Senin, 30 Mei 2016

Gerakan Berpikir Kritis dan Ilmiah Oleh Kang Said ( Oleh : Amirudin Faisal )

Gerakan Berpikir Kritis dan Ilmiah Oleh Kang Said
Oleh : Amirudin Faisal

Di awal kemunculannya, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, M.A atau yang sering disebut Kang Said langsung muncul kepermukaan PBNU dengan menjadi Katib Amm PBNU di era Ketum Gus Dur. Terlepas dari berbagai kontroversinya, beliau melalui Islam Nusantara-nya (tidak hanya Islam Nusantara aslinya) sukses menjadikan orang-orang NU menjadi lebih banyak belajar lebih lagi.
Islam Nusantara dan atau Kang Said sendiri dengan pro-kontranya, banyak dari kalangan santri dan kyai pesantren menjadi lebih menggalih dengan sendirinya tentang sejarah Islam di Nusantara. Mungkin sebelumnya tidak. Mereka menjadi lebih menggalih lagi dengan ushul fiqh-nya, menggalai lebih jauh urf dalam ushul fiqh. Mungkin di era 10-20 tahun yang lalu, pesantren hanya lebih focus ngaji nahwu-shorof dan fiqh saja.
Akmal Bahsori menuliskan bahwa Kang Said pernah menggulirkan pandangan kontroversial. Kali ini ia menarik teori ukhuwah insaniyah ke tataran aplikatif. Said Aqil Siradj mendatangi undangan Gereja Katolik Aloysius Gonzaga Surabaya untuk memberikan khotbah sebelum acara misa. Keberanian ini tentu saja menuai reaksi beragam. Said Aqil Siradj pun sempat dituduh sebagai tokoh NU yang mencampur-adukkan ajaran agama-agama. Terlepas dari kontroversi yang ada, Said Aqil telah memberikan konstribusi yang cukup besar bagi dunia keilmuan di Indonesia, khususnya di kalangan Islam pesantren.

Gebrakan awal Said Aqil adalah menggulirkan wacana perlunya umat Islam Indonesia melakukan rekonstruksi pemahamanahlussunnah wal-jamaah. Bagi Said Aqil, hal itu dipandang perlu mengingat selama ini umat Islam Indonesia masih belum mampu mencairkan sekat-sekat pemahamannya akan Islam. Lebih unik lagi, kritik ahlussunnah yang dilakukan Said Aqil dengan pendekatan sejarah Islam ternyata membawa trend tersendiri di kalangan santri. Booming Said Aqil di pertengahan tahun 1990-an berhasil memaksa komunitas pesantren untuk belajar sejarah Islam. Padahal selama berabad-abad, pesantren di Indonesia didominasi oleh kajian fiqh dan grammer Arab.

Sekarang banyak pesantren, kyai maupun santrinya, yang juga sering ngaji sejarah, ushul fiqh juga sering dipelajari lebih dalam lagi dari pada sebelumnya. Munculnya Kang Said menjadikan banyak orang menjadi lebih kritis dan ilmiah.

Minggu, 29 Mei 2016

Mengenang Perang Rakyat Semesta Bela Tanah Air ( Oleh : Muhammad Sulton Fatoni Dosen Sosiologi Universitas NU Indonesia )

Pendidikan Wawasan Kebangsaan
Perjuangan Rakyat Indonesia Mempertahankan NKRI

Mengenang Perang Rakyat Semesta Bela Tanah Air

Kota Hiroshima dibom pada 6 Agustus 1945, menyusul Kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Jepang pun menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Konsekuensinya, Jepang menarik semua pasukan di wilayah kekuasaannya di Asia, termasuk Indonesia.

Tak menunggu lama, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pascamenyerah, senjata tentara Jepang dilucuti yang di Indonesia dilakukan oleh Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI), yaitu pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia setelah selesainya Perang Dunia II.

Rupanya, kehadiran AFNEI diboncengi the Netherlands Indies Civil Administration (NICA), sebuah organisasi semimiliter yang bertugas memulihkan sistem administrasi sipil dan hukum pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia pascakejatuhan Jepang. Kehadiran kembali Belanda memicu reaksi perlawanan masyarakat Indonesia di beberapa tempat, termasuk di Surabaya.

Surabaya termasuk yang didatangi AFNEI dan NICA pada 15 September 1945 melalui Pelabuhan Tanjung Perak. Pasukan Sekutu AFNEI dipimpin oleh Sir Philip Christison, sedangkan NICA dipimpin WR Petterson disertai Van Der Plass dan Van Mook. Kedatangan AFNEI dan NICA di Surabaya yang saat itu telah menjadi kota internasional dengan pelabuhannya yang terkenal seakan menjadi simbol penyerahan Indonesia.

Presiden Sukarno pun mengirimkan utusan ke Jombang menemui KH Hasyim Asyari untuk minta pendapat hukum tentang polemik pascakemerdekaan. Pada 17 September 1945, KH Hasyim Asyari menjawab permintaan Presiden Sukarno bahwa perjuangan membela Tanah Air itu jihad fi sabilillah, yaitu kategori peperangan yang sesuai tuntutan Allah SWT (doc PBNU, 1945).

Hari demi hari sejak kedatangan AFNEI dan NICA membuat suasana semakin tegang dan tidak menentu. Euforia kemerdekaan dihantui kolonialisme baru. Fatwa hukum KH Hasyim Asyari menyebar di internal para kiai dan pasukan Hizbullah dan Sabilillah.

Pada 19 September 1945, pasukan Hizbullah bentrok dengan pasukan Sekutu di Hotel Yamato Surabaya. Bentrok bermula dari aksi WV Ch Ploegman dan Spit yang mengibarkan bendera Belanda di atas Hotel Yamato (Bung Tomo, 2008). Hotel Yamato saat itu, selain menjadi markas Sekutu (Allied Command) juga dijadikan markas RAPWI (Rehabilitate of Allied Prisoners of War and Internees), yaitu pusat bantuan rehabilitasi untuk tawanan perang dan interniran.

Tindakan tersebut memancing kerumunan massa hingga terjadi aksi heroik Cak Sidik yang menewaskan Ploegman dan Cak Asy'ari, kader Pemuda Ansor yang menaiki tiang bendera di atas Hotel Yamato dan merobek bendera warna biru sehingga tersisa warna merah putih (Anam, 2013).

Bentuk laskar
Kurun 1943-1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar. Dan yang paling populer adalah Laskar Hizbullah (untuk para santri) yang dipimpin KH Zainul Arifin (Ketua PCNU Jatinegara, pahlawan nasional) dan Laskar Sabilillah (untuk para kiai) yang dipimpin KH Masykur.

Pada kurun waktu tersebut, kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Puncak darurat kemerdekaan Tanah Air terjadi memasuki bulan Oktober 1945. Para kiai makin intensif berkomunikasi dan mengonsolidasikan laskar-laskar. Akhirnya mereka memutuskan untuk menggelar Rapat Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya atas undangan KH Hasyim Asyari pada 21—22 Oktober 1945.

Rapat Besar Nahdlatul Ulama berakhir pada 22 Oktober yang menghasilkan keputusan Resolusi Jihad. Di antara isi Resolusi Jihad adalah tentang kewajiban setiap umat Islam untuk mempertahankan dan menegakkan Republik Indonesia; kehadiran NICA sebagai agen kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman; aktivitas NICA melanggar kedaulatan dan agama; pemerintah perlu memberikan tuntunan nyata kepada masyarakat; pemerintah agar memerintahkan dan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam (doc PBNU, 1945). Sejarah telah mencatat terjadinya eskalasi pertempuran yang meningkat pasca-Resolusi Jihad sehingga saat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November.

Peperangan dahsyat di Surabaya dan sekitarnya yang disulut oleh Resolusi Jihad yang diputuskan di kantor NU di Jalan Bubutan Surabaya menggugah masyarakat di daerah-daerah lain. Para pejuang dari daerah Jawa Tengah menghadap KH Hasyim Asyari agar fatwa hukum Resolusi Jihad berlaku pula untuk daerah-daerah jauh di luar Surabaya, termasuk Jawa Tengah. KH Hasyim Asyari pun menggerakkan para kiai dan santri melalui Muktamar Nahdlatul Ulama di Purwokerto pada 26—29 Maret 1946.

Keputusan Muktamar NU di Purwokerto tahun 1946 meliputi tiga poin. "Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fadlu 'ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata atau tidak) bagi orang jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km. dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh); Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (jang tjoekoep kalau dikerjakan sebagian sadja); Apabila kekoeatan dalam no. 1 beloem dapat mengalahkan moesoeh maka orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran 94 Km. wajib berperang djoega membantoe no. 1 sehingga moesoeh kalah; Kaki tangan moesoeh adalah pemetjah keboelatan tekad dan kehendak ra'jat dan haroes dibinasakan, menoeroet hoekoem Islam sabda chadits, riwajat Moeslim." (doc PBNU, 1946).

Keputusan Muktamar NU di Purwokerto tersebut adalah keputusan hukum Islam untuk mengobarkan perang rakyat semesta. Keputusan hukum Islam yang mengikat setiap Muslim yang berada di tanah Indonesia, baik laki-laki, perempuan, anak-anak kecuali penjajah dan antek-anteknya (doc PBNU, 1946). Inilah konsep perang intifadah yang diputuskan para kiai untuk membela Tanah Air (Said Aqil Siroj, 2015). Eskalasi pertempuran pun makin meluas yang di antaranya dipicu oleh militansi umat Islam yang menemukan pijakan hukumnya.

Atas inisiatif Inggris, Indonesia dan Belanda dipertemukan dalam Perjanjian Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946. Di antara poin perjanjian itu adalah pengakuan Belanda secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.

Namun, Perjanjian Linggarjati tidak berumur panjang. Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi penguasaan lahan-lahan produktif dan sumber daya alam di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Operasi ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.

Di Jawa Timur, Perang Rakyat Semesta pun berkobar kembali meski para pejuang Indonesia makin terdesak. Di Jawa Timur, misalnya, pergerakan para laskar Hizbullah menciut dan terbatas di area pesisir selatan, dari Jember, Lumajang, hingga Malang dan sebagian Mojokerto. KH Hasyim Asyari terus memantau perkembangan perjuangan dari Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Hingga satu malam tanggal 25 Juli 1947, bertepatan tanggal 7 Ramadhan, datang Kiai Ghufron, pemimpin Sabilillah Surabaya yang diutus Panglima Besar Jenderal Soedirman. Kiai Ghufron mengabarkan bahwa Singosari telah jatuh ke tangan Belanda.

Mendengar kabar itu, KH Hasyim Asyari terguncang hebat. Lalu beliau mengalami sakit pendarahan otak (Saifuddin Zuhri, 2012). Pada pukul 03.00 WIB dini hari KH Hasyim Asyari wafat.

Namun, perjuangan para kiai dan santri tidak sia-sia. Kini Indonesia telah merdeka dan menjadi kewajiban generasi penerus untuk mengisinya dengan aktivitas yang positif. Resolusi Jihad dan Keputusan Muktamar NU tahun 1946 sampai kini belum dicabut. Artinya, para kiai dan santri hingga kini masih siaga menjaga Tanah Airnya dari segala bentuk ancaman. n

Muhammad Sulton Fatoni
Dosen Sosiologi Universitas NU Indonesia

Sabtu, 28 Mei 2016

MODERASI NAHDLIYYAH MODERASI ISLAM RAHMAT (Oleh : Amiruddin Faisal, Admin Sahabat Gus Dur)

MODERASI NAHDLIYYAH MODERASI ISLAM RAHMAT
Oleh : Amiruddin Faisal (Admin Sahabat Gus Dur)

Sebagai salah satu organisasi Islam moderat di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah penarik gerbong utama sebagai pelopor Islam yang sangat menjunjung perdamaian dan toleransi.
Berkaitan dengan moderasi, ia adalah sebuah sikap yang tidak mempunyai kecenderungan “kekiri” atau “kekanan”.
Moderasi meniscayakan sebuah keseimbangan (tawazun) dalam bersikap yang tidak memihak siapapun.
Dalam pandangan Zuhairi Misrawi—seorang intelektual muda NU) moderasi memiliki pijakan yang sangat mendasar.
Pertama, sikap moderat adalah sikap yang paling adil dalam menerjemahkan teks suci dalam kehidupan sehari-hari disatu sisi dan memahami realitas kekinian disisi lain.
Kedua, moderasi meniscayakan perdamaian, menolak kekerasan, menjunjung demokrasi, HAM, dan hak-hak perempuan.
Persepsi Islam moderat di wacanakan dalam salah satu ayat QS. al-Baqarah [2]: 143 yang mengatakan: “Dan demikianlah (pula) Kami telah menjadikan kamu suatu umat pertengahan (umat yang unggul), agar kamu menjadi saksi bagi manusia. Utusan menjadi saksi bagi kamu”.
Cak Nur (Nurcholish Madjid) memberikan definisi terkait dengan terma “ummatan wasathan” yaitu kelompok masyarakat yang punya karakteristik moderat, dengan sikap-sikap moderasi, sebagai ciri utamanya dalam menghadapi berbagai konflik, dan konfrontasi yang disebabkan karena perbedaan.
Dari urgensi Islam moderat tersebut, dibawah ini adalah beberapa upaya untuk dapat memperkokoh visi moderasi yang harus dikembangkan oleh generasi muda muslim Nahdlatul Ulama (NU) maupun generasi-generasi muda Indonesia lainnya;
1. Membangun pemikiran Islam yang berbasis kultur Indonesia yang dipadukan dengan modernisasi, yakni dengan mengembangkan sejumlah pemahaman dan sikap yang ramah, santun, dan berbasis tradisi-tradisi Indonesia disatu sisi dan memahami modernitas zaman kekinian disisi lain. Sebagaimana tertuang dalam salah satu kaidah “al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik). Upaya-upaya yang dimaksud adalah mengembangkan sejumlah khazanah-khazanah keislaman yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan serta kontekstualisasi dengan zaman kekinian.
2. Mengupayakan gerakan keislaman berbasis ekonomi, yakni dengan membangun sebuah tatanan aktivitas perekonomian yang memberikan sejumlah keterampilan serta memberdayakan masyarakat dalam berekonomi. Upaya ini dirasakan begitu penting, dimana sejumlah tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal adalah karena motif himpitan ekonomi.
3. Menciptakan ruang dialog inklusif (terbuka) baik dengan kelompok-kelompok atau aliran-aliran internal dalam Islam maupun dengan berbagai kalangan pemuka agama non-Islam. Tindak kekerasan tidak jarang timbul karena adanya sikap saling mencurigai (su’udzon). Yakni menaruh kecurigaan dan kebencian terhadap orang lain yang berbeda keyakinan. Oleh sebab itu, membuka dialog inklusif adalah solusi efektif dalam meredam kecurigaan, kebencian, dan tindak kekerasan. Meminjam intilah Cak Nur bahwa dengan melalui dialog maka akan membuahkan sebuah penyuburan silang budaya (cultural cross fertilization). Sebuah ruang terbuka yang konstruktif antar satu dengan yang lain.
Wal hasil, tantangan generasi muda muslim sekarang dan kedepan akan semakin berat karena kontribusinya diperlukan tidak hanya dalam ranah keagamaan secara lokal maupun nasional, melainkan juga dalam setiap ranah kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya, politik dan seterusnya yang mengglobal. Hanya melalui paham dan gerakan Islam moderatlah semua upaya dan cita-cita ini dapat dikembangkan, dan mustahil melalui Islam radikal. Menebar Islam rahmatan lil’alamin menuju Islam Indonesia damai dan toleran melalui diskursus dan gerakan pemberdayaan masyarakat semakin menemukan relevansi dan signifikansinya. Demikian.
Wallahu ‘alam
Allahu yahdiih

Minggu, 22 Mei 2016

Khilafah, Fundamentalisme,Radikalisme (Sebuah Telaah Sejarah dan Kupas Dari Sudut Pandang Islam) Oleh :Amiruddin Faisal

Khilafah, Fundamentalisme,Radikalisme 
(Sebuah Telaah Sejarah Dari Sudut Pandang Islam)
Oleh : Amiruddin Faisal

Wacana jargon syariat Dan khilafah tentang negara Islam akhir akhir ini ternyata bukan suatu hal yang baru lagi. Bahkan, wacana tersebut sudah ada sejak Indonesia baru merdeka dulu. Tepatnya 7 agustus tahun 1949 di mana Sukarmadji Maridjan Kartosoewirdjo memproklamerkan diri jj imam atau sebagai pemimpin NII (Negara Islam Indonesia).
Sukarmadji Maridjan Kartosoewirdjo atau yang lebih dikenal dengan S.M Kartosoewirdjo, sejak muda memang sudah aktif dalam organisasi. Berangkat dari menjadi sekretaris pribadi Raden Haji Omar Said Tjokrominoto yang merupakan salah satu tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), akhirnya dia diangkat menjadi sekretaris PSII. Dan dari sinilah dia bepikir bagaimana caranya syari’ah Islam bisa diterap di segala aspek dalam bernegara. Bukan hanya di bidang ekonomi saja. Ia pun bercita-cita mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) yang juga dikenal dengan DII (Darul Islam Indonesa). Anggapannya, dengan memiliki institusi yang mengikat dan bersifat memaksa seperti negara, mimpinya untuk mengaplikasikan syari’ah Islam dalam bernegara bisa terwujudkan.
Sebagai konsekuensi dari upaya merealisasikan cita-citanya untuk mendirikan Negara Islam Indonesia, pemerintah mengecapnya sebagai seorang pemberontak dan mengeksekusinya sekaligus menetapkan NII sebagai organisasi terlarang.

Hal serupa sebenarnya juga terjadi di Mesir. Ketika Hasan Al-Banna menyusun kekuatan untuk menegakkan sistim Khilafah Al-Islamiah yang sudah runtuh, diawali dengan mendirikan mendirikan Ikhwanul Muslimin. Sebuah organisasi yang awal mulanya bertujuan dakwah semata. Namun lambat-laun, akhirnya berubah orientasi menjadi sebuah organisasi separatis.
Dan hebatnya, jaringan Ikhwanul Muslimin ini, begitu aktif membentangkan sayapnya. Sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun saja, organisasi ini pun mulai meluas hingga menembus daratan Palestina dan Yaman.
Akan tetapi, jauh sebelum cita-cita menegakkan kembali sistim khilafah, Hasan Al-Banna terlebih dahulu tewas tertebak oleh penembak misterius. Adapun para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah Mesir. Sekaligus, pada saat itu pula pemerintah Mesir menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi illegal di Mesir. Karena keberadaan organisasi tersebut dianggap bisa mengancam kedaulatan Negara Mesir.

Dalam konteks ke-Indoneisa-an perlu diketahui, para pejuang kemerdekaan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berlandasan kebangsaan bukan berdasarkan sebuah agama tertentu, bukanlah tanpa alasan yang logis. Alasan mereka menjadikan kebangsaan sebagai landasan Negara, itu karena, mereka memahami betul kondisi sosial Indonesia yang beraneka ragam. Bhineka Tunggal Ika. Walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua. Indonesia bukanlah Negara milik sebuah suku tertentu, juga tidak dimiliki oleh sebuah agama tertentu pula. Indonesia milik semua suku, semua agama dan semua rakyat Indonesia. Itulah prinsip yang dipegang oleh Pancasila.Walaupun Ikhwanul Muslim sudah dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang sejak tahun1949, hal itu ternyata tidak serta-merta membinasakan doktrin-doktrin dari organisasi Islam aliran keras ini, sampai ke bibit-bibitnya. dan tentunya, hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan tumbuhnya organisasi Islam berpaham ekstream di kemudian hari. Dan itu terbukti dengan infiltrasi gerakan paham-paham ekstream transional yang menganut paham-paham keras seprerti paham Ikhwanul Muslimin ke beberapa negara dan Indonesia termasuk di dalamnya.

Islami Dan Tidak Islami
----------------------------------------
Penafsiran sempit aliran ekstreamis kanan terhadap kata (السلم) di dalam ayat ke-208 surat Al-Baqarah:
, يا أيها الذين أمنوا ادخلوا في السلم كآفّة ولا تتبعوا خطوات الشيطان إنّه لكم عدو مبين
menjadi salah satu faktor kenapa mereka ngotot ingin mendirikan Negara Islam atau menegakkan kembali khilafah Islamiah.
Menurut mereka, kata (السلم) berarti Islam. Seperti apa yang dinyatakan Mujahid bahwa kalimat (ادخلوا في السلم كآفّة) berarti “masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan keseluruhan.” Namun Mujahid menjelaskan maksud dari kalimat “masuklah kedalam Islam secara menyeluruh” disini adalah (أعمال) perbuatan, attitude, sikap atau tatakrama dan budi pekerti yang harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Walaupun kaum ekstreamis kanan setuju dengan Mujahid bahwasannya arti (ادخلوا في السلم كآفّة) adalah, “masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan keseluruhan”, ternyata mereka masih belum sepenuhnya sependapat dengan Mujahdi. Mereka –kaum ekstreamis kanan— lebih radikal lagi dalam mentakwilkan ayat ini. Bagi mereka, setiap muslim harus masuk Islam secara keseluruhan. Jadi pakaian yang mereka kenakan harus Islami. Pakai celana panjang harus di atas mata kaki, kalau bisa pakai kopiah atau sorban setiap saat. Musik yang mereka degarkan juga harus religious. Seperti murattal, sholawat, nasyid dan lagu-lagu yang tidak melalaikan atau memabukkan. itu pun kalau musik tersebut tidak diharamkan oleh mereka.
Sebagai dampak dari penafsiran mereka yang sempit itu, mereka tidak ragu untuk menajiskan, mem-bid’ah-kan dan mengharamkan segala sesuatu yang mereka nilai tidak Islami. Menurut pemahaman mereka, di dalam segala hal, yang ada hanyalah dikotomi. Artinya, jika tidak suci berati najis. Jika tidah halal berarti haram. Jika tidak putih itu artinya hitam. Dan jika tidak Islami berarti itu kafir. Sedangkan kafir adalah sifat dari setan. Dan setan adalah musuh sejati anak adam.
Dari logika semacam ini, mereka dengan mudah mengkafirkan dan mennyesatkan orang lain yang berbeda pandangan dan tidak sependapat dengan mereka. Paham yam mereka anut sama seperti khowarij yang selalu memonopoli kebenaran.
Logika sempit itu pun mereka analogikan kedalam konteks Negara. Hemat mereka, pemerintan atau Negara yang tidak berlandasan syari’ah Islam adalah negara kafir. Negara yang memakai sistim pemerintahan demokrasi menurut mereka adalah musyrik. Karena –menurut mereka—demokrasi adalah hukum yang diciptakan oleh rakyat untuk rakyat bukan hukum yang berasal dari Tuhan. Sehingga –sekali lagi, menurut mereka— para penganut demokrasi itu sama saja dengan menyekutukan Tuhan dengan rakyat. Hanya saja, penganut demokrasi tidak menyembah rakyat secara langsung. Kelompok fundamental konservatif ini, menolak bahwa demokrasi itu bagian dari Islam. Bagi mereka demokrasi itu berasal dari barat yang mana barat bernotabene bukan Islam.
Sedangkan ulama yang condong lebih berpaham moderat, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan (السلم) di dalam ayat di atas bermaknakan perdamaian.
Pendapat yang mengartikan (ادخلوا في السلم كآفّة) “masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan” bagi kelompok Islam moderat kurang pas. Mereka berpendapat bahwa arti yang lebih pas dari (ادخلوا في السلم كآفّة) adalah, “masuklah kalian wahai orang yang beriman kedalam perdamain dan bernegosiasilah kalian dan juga jauhilah segala hal yang dapat menyebabkan terjadinya peperangan-peperangan.” Pendapat ini mereka ambil dari pendapat ulama’ Hijaz.
Berbeda dengan ulama’ Hijaz, ulama’ Kufah lebih mengarah kepada pendapat Mujahid. Bahwa arti dari (السلم) adalah Islam. Akan tetapi mereka tidak berhenti di situ saja. Ulama’ Kufah setuju bahwa yang dimaksud (السلم) adalah Islam, namun mereka mentakwilkan lagi arti dari Islam itu sendiri. Menurut ulama Kufah kata Islam juga mengandung arti perdamaian. Karena menurut orang arab, Islam berarti berkesinambungannya suatu perdamaian.
Dengan pemahaman seperti ini, kaum moderat tidak terlalu risih dengan bentuk sebuah Negara. Bagi mereka yang penting adalah penerapan ajaran agama Islam dan tidak perlu susah-susah menggoalkan terbentuknya sebuah Negara teokrasi Islam. Karena Islam adalah ummah bukan daulah.

Dalam hal ini, kh. Abdur Rahhman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sapaan Gusdur di dalam bukunya “ISLAMKU, ISLAM ANDA ISLAM KITA” membagi paradigma pemikiran politik di kalangan muslimin sekarang, menjadi dua kelompok yaitu,
1. substantif-inklusif dan
2. legal-ekslusif.
Di dalam bukunya tersebut gusdur menjelaskan ciri-ciri dari masing-masing dua kelompok di atas. Menurut Gusdur, ciri-ciri yang menonjol dari kelompok subtantif-inklusif ada empat yaitu; 
Pertama, keyakinan mereka bahwa tidak ada satu ayat pun yang mengisyaratkan orang Islam untuk mendirikan sebuah negara Islam.
Kedua, menurut mereka nabi Muhammad SAW saw diutus bukan untuk mendirikan daulah Islamiah melainkan beliau diutus sama seperti nabi-nabi sebelumnya yakni menuntun manusia ke jalan Tuhan.
Ketiga, mereka berkeyakinan bahwa syari’ah Islam tidak ada hubungnya dengan konsep Negara. Bagi mereka syari’ah Islamiah cukup diterapkan dan diamalkan saja tidak perlu dijadikan sebagai institusi yang mengikat.
Keempat, kelompok ini lebih cenderung lebih suka kulturisasi Islam dari pada politisasi Islam dengan tujuan agar upaya Islamisasi masyarakat terkesan lebih akrab bukan memaksa. Dan kelompok ini tidak setuju dengan formalitasisasi agama.
Sedangkan ciri-ciri dari kelompok kedua, legal-eklusif, Gusdur juga menyebutkan cirri-ciri dari kelompok ini juga ada empat; pertama, mereka meyakini penuh bahwa ruang cakupan Islam meliputi segala hal. Yaitu agama, negara, dan masalah keduniaan.
Kedua, mereka mewajibkan semua orang Islam untuk mendirikan Negara Islam. Dengan niatan mengikuti nabi Muhammad SAW SAW dan para khulafa’ arrasyidin dalam mengurusi semua masalah kemasyarakatan termasuk di dalamnya agama, negara dan masalah keduniaan.
Ketiga, syariat Islam menurut mereka haruslah menjadi fundamen dan jiwa dari tiga aspek tersebut yaitu agama, dunia dan Negara.
Ciri keempat, kelompok legal-eklusif cenderung berupaya meralisasikan sistim politi Islam. Sehingga dengan ini, mereka lebih mengarah kepada simbolisme keagamaan.
Menurut Dr. Nadia Musthafa dan Dr. Saif Abdil fattah di dalam kitab “MAUSUAH AL-HADLORAH AL-ISLAMIAH”, pemahaman para penganut fundamentalism konservatif –yang menurut Gusdur kelompok legal-eklusif— dalam memahami bahwa konsep Negara Islam telah keliru.
Menurut mereka –Dr. Nadia Musthafa dan Dr. Saif Abdil Fattah— di dalam Islam tidak ditemukan sebuah konsep dari bentuk Negara. Apakah itu berbentuk sebuah kerajaan, republik atau kekholifahan. Bahkan menurut Gusdur, Islam sendiri tidak memiliki batasan sebuah Negara. Tidak ada penjelasan apakah Negara tersebut berupa city-state (Negara kota) atau national-state (Negara bangsa).
Islam hanya menekankan penerapan kandungan dari ajaran-ajarannya, seperti musyawarah, keadilan, kebebasan dan persamaan tanpa harus mendirikan sebuah Negara Islam. Dan Islam sepenuhnya memasrahkan bentuk pemerintahan kepada manusia sendiri, yang ditentukan dengan cara musyawarah sehingga tercapailah kesepakatan demi mencapai kemaslahatan bersama. Seperti negara Madinah yang dicetuskan oleh nabi Muhammad SAW.
Negara Madinah jaman nabi Muhammad SAW, terbentuk karena adanya kesepakatan diantara masyarakat madinah yang majemuk. Kesepakatan yang terlahir dari musyawarah di antara mereka untuk mencapai kemaslahatan bersama bagi mereka sendiri. Dan tidak ada sangkut-pautnya dengan agama sama sekali.

MH. Ainun Najib atau Cak Nun, dalam acara kenduri cinta 15 mei 2009 yang di adakan di Taman Ismail Marzuki Jakarta, menyampaikan bahwa demokrasi yang paling demokrasi dan diakui oleh dunia adalah demokrasi negara Madinah jaman nabi Muhammad SAW. Karena demokrasi tersebut benar-benar murni dari kesepakatan rakyat madinah langsung tanpa diwakili oleh wakil rakyat yang duduk dalam suatu parlemen. Dan kesepakatan itu juga, tidak membawa kepentingan suatu agama tertentu. Dan ini menjadi tamparan bagi mereka yang bilang bahwa demokrasi itu bukan dari Islam dan najis.
Sebagai pengusung pluralisme Gusdur menolak dengan tegas adanya sebuah negara Islam atau daulah Islamiah. Karena, Menurut Gusdur sistim Daulah Islamiah tidak memiliki peraturan yang pasti mengenai hal pemindahan kekuasaan dari satu kepemimpin kepada pemimpin selanjutnya. Sejarah mencatat, bahwa nabi Muhammad SAW wafat tanpa memberikan kejelasan siapa pengganti beliau selanjutnya.
Para sahabat pun bermusyawarah dan menetapkan Abu Bakar Asshiddiq sebagai pengganti nabi dengan ijtihad mereka yang mengkiaskan penunjukkan nabi Muhammad SAW kepada Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam sholat merupakan isyarat kepadanya untuk menjadi pengantinya.
Sejak pemerintahan Abu Bakar-lah istilah Khilafah Al-Islamiah mulai terkenal. Berbeda dengan nabi Muhammad SAW, sebelum Abu Bakar wafat, beliau menunjuk Umar Bin Khotthab untuk menjadi pengganti beliau secara langsung.
Kemudian, ketika masa pengabdian Umar Bin Khotthab berakhir, Utsman Bin Affan ditunjuk untuk menggantikan beliau oleh sebuah dewan beranggotakan tujuh orang yang dibentuk oleh Umar sebelum beliau wafat.
Peristiwa demontrasi terhadap kebijakan Utsman yang di anggap nopotisme karena mengangkat pejabat negara dari kalangan keluarga beliau, berakhir tragis dengan terbunuhnya Utsman Bin Affan. Syahidnya utsman, memaksa kaum muslimin untuk memilih pemimpin berikutnya. Akhirnya Ali Bin Abi Tholib pun ditetapkan sebagai pengganti beliau.
Belum genap lima tahun memimpin kaum muslimin, Muawiyah Bin Abi Sufyan mengadakan pemberontakan terhadap kepemerintahan Ali dan berujung kepada Tahkim yang memutuskan bahwa Muawiyah yang berhak menjadi kholifah.
Dari sejak pemerintahan Muawiyah inilah, sistim khilafah berubah menjadi dinasti dan kerajaan keluarga yang diwariskan secara turun-temurun.
Setelah Bani Abbasiah mengambil alih kekuasaan dari tangan Bani Ummayah, Daulah Islamiah berubah menjadi daulah madzhabiah. Di mana madzhab negara kala itu, Mu’tazilah, mengunakan tangan kekuasaan untuk memaksakan pahamnya kepada rakyat. Hal tersebut berthan sampai Kamal Atturk membubarkan sistim khilafah Islamiah di masa dinasti Utsmaniah yang berdasar pada satu madzhab saja. madzhab hanafi.

Di dalam buku AL-ISLAM WA USUL AL-HUKMI, Ali Abdur Raziq, mengatakan akhir dari perjalanan Khilafah Islamiah tak ubahnya menjadi sebuah kerajaan keluarga dan negara madzhab. Makna kata Khilafah yang berarti, menggantikan posisi Nabi SAW untuk mengurusi urusan kaum muslimin kehilangan makna aslinya. Yang tersisia hanyalah sebuah sebutan belaka.
Pelanggaran Atas Nama Agama
Syari’atisasi negara atau meng-Islam-kan negara tak ubahnya dengan sebuah pemaksaan dalam beragama. Padahal Al-Qur’an sendiri dengan tegas melarang pemaksaan dalam beragama.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasannya ayat 256 dari surat Al-Baqarah (لا إكلراه في الدين) diturunkan ketika seorang sahabat anshor yang datang dan mengadu kepada Nabi SAW bahwa dia memiliki dua anak yang masih beragama Nasroni. Lalu dia meminta izin dari Nabi SAW untuk memaksa mereka agar mereka masuk Islam. Lalu turunlah ayat ini.
Jelaslah bahwa, memaksa seseorang bahkan walaupun dia adalah anak sendiri agar si anak mau masuk Islam tidaklah dibenarkan oleh Al-Qur’an. Apa lagi meng-Islam-kan sebuah negara yang melingkupi banyak orang. Tentunya, hal tersebut juga melanggar ayat yang melarang pemaksaan dalam beragama.
Logikanya, jika Islamisasi sebuah Negara terwujudkan, itu sama saja artinya dengan memaksa rakyat –yang tidak semuanya beragama Islam— dari negara itu untuk mengamalkan ajaran Islam yang tidak semua dari mereka sudi untuk melakukannya. Dan itulah yang dimaksud oleh Mahatma Gandi sebagai penindasan dengan mengatasnamakan Tuhan. Dan itu adalah pelanggaran yang keji dalam beragama.
Penganut ekstreamis kanan berkeyakinan bahwa apa yang mereka upayakan untuk mendirikan Daulah Islamiah atau meneggakan kembali Khilafah, telah sesuai dengan titah Tuhan. Mereka memandang bahwa pendapat merekalah yang paling sesuai dengan Al-Qur’an sehingga sedikit-sedikit saja, ayat al-qur’an “muncrat” dari mulut mereka. Dan mungkin seandainya diperlukan, mereka akan memaksakan ayat suci Al-Qur’an harus sesuai dengan pendapat mereka. Lalu mereka berkata kepada publik bahwa hanya pendapat mereka-lah yang paling benar dan pendapat yang lain salah. Karena pendapat mereka selalu sesuai dengan Al-Qur’an yang lain kurang sesuai atau bahkan tidak.
Tuhan berfirman di dalam surat ali imran ayat 76:
وإنّ منهم لفريقا يلوون ألسنتهم بالكتاب لتجسبوه من الكتاب وما هو من الكتاب ويقولون هو من عند الله وما هو من عند الله ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Artinya; Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: “Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui.
Ayat ini memang diturunkan kepada orang Yahudi yang selalu merubah-rubah ayat-ayat dari kitab-kitab Tuhan. Baik yang diturunkan kepada Muhammad SAW maupun kepada nabi-nabi sebelum beliau. Akan tetapi jika kita cermati, ayat ini juga menyindir mereka yang “sok benar” sendiri dan mengaku paling sesuai dengan hukum Tuhan.
Dan kalau ayat itu dikiaskan dengan konteks dunia Islam sekarang hasilnya akan seperti ini; dan diantara mereka (orang Islam) ada segolongan yang memutar-muatar lidahnya menggunakan dalil dari Al-Qur’an, supaya kamu (orang Islam) menyangka bahwa pendapat mereka sesuai dengan Al-Qur’an, padahal pendapat mereka belum pasti sesuai dengan al-qur’an. Mereka (ekstreamis kanan) mengatakan bahwa hukum yang mereka upayakan adalah hukum dari Allah, padahal hukum tersebut belum tentu sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah di dalam kitabnya. Mereka berdusta karena memaksakan pendapat mereka atas nama Allah padahal mereka sadar akan itu.
Mereka telah ber-acting menjadi Tuhan dengan mengambil hak privasi Tuhan. Yakni, hak menghukumi salah dan benar, beriman atau kafir. Hak yang seharusnya hanya milik Allah. WALLAHU A''Lam

Jumat, 20 Mei 2016

TERNYATA AHLI MAKSIAT JUGA BISA BERJUMPA DENGAN NABI (Oleh : Habib Muhammad Luthfi bin Yahya)

TERNYATA AHLI MAKSIAT JUGA BISA BERJUMPA DENGAN NABI

Ada seorang tamu yang bertanya kepada Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, “Habib, Saya minta diceritakan kisah Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam walaupun sedikit saja”. Maulana Habib Luthfi terdiam. Kemudian tamu bertanya kembali, Apakah perasaan rindu kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam nyata atau halusinasi?
Maulana Habib Luthfi menjawab, perasaan itu nyata, itu hubungan antara Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan umatnya. Bukan halusinasi. Kemudian sambil terisak menahan tangis, bertanya kepada Habib Luthfi bin Yahya, “Apakah Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam tahu dinamika dan detail kehidupan yang dijalani oleh umatnya?”
Maulana Habib Luthfi bin Yahya menjawab, “Kalau tidak tahu, dunia ini akan hancur. Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dengan ijin Allah menjaga kehidupan umat manusia, menjaga bumi ini.
Jangankan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, para walipun tahu. Oleh sebab itu, para wali senantiasa memohon kepada Allah untuk menghindarkan musibah dari manusia dan memberikan segala kebaikan bagi kehidupan manusia di bumi”.
Maulana Habib Luthfi bin Yahya melanjutkan, “Karena kasih sayang Nabi kepada umatnya, umat mudah sekali bertemu dengan Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam (melalui mimpi maupun secara langsung). Bahkan, lebih mudah bertemu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dari pada bertemu para wali, wakil-wakil Nabi di bumi ini”.
Kemudian Maulana Habib Luthfi bin Yahya membaca beberapa bagian dari kitab Sa’adat Darain, yang disusun oleh Syeikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani. “Diantara manfaat terbesar membaca Shalawat kepada Nabi Saw adalah dapat melihat Nabi saw dalam mimpi. Dan akan terus meningkat kualitas mimpinya seiring semakin banyaknya shalawat yang dibaca, sampai bisa melihat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam dalam keadaan terjaga.

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda,
ﻣﻦ ﺭﺍﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﻡ ﻓﻘﺪ ﺭﺃﻧﻲ ﺣﻘﺎ “
"Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia telah melihatku secara nyata (hak)”.
Jika ingin bertemu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam maka hidupkanlah waktumu dengan memperbanyak shalawat.
Ada beberapa hadits lain tentang mimpi bertemu Nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar:
ﻣﻦ ﺭﺃﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﻡ ﻓﻘﺪ ﺭﺃﻧﻰ ﻓﺄﻥ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻻ ﻳﺘﻤﺜﻞ ﺑﻲ
"Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia telah melihatku secara nyata, karena sesungguhnya syaithan tidak dapat menyerupaiku”.
Dalam hadits lain riwayat Abu Hurairah,
ﻣﻦ ﺭﺍﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﻡ ﻓﻘﺪ ﺭﺃﻧﻰ ﻓﺎﻥ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻻ ﻳﺘﺼﻮﺭ ﺃﻭ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻳﺘﺸﺒﻪ ﺑﻲ
“Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia telah melihatku secara nyata, karena sesungguhnya syaithan tidak dapat menyerupaiku”.
Hadits ketiga diriwayatkan oleh Thariq bin Asyim RA, Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda,
ﻣﻦ ﺭﺃﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﻡ ﻓﻘﺪ ﺭﺃﻧﻰ
Dalam hadits lain disebutkan,
ﻣﻦ ﺭﺃﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﻨﺎﻡ ﻓﺴﻴﺮﺍﻧﻰ ﻓﻰ ﺍﻟﻴﻘﻈﺔ ﻭﻻ ﻳﺘﻤﺜﻞ ﺑﻲ
“Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga, dan Syaithan tidak dapat menyerupaiku.
Menurut ulama, hadits ini berlaku secara umum, baik dahulu ketika Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam masih hidup, maupun saat ini, ketika Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihiwa Shohbihi wa Sallam sudah wafat.

Lalu apakah ini berlaku bagi mukmin ahli maksiat yang bermimpi melihat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam? Menurut ulama, berlaku secara umum baik yang bermimpi orang yang taat maupun mukmin yang tidak taat.
Mukmin yang tidak taat yang bermimpi bertemu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam menjadi pertanda ia akan mendapatkan petunjuk untuk melakukan ketaatan.
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam bersabda, “Kalian yang akan dimasukan ke dalam surga, akan diberi taufiq untuk beramal baik, meskipun hanya tinggal selangkah lagi ke neraka”.
Hadits-hadits ini menjadi kabar baik dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam untuk umatnya di akhir zaman.
Sebagaimana disampaikan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, di akhir zaman kelak ada umatnya yang secara suka cita mengeluarkan sedekah, dan beramal kebaikan dengan harapan bisa bertemu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Nah, hadits-hadits tadi menjadi pelipur lara bagi umat yang ingin melihat Nabi. Dan Nabi menyatakan, bahwa mereka yang melihat Nabi dalam mimpi, akan berjumpa dengan Nabi dalam keadaan terjaga.
Dikisahkan suatu ketika, Ibn Abbas bermimpi bertemu Nabi, Ibn Abbas ingat sabda Nabi tentang orang yang melihat Nabi dalam mimpi.
Kemudian Ibnu Abbas menceritakan mimpinya kepada Shafiyah istri Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Shafiyah memberikan jubah dan cermin yang pernah digunakan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam. Pada saat Ibn Abbas bercermin, yang nampak dalam cermin adalah wajah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, bukan wajahnya.
Habib Luthfi menambahkan, melihat Nabi secara langsung bisa dengan dua kondisi, bisa dengan yaqdztan, bisa dengan thariq kasyf. Melihat Nabi dengan thariq kasyf, terjadi seketika, seperti saat berhadapan dengan orang lain, saudara, guru, atau orang lainnya, tiba-tiba yang tampak dari wajah orang lain itu adalah wajah mulia Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Seperti kasus, Ibnu Abbas bercermin dengan cermin Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam, akan tetapi yang tampak dalam cermin bukan wajah Ibnu Abbas melainkan wajah mulia Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihiwa Sallam.
Terakhir Maulana Habib Luthfi mengatakan, untuk menjaga hubungan dengan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam adalah dengan memperbanyak shalawat kepada Nabi. Dan shalawat adalah tali silaturahim kita kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Alihi wa Shohbihi wa Sallam.
Dikutip dari fb HabibLuthfi.net

Gusti Allah Ora Ndeso (Oleh : Amirudin Faisal)

