Perjuangan Rakyat Indonesia Mempertahankan NKRI
Mengenang Perang Rakyat Semesta Bela Tanah Air
Kota Hiroshima dibom pada 6 Agustus 1945, menyusul Kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Jepang pun menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Konsekuensinya, Jepang menarik semua pasukan di wilayah kekuasaannya di Asia, termasuk Indonesia.
Tak menunggu lama, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pascamenyerah, senjata tentara Jepang dilucuti yang di Indonesia dilakukan oleh Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI), yaitu pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia setelah selesainya Perang Dunia II.
Rupanya, kehadiran AFNEI diboncengi the Netherlands Indies Civil Administration (NICA), sebuah organisasi semimiliter yang bertugas memulihkan sistem administrasi sipil dan hukum pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pascakejatuhan Jepang. Kehadiran kembali Belanda memicu reaksi perlawanan masyarakat Indonesia di beberapa tempat, termasuk di Surabaya.
Surabaya termasuk yang didatangi AFNEI dan NICA pada 15 September 1945 melalui Pelabuhan Tanjung Perak. Pasukan Sekutu AFNEI dipimpin oleh Sir Philip Christison, sedangkan NICA dipimpin WR Petterson disertai Van Der Plass dan Van Mook. Kedatangan AFNEI dan NICA di Surabaya yang saat itu telah menjadi kota internasional dengan pelabuhannya yang terkenal seakan menjadi simbol penyerahan Indonesia.
Presiden Sukarno pun mengirimkan utusan ke Jombang menemui KH Hasyim Asyari untuk minta pendapat hukum tentang polemik pascakemerdekaan. Pada 17 September 1945, KH Hasyim Asyari menjawab permintaan Presiden Sukarno bahwa perjuangan membela Tanah Air itu jihad fi sabilillah, yaitu kategori peperangan yang sesuai tuntutan Allah SWT (doc PBNU, 1945).
Hari demi hari sejak kedatangan AFNEI dan NICA membuat suasana semakin tegang dan tidak menentu. Euforia kemerdekaan dihantui kolonialisme baru. Fatwa hukum KH Hasyim Asyari menyebar di internal para kiai dan pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
Pada 19 September 1945, pasukan Hizbullah bentrok dengan pasukan Sekutu di Hotel Yamato Surabaya. Bentrok bermula dari aksi WV Ch Ploegman dan Spit yang mengibarkan bendera Belanda di atas Hotel Yamato (Bung Tomo, 2008). Hotel Yamato saat itu, selain menjadi markas Sekutu (Allied Command) juga dijadikan markas RAPWI (Rehabilitate of Allied Prisoners of War and Internees), yaitu pusat bantuan rehabilitasi untuk tawanan perang dan interniran.
Tindakan tersebut memancing kerumunan massa hingga terjadi aksi heroik Cak Sidik yang menewaskan Ploegman dan Cak Asy'ari, kader Pemuda Ansor yang menaiki tiang bendera di atas Hotel Yamato dan merobek bendera warna biru sehingga tersisa warna merah putih (Anam, 2013).
Kurun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar. Dan yang paling populer adalah Laskar Hizbullah (untuk para santri) yang dipimpin KH Zainul Arifin (Ketua PCNU Jatinegara, pahlawan nasional) dan Laskar Sabilillah (untuk para kiai) yang dipimpin KH Masykur.
Pada kurun waktu tersebut, kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Puncak darurat kemerdekaan Tanah Air terjadi memasuki bulan Oktober 1945. Para kiai makin intensif berkomunikasi dan mengonsolidasikan laskar-laskar. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggelar Rapat Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya atas undangan KH Hasyim Asyari pada 21—22 Oktober 1945.
Rapat Besar Nahdlatul Ulama berakhir pada 22 Oktober yang menghasilkan keputusan Resolusi Jihad. Di antara isi Resolusi Jihad adalah tentang kewajiban setiap umat Islam untuk mempertahankan dan menegakkan Republik Indonesia; kehadiran NICA sebagai agen kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman; aktivitas NICA melanggar kedaulatan dan agama; pemerintah perlu memberikan tuntunan nyata kepada masyarakat; pemerintah agar memerintahkan dan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam (doc PBNU, 1945). Sejarah telah mencatat terjadinya eskalasi pertempuran yang meningkat pasca-Resolusi Jihad sehingga saat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November.
Peperangan dahsyat di Surabaya dan sekitarnya yang disulut oleh Resolusi Jihad yang diputuskan di kantor NU di Jalan Bubutan Surabaya menggugah masyarakat di daerah-daerah lain. Para pejuang dari daerah Jawa Tengah menghadap KH Hasyim Asyari agar fatwa hukum Resolusi Jihad berlaku pula untuk daerah-daerah jauh di luar Surabaya, termasuk Jawa Tengah. KH Hasyim Asyari pun menggerakkan para kiai dan santri melalui Muktamar Nahdlatul Ulama di Purwokerto pada 26—29 Maret 1946.
Keputusan Muktamar NU di Purwokerto tahun 1946 meliputi tiga poin. "Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fadlu 'ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak) bagi orang jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km. dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh); Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (jang tjoekoep kalau dikerjakan sebagian sadja); Apabila kekoeatan dalam no. 1 beloem dapat mengalahkan moesoeh maka orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran 94 Km. wajib berperang djoega membantoe no. 1 sehingga moesoeh kalah; Kaki tangan moesoeh adalah pemetjah keboelatan tekad dan kehendak ra'jat dan haroes dibinasakan, menoeroet hoekoem Islam sabda chadits, riwajat Moeslim." (doc PBNU, 1946).
Keputusan Muktamar NU di Purwokerto tersebut adalah keputusan hukum Islam untuk mengobarkan perang rakyat semesta. Keputusan hukum Islam yang mengikat setiap Muslim yang berada di tanah Indonesia, baik laki-laki, perempuan, anak-anak kecuali penjajah dan antek-anteknya (doc PBNU, 1946). Inilah konsep perang intifadah yang diputuskan para kiai untuk membela Tanah Air (Said Aqil Siroj, 2015). Eskalasi pertempuran pun makin meluas yang di antaranya dipicu oleh militansi umat Islam yang menemukan pijakan hukumnya.
Atas inisiatif Inggris, Indonesia dan Belanda dipertemukan dalam Perjanjian Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946. Di antara poin perjanjian itu adalah pengakuan Belanda secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
Namun, Perjanjian Linggarjati tidak berumur panjang. Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi penguasaan lahan-lahan produktif dan sumber daya alam di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Operasi ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.
Di Jawa Timur, Perang Rakyat Semesta pun berkobar kembali meski para pejuang Indonesia makin terdesak. Di Jawa Timur, misalnya, pergerakan para laskar Hizbullah menciut dan terbatas di area pesisir selatan, dari Jember, Lumajang, hingga Malang dan sebagian Mojokerto. KH Hasyim Asyari terus memantau perkembangan perjuangan dari Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.
Hingga satu malam tanggal 25 Juli 1947, bertepatan tanggal 7 Ramadhan, datang Kiai Ghufron, pemimpin Sabilillah Surabaya yang diutus Panglima Besar Jenderal Soedirman. Kiai Ghufron mengabarkan bahwa Singosari telah jatuh ke tangan Belanda.
Mendengar kabar itu, KH Hasyim Asyari terguncang hebat. Lalu beliau mengalami sakit pendarahan otak (Saifuddin Zuhri, 2012). Pada pukul 03.00 WIB dini hari KH Hasyim Asyari wafat.
Namun, perjuangan para kiai dan santri tidak sia-sia. Kini Indonesia telah merdeka dan menjadi kewajiban generasi penerus untuk mengisinya dengan aktivitas yang positif. Resolusi Jihad dan Keputusan Muktamar NU tahun 1946 sampai kini belum dicabut. Artinya, para kiai dan santri hingga kini masih siaga menjaga Tanah Airnya dari segala bentuk ancaman. n
Muhammad Sulton Fatoni
Dosen Sosiologi Universitas NU Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar