan Pancasila sebagai ideological negara Kita, menjadi harga mati bagi semua rakyat Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini sebagai bentuk kecintaan kita kepada NKRI yang notabene tempat kita berlindung. Menjaga keutuhan NKRI dapat kita tiru seperti apa yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU).
Para Alim Ulama NU memandang Islam sebagai agama yang mewajibkan umatnya untuk membentuk sebuah pemerintahan dan menegakan hukum agar tidak terjadi chaos. Dan Islam tidak menunjuk satu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu. "Bagi Islam, negara dan pemerintahan dianggap sah bukan karena bentuknya, tetapi substansinya. Dengan kata lain, Islam mengukur keabsahan bentuk sebuah negara sejauhmana negara secara konstitusional dan pemerintah sebagai penyelenggara negara melindungi dan menjamin warganya mengamalkan ajaran agamanya,".
Dengan kata lain, Islam mengukur keabsahan bentuk sebuah negara sejauhmana negara secara konstitusional dan pemerintah sebagai penyelenggara negara melindungi dan menjamin warganya mengamalkan ajaran agamanya,". berdasarkan khazanah sumber hukum dan sejarah Islam, agama Islam memberi wewenang penuh kepada umatnya untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai kondisi zaman, tempat dan kesiapan pranatanya.
"Dengan demikian, memperjuangkan tegaknya nilai-nilai substansif ajaran Islam seperti keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran dalam sebuah bentuk apapun negara jauh lebih penting daripada memperjuangkan tegaknya simbol-simbol negara Islam yang bersifat partikular,"
Oleh karena itu, kami meminta kepada pemerintah dan umat Islam dan seluruh lapisan masyarakat untuk menangkal setiap jalan dan upaya munculnya gerakan yang mengancam NKRI Dan merongrong ideoloi Pancasila.
saat ini pemerintah tidak tegas terhadap keberadaan ormas yang secara terang-terangan mengajarkan khilafah dan tidak mengakui asas Pancasila di Indonesia. "Ormas tak berasas Pancasila menginginkan NKRI diganti Khilafah. Padahal wacana tersebut bertentangan dengan Undang-Undang,"
saat ini pemerintah tidak tegas terhadap keberadaan ormas yang secara terang-terangan mengajarkan khilafah dan tidak mengakui asas Pancasila di Indonesia. "Ormas tak berasas Pancasila menginginkan NKRI diganti Khilafah. Padahal wacana tersebut bertentangan dengan Undang-Undang,"
Untuk itu Kita tidak.mudah terpengaruh terhadap ajakan-ajakan menyesatkan yang menyimpang dari Pancasila. Maka dari itu, umat muslim pada khususnya untuk tidak terpengaruh oleh provokasi-provokasi yang membawa nama-nama agama untuk menciptakan kerusuhan. Politisasi agama hanya akan merugikan diri kita dan publik, karena untuk kepentingan suatu kelompok dan golongan. Agama untuk mengoreksi diri kita sendiri bukan untuk mengoreksi diri orang lain. Mari jaga keutuhan NKRI demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Salam dari kami
PAGARNUSA KAB CIREBON
PAGARNUSA KAB CIREBON
#sedulur pagar nusa rapatkan barisan
.
.
Hakikat Berpuasa (Oleh :Amiruddin Faisal)
Hakikat Berpuasa
(Oleh :Amiruddin Faisal)
Puasa tidak hanya menyangkut tidak makan dan tidak minum saja. Puasa berkaitan dengan seluruh mekanisme kehidupan, menyangkut seluruh kenikmatan dan penderitaan di dalamnya. Anda kan sudah hafal bahwa ayat yang dikutip para ustadz ketika sudah masuk bulan Ramadhan adalah ayat ke-83 dari Surah Al-Baqarah yang berbunyi: Yaa ayyuhalladzina amanu kutibu ‘alaikumushshiyaamu kama kutiba ‘alalladziina min qablikum la’allakum tattaquun.
Kutiba memiliki arti ‘dituliskan’ yang kemudian oleh para ulama fiqh dikontekstualisasikan menjadi ‘diwajibkan’. As-siyaam memiliki padanan kata yakni shaum, seperti yang terjadi pada kata qaum yang padanan katanya adalah qiyam. Qiyam artinya berdiri, sementara qaum adalah orang yang berkumpul bersama-sama untuk bersepakat mendirikan sesuatu.
Masyarakat adalah orang yang berkumpul karena menyepakati untuk mengerjakan suatu kesepakatan di mana suatu pekerjaan akan diserikatkan. Masyarakat memiliki makna yang lebih padat atau jasadi daripada ummat. Kalau rakyat berasal dari ra’yah, yaitu orang-orang yang berkumpul karena sama-sama memiliki kedaulatan atas suatu wilayah dan urusan.
Masyarakat adalah orang yang berkumpul karena menyepakati untuk mengerjakan suatu kesepakatan di mana suatu pekerjaan akan diserikatkan. Masyarakat memiliki makna yang lebih padat atau jasadi daripada ummat. Kalau rakyat berasal dari ra’yah, yaitu orang-orang yang berkumpul karena sama-sama memiliki kedaulatan atas suatu wilayah dan urusan.
Maka dipersyaratkan ada MoU yang kemudian diresmikan dalam konstitusi berupa negara. Rakyat adalah orang yang berkumpul dalam suatu perjanjian yang disebut negara di mana yang pegang kedaulatan adalah mereka. Rakyat tidak sama dengan masyarakat. Masyarakat bisa segmentatif, tapi kalau rakyat bersifat utuh.
Qaum adalah orang yang berkumpul karena suatu ciri. Cirinya boleh budaya, boleh gen, boleh apapun saja. Tapi kalau qiyam adalah orang yang berkumpul untuk menegakkan kekauman mereka. Lalu bagaimana dengan shaum dan shiyam?
“Terserah Anda apakah Ramadhan ini Anda pakai untuk shaum atau shiyam. Kalau untuk shaum, yang penting Anda mendapatkan nilai-nilai puasa secara universal, tapi kalau Ramadhan Anda pakai untuk pergerakan shiyam, maka Anda menyepakati ada satu prinsip-prinsip nilai yang akan Anda tegakkan bersama-sama. Kalau bahasa Jawa memilih menggunakan shiyam dalam penyebutan puasa.”
Poin kedua, kama kutiba ‘alalladziina min qablikum. Puasa merupakan tradisi budaya yang sudah ada sebelum Islamnya Muhammad datang. Islam-Islam yang ada sebelumnya merupakan Islam yang belum lengkap. Allah menyebarkan ratusan ribu Nabi dan dua puluh lima rasul kemudian dijadikan dalam satu tabung besar bernama Muhammad. Di dalam Muhammad ada Ayub, ada Adam, ada Idris, Nuh, Hud, Ibrahim, Khidir, Isa, Yesus, Buddha dan siapa saja. Yang kita sebut Muhammad bin Abdullah ini adalah salah satu episode Muhammad yang berlangsung selama 63 tahun. Sedangkan alam semesta ini berlangsung selama beratus-ratus juta tahun dan Muhammad sudah ada sejak sebelum jagad raya diciptakan.
“Maka benar kalau Maulid Nabi itu tanggal 12 Rabbiul Awwal, tapi kalau maulidu Muhammad itu sudah tidak bisa kita hitung. Nur ciptaan Allah yang pertama itu dibikin sebelum Dia menciptakan apapun. Karena Dia bahagia terhadap ciptaan-Nya yang berupa nur ini, diberikannyalah gelar Muhammad”.
“Nah, Muhammad ini besok-besok dicicil dalam Adam, Idris, Ayub, sampai Musa, Ibrahim, dan seterusnya kemudian diaplikasikan secara biologis menjadi Muhammad putra Abdullah cucu Abdul Mutholib. Jadi pemahaman mengenai Muhammad jangan berhenti pada Islam melalui fiqh yang dikenal dan diperkenalkan oleh para ulama. Kalau selama ini ada maulidun Nabi, kita Maiyah akan bikin maulidunnur”.
“Poin ketiga adalah la’alakum tattaqun. La’alakum selama ini menurut sebagian orang diterjemahkan sebagai ‘dengan berpuasa mudah-mudahan engkau menjadi bertaqwa. Sementara Allah memerintahkan hamba-Nya berpuasa dengan asumsi bahwa mereka sudah bertakwa. Kan kemarin sudah shalat, sudah zakat? Masa untuk bertakwa mesti menunggu Ramadhan?”
La’lakum selama ini tidak membikin Indonesia mengalami kemajuan apapun selama berpuluh-puluh Ramadhan karena salah dalam penerjemahannya. Efeknya adalah anggapan bahwa setelah Ramadhan kita boleh tidak bertakwa lagi karena akan ada Ramadhan-Ramadhan di depan untuk membuat kita bertakwa.
“La‘alakum bukan berarti ‘supaya’. Kemudian, Sampeyan ini masuk Ramadhan rumangsane durung puasa? Anda kan sudah selalu puasa? Yang terus-menerus berbuka adalah parpol, dirjen, menteri-menteri, ketua partai. Anda kan tidak. Saya pada Ramadhan lalu bertanya pada jamaah, semua orang mengaku telah bergembira masuk Ramadhan. Ngaku kamu yang jujur apakah seneng atau nggak disuruh berpuasa? Asline mangkel to, cuma nggak berani ngelawan? Aslinya kan nggak suka to? Kalau ada pengumuman dari Allah yang membebaskan kita dari keharusan berpuasa, pasti seneng to?”
“Lho, tapi bagaimana dengan orang yang berpuasa tapi hatinya tidak ikhlas? Lebih bagus dong! Kalau kamu bahagia masuk Ramadhan kemudian kamu gembira, apa hebatnya? Yang hebat adalah orang yang tidak senang tapi tetap menjalankannya. Kalau kamu suka rujak lalu memakan hidangan rujak, apa istimewanya? Tapi kalau kamu memakan rujak yang tak kamu sukai itu semata-mata karena Allah yang menyuruh, akan menjadi lebih tinggi nilainya.”
“Waktu Umar bin Khatab mencium Hajar Aswad kan Beliau juga ngomong gitu, ‘Kalau tidak karena Rasulullah menciummu, tidak akan aku menciummu. Tapi karena Rasulullah yang aku cintai dan aku imani menciummu, maka aku menciummu. Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku menciummu karenamu’.”
“Terus ada kiai-kiai yang mengatakan bahwa puasa adalah untuk menghayati kemiskinan. Terus orang miskin menghayati apa? Kemiskinan kok dihayati? Kalau berani ya jadi miskin seperti Rasulullah. Menghayati itu kan seperti akting saja”.
“Terus ada kiai-kiai yang mengatakan bahwa puasa adalah untuk menghayati kemiskinan. Terus orang miskin menghayati apa? Kemiskinan kok dihayati? Kalau berani ya jadi miskin seperti Rasulullah. Menghayati itu kan seperti akting saja”.
Dalam rukun Islam, Anda orang dengan tipologi yang mana? Apakah syahadat, shalat, puasa, zakat, atau haji? Kecenderungan irama hidupmu, improvisasimu, ketahanan mental dan staminamu, itu berbeda-beda. Kalau kamu manusia puasa berlaku dengan budaya shalat, tidak kuat. Kamu harus menemukan dirimu. Kalau saya ini memang katuranggannya dari sana adalah manusia puasa. Saya tak perlu Ramadhan untuk belajar berpuasa. Anda harus menemukan puasamu sendiri.”
Manusia syahadat membutuhkan manusia shalat, zakat, puasa, haji. Mereka semua berfungsi. Di setiap kantor ada yang bagian syahadat thok, ada bagian sholat yang memelihara secara rutin dan istiqomah, ada bagian puasa yang mengontrol dengan menciptakan perundingan-perundingan, ada bagian zakat yang berinisiatif atas social contribution, ada bagian haji yang memastikan bahwa kelompok tersebut harus memiliki puncak-puncak prestasi. Lima jenis manusia ada di dalam setiap komunitas.
Langganan:
Postingan (Atom)