Gusti Allah ora ndeso”, begitu petuah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun

Gusti Allah ora ndeso atau Allah tidak kampungan.
“Gusti Allah ora ndeso” bercerita tentang Cak Nun yang ditanyai pilihannya ketika pada saat yang bersamaan harus mengantar pacarnya berenang, shalat Jumat berjamaah di masjid, dan mengantar ke rumah sakit tukang becak miskin yang mengalami kecelakaan tabrak lari. “Mana yang Sampeyan pilih?” todong si penanya. Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
Tapi, sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya. “Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu.” jawab Cak Nun.
Jawaban yang dijelaskan Cak Nun sangat gamlang. Cak Nun pun membeberkan dengan jelas alasan kenapa lebih mengutamakan mengantar tukang becak yang membutuhkan pertolongan ketimbang menunaikan kewajiban shalat Jumat.
Sekalipun Cak Nun menguraikannya dengan tidak sedikit pun mencukil ayat-ayat Al Quran atau Hadist Nabi, tetapi jawabannya sungguh “cespleng”, melegakan serta menyejukkan. Tuhan, kata Cak Nun, tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu. Sebenarnya bukan hanya pada diri manusia, Tuhan ada di semua ciptaannya, termasuk seoker anjing.

Ingat saja hadist yang mengatakan seorang pelacur masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Nabi tidak menyebut agama yang dianut si pelacur. Namun apapun agamanya pelacur adalah pendosa, toh si pendosa itu bisa masuk surga hanya dengan memberi minum ciptaan Allah yang kehausan.
“Gusti Allah ora ndeso” hanya satu dari sekian banyak petuah Cak Nun yang mampu mencerahkan. Tapi, menariknya, Cak Nun kerap dituding kafir oleh sebagian orang. Sebagai “kafir” nama Cak Nun kerap disebut bersamaan dengan nama tokoh-tokoh lainnya seperti Said Aqil Siradj, Mustofa Bisri, Quraish Shihab, Gus Nuril dan tentu saja dedengkotnya: Gus Dur.
Anehnya, saya merasa lebih adem lebih meresap mengaji pada tokoh-tokoh yang sering dikatai sebagai kafir ini ketimbang kepada ulama-ulama yang mengafirkan mereka.
Ngaji pada orang “kafir” memang bener bener bikin saya adem, tapi mungkin bagi sebagian orang sebaliknya.

Suatu hari ada kiyai-kiyai NU kumpul di sebuah pondok pesantren. Saat itu Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri ingin menerangkan tentang awal mula kesalahan beragama.
Beliau melemparkan pertanyaan, “PPP, PDI, dan Golkar itu wasilah (jalan/sarana) atau ghoyyah (tujuan akhir)?”
Para kiyai pun serempak menjawab dengan mantap, “Wasilah!”. Ada yang saking mantapnya, jadi malah setengah berteriak.
Kiyai sepuh ini ( Mustofa Bisri) memberikan Pujian, “Nilai 100 untuk bapak-bapak kiyai.” “NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah?” Mbah Mustofa Bisri bertanya lagi.
Para kiyai kemudian menjawab pelan agak ragu-ragu, “Wasilah...” Gus Mus hanya tersenyum mendengar nada jawaban para kiyai yang mulai terasa berubah.
Pertanyaan terakhir, Mbah Mustofa Bisri pun bertanya Kembali , “Islam, Katholik, Hindu, dan semacamnya itu wasilah atau ghoyyah Seketika itu pula ruangan menjadi hening.
Tidak ada kiyai yang menjawab. Mbah Mustofa sampai mengulangi pertanyaannya tiga kali, para kiyai tersebut tetap hanya diam.
Kemudian ada kiyai yang balik bertanya, “Kalau pendapat Gus Mus sendiri bagaimana?” Dengan mantap beliau menjawab, “Agama Islam adalah wasilah.” Para kiyai kemudian ribut sendiri, “Lho, bagaimana bisa agama Islam adalah wasilah?!”
Sekali lagi, dengan mantap, Mbah Yai Ahmad Mustofa Bisri menjawab penuh kharisma, “Karena ghoyyah-nya (tujuannya) adalah Allah.” Seketika itu pula, semua kiyai di ruangan tersebut kembali diam semua.

Karenanya, di berbagai kesempatan, Mbah Mustofa Bisri menasehati nahdliyyin untuk selalu menghormati umat beragama lain. Bagaimanapun juga, umat beragama lain pada dasarnya sama seperti umat muslim, yaitu sedang berusaha menuju-Nya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita ingin dihargai memilih wasilah agama Islam.
Saking, mungkin, saking jengahnya dengan tudingan kafir dan lainnya, Gus Mus yang juga penyair ini pun meluapkannya dalam sebuah puisi.yang menurut saya kocak menggelitik, judulnya "Aku Harus Bagaimana ?" Begini isi puisinya.

Aku pergi tahlil, kau bilang itu amalan jahil
Aku baca shalawat burdah, kau bilang itu bid’ah Lalu aku harus bagaimana…?
Aku bertawasul dengan baik, kau bilang aku musrik
Aku ikut majlis zikir, kau bilang aku kafir Lalu aku harus bagaimana…? Aku shalat pakai lafadz niat, kau bilang aku sesat Aku mengadakan maulid, kau bilang tak ada dalil yang valid Lalu aku harus bagaimana…?
Aku gemar berziarah, kau bilang aku alap-alap berkah Aku mengadakan selametan, kau bilang aku pemuja setan Lalu aku harus bagaimana…?
Aku pergi yasinan, kau bilang itu tak membawa kebaikan Aku ikuti tasawuf sufi, malah kau suruh aku menjauhi Ya sudahlah… aku ikut kalian… Kan ku pakai celana cingkrang, agar kau senang Kan kupanjangkan jenggot, agar dikira berbobot Kan ku hitamkan jidat, agar dikira ahli ijtihad Aku kan sering menghujat, biar dikira hebat Aku kan sering mencela, biar dikira mulia Ya sudahlah… aku pasrah pada Tuhan yang ku sembah… !!

Lalu Tuhan mana Yang kau sembah??
Assudahlah....
Zzzruputt kopi kentelnya.

Ditulis kembali oleh : Amiruddin Faisal 
(Admin Grup Sahabat Gus Dur)