Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi Kiai Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek telah beberapa hari tinggal di pondok Kiai Hamid.
Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan salat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh Kiai Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan salat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan salat melainkan membaca perjalanan hidup Kiai Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenal kelebihan dan kekurangannya.
Kiai Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, Kiai Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.
Setelah dewasa, pasca kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah Kiai Hamid yang dikenal sebagai waliyullah. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatihah kepada Kiai Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.
Tiba-tiba di pekarangn ndalem Kiai Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak salat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.
“Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?” Amar mengangguk.
“Gus, nanti tidur di sini, ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yang ternyata adalah Kiai Hamid.
Ternyata Kiai Hamid tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjunginya belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda dengan pakaian lusuh dan rambut gondrong. Pertemuan pertama Gus Miek dengan Kiai Hamid saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.
Dikisahkan juga suatu hari Gus Miek bertamu ke rumah Kiai Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk sowan ke Kiai Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.
“Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil. Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata, “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!” “Mungkin karena Kiai Hamid keponakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.
“Walaupun keponakannya, saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali,” jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi. Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata, “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar