Jumat, 20 Mei 2016

Gusti Allah Ora Ndeso (Oleh : Amirudin Faisal)

Gusti Allah ora ndeso”, begitu petuah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun

Gusti Allah ora ndeso atau Allah tidak kampungan.
“Gusti Allah ora ndeso” bercerita tentang Cak Nun yang ditanyai pilihannya ketika pada saat yang bersamaan harus mengantar pacarnya berenang, shalat Jumat berjamaah di masjid, dan mengantar ke rumah sakit tukang becak miskin yang mengalami kecelakaan tabrak lari. “Mana yang Sampeyan pilih?” todong si penanya. Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
Tapi, sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya. “Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu.” jawab Cak Nun.
Jawaban yang dijelaskan Cak Nun sangat gamlang. Cak Nun pun membeberkan dengan jelas alasan kenapa lebih mengutamakan mengantar tukang becak yang membutuhkan pertolongan ketimbang menunaikan kewajiban shalat Jumat.
Sekalipun Cak Nun menguraikannya dengan tidak sedikit pun mencukil ayat-ayat Al Quran atau Hadist Nabi, tetapi jawabannya sungguh “cespleng”, melegakan serta menyejukkan. Tuhan, kata Cak Nun, tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu. Sebenarnya bukan hanya pada diri manusia, Tuhan ada di semua ciptaannya, termasuk seoker anjing.

Ingat saja hadist yang mengatakan seorang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Nabi tidak menyebut agama yang dianut si pelacur. Namun apapun agamanya pelacur adalah pendosa, toh si pendosa itu bisa masuk surga hanya dengan memberi minum ciptaan Allah yang kehausan.
“Gusti Allah ora ndeso” hanya satu dari sekian banyak petuah Cak Nun yang mampu mencerahkan. Tapi, menariknya, Cak Nun kerap dituding kafir oleh sebagian orang. Sebagai “kafir” nama Cak Nun kerap disebut bersamaan dengan nama tokoh-tokoh lainnya seperti Said Aqil Siradj, Mustofa Bisri, Quraish Shihab, Gus Nuril dan tentu saja dedengkotnya: Gus Dur.
Anehnya, saya merasa lebih adem lebih meresap mengaji pada tokoh-tokoh yang sering dikatai sebagai kafir ini ketimbang kepada ulama-ulama yang mengafirkan mereka.
Ngaji pada orang “kafir” memang bener bener bikin saya adem, tapi mungkin bagi sebagian orang sebaliknya.

Suatu hari ada kiyai-kiyai NU kumpul di sebuah pondok pesantren. Saat itu Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri ingin menerangkan tentang awal mula kesalahan beragama.
Beliau melemparkan pertanyaan, “PPP, PDI, dan Golkar itu wasilah (jalan/sarana) atau ghoyyah (tujuan akhir)?”
Para kiyai pun serempak menjawab dengan mantap, “Wasilah!”. Ada yang saking mantapnya, jadi malah setengah berteriak.
Kiyai sepuh ini ( Mustofa Bisri) memberikan Pujian, “Nilai 100 untuk bapak-bapak kiyai.” “NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah?” Mbah Mustofa Bisri bertanya lagi.
Para kiyai kemudian menjawab pelan agak ragu-ragu, “Wasilah...” Gus Mus hanya tersenyum mendengar nada jawaban para kiyai yang mulai terasa berubah.
Pertanyaan terakhir, Mbah Mustofa Bisri pun bertanya Kembali , “Islam, Katholik, Hindu, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah Seketika itu pula ruangan menjadi hening.
Tidak ada kiyai yang menjawab. Mbah Mustofa sampai mengulangi pertanyaannya tiga kali, para kiyai tersebut tetap hanya diam.
Kemudian ada kiyai yang balik bertanya, “Kalau pendapat Gus Mus sendiri bagaimana?” Dengan mantap beliau menjawab, “Agama Islam adalah wasilah.” Para kiyai kemudian ribut sendiri, “Lho, bagaimana bisa agama Islam adalah wasilah?!”
Sekali lagi, dengan mantap, Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri menjawab penuh kharisma, “Karena ghoyyah-nya (tujuannya) adalah Allah.” Seketika itu pula, semua kiyai di ruangan tersebut kembali diam semua.

Karenanya, di berbagai kesempatan, Mbah Mustofa Bisri menasehati nahdliyyin untuk selalu menghormati umat beragama lain. Bagaimanapun juga, umat beragama lain pada dasarnya sama seperti umat muslim, yaitu sedang berusaha menuju-Nya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita ingin dihargai memilih wasilah agama Islam.
Saking, mungkin, saking jengahnya dengan tudingan kafir dan lainnya, Gus Mus yang juga penyair ini pun meluapkannya dalam sebuah puisi.yang menurut saya kocak menggelitik, judulnya "Aku Harus Bagaimana ?" Begini isi puisinya.

Aku pergi tahlil, kau bilang itu amalan jahil
Aku baca shalawat burdah, kau bilang itu bid’ah Lalu aku harus bagaimana…?
Aku bertawasul dengan baik, kau bilang aku musrik
Aku ikut majlis zikir, kau bilang aku kafir Lalu aku harus bagaimana…? Aku shalat pakai lafadz niat, kau bilang aku sesat Aku mengadakan maulid, kau bilang tak ada dalil yang valid Lalu aku harus bagaimana…?
Aku gemar berziarah, kau bilang aku alap-alap berkah Aku mengadakan selametan, kau bilang aku pemuja setan Lalu aku harus bagaimana…?
Aku pergi yasinan, kau bilang itu tak membawa kebaikan Aku ikuti tasawuf sufi, malah kau suruh aku menjauhi Ya sudahlah… aku ikut kalian… Kan ku pakai celana cingkrang, agar kau senang Kan kupanjangkan jenggot, agar dikira berbobot Kan ku hitamkan jidat, agar dikira ahli ijtihad Aku kan sering menghujat, biar dikira hebat Aku kan sering mencela, biar dikira mulia Ya sudahlah… aku pasrah pada Tuhan yang ku sembah… !!

Lalu Tuhan mana Yang kau sembah??
Assudahlah....
Zzzruputt kopi kentelnya.

Ditulis kembali oleh : Amiruddin Faisal 
(Admin Grup Sahabat Gus Dur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar