Selasa, 24 Januari 2017

Misteri Habib Muhammad As-Saqqaf (Oleh : Gus Miek)

Pada kesempatan yang lain, Gus Miek bersama Ibnu Katsir Siroj dan Nototawar pergi ke Pasuruan untuk mencari Habib Muhammad As-Saqqaf. Hari itu hari Minggu, mereka berangkat dari Tulungagung pagi-pagi. Hampir seharian berputar-putar di Pasuruan, belum juga ketemu alamatnya.

Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga As-Saqqaf. Hingga diputuskan “Pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah dan yang jadzab!” Sayang, tetap tidak ketemu juga.

Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada Kiai Hamid Pasuruan. Begitu tiba di rumah Kiai Hamid, beliau sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa Kiai Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk. Di dalam rumah, Kiai Hamid menghadiahi kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek. Ini Gus, saya beri sarung, silakan salat dulu,” kata Kyai Hamid.

Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan salat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya salat kecuali Gus Miek, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis salat, keduanya menemui Kiai Hamid.

“Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jumat, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata Kiai Hamid. Gus Miek hanya tersenyum. Kiai Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. K.H. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.

Gus Miek, yang tadinya mengambil biji koro yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan Kiai Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yang lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian Kiai Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, Kiai Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah Kiai Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.

Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad As-Saqqaf sebagaimana petunjuk Kiai Hamid. Ternyata, rumahnya tidak jauh dari ndalem Kiai Hamid.

Setelah ketiganya tiba di rumah Habib Muhamad As-Saqqaf dengan suara yang keras dan lantang tiba-tiba Habib bertanya, “Dari mana?” “Dari Kediri,” jawab Gus Miek. “Mau Apa?,” tanya Habib.

“Mau minta doa salawat,” jawab Gus Miek. “Apa belum salat? di dalam salat kan banyak salawat dan banyak doa,” jawab Habib. Lalu Habib berdiri menjalankan salat. Akan tetapi, urut-urutan salat yang dijalankannya kacau balau dalam tinjauan fikih.

Usai salat, Habib mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan disuruh menghabiskannya.

Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib kembali menuangkan sampai penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meneguk minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski demikian seolah-olah Gus Miek tidak merasakan apa-apa.

Setelah puas saling membuktikan “kemampuannya”, Habib As-Saqqaf meminta Gus Miek berdoa dan beliau mengamininya.

Gus Miek dan Kiai Ahmad Shiddiq Jember

Suatu ketika, rombongan keluarga K.H. Ahmad Shiddiq yang tengah khusyuk ziarah di makam Sunan Ampel terganggu oleh kedatangan rombongan Gus Miek yang terdiri dari berbagai latar belakang sosial.

Rombongan yang cukup banyak itu sedikit gaduh sehingga mengusik rombongan yang lain, termasuk rombongan K.H. Ahmad Shiddiq. Melihat rombongan Gus Miek yang campur-aduk dan gaduh itu K.H. Ahmad Shiddiq menyingkir lalu melanjutkan perjalanan ke Pasuruan menemui Kiai Hamid Pasuruan yang masih merupakan kerabatnya.

K.H. Ahmad Shiddiq bercerita kepada Kiai Hamid bahwa dirinya telah bertemu dengan Gus Miek dan rombongannya saat ziarah di makam Sunan Ampel. “Ya… Pak Kiai, begini, Gus Miek itu di atas saya,” jawab Kiai Hamid setelah mendengar pengaduan K.H. Ahmad Shiddiq.

“Ah, masak?” tanya K.H. Ahamd Shiddiq tidak percaya karena Kiai Hamid sudah sangat masyhur kewaliannya di kalangan ulama Jawa. “Saya itu tugasnya ‘sowan’ kepada para kiai. Kalau Gus Miek itu tugasnya kepada bromocorah (bajingan),” jawab Kiai Hamid.

K.H. Ahmad Shiddiq hanya diam saja mendengarkan dan penuh keraguan. “Benar, Pak Kiai. Gus Miek itu tugasnya kepada para bromocorah, para pemabuk, penjudi, perempuan nakal, dan orang-orang awam. Untuk tugas seperti itu saya tidak sanggup,” tegas K.H. Hamid.

Setelah mendengar jawaban Kyai Hamid, K.H. Ahmad Siddiq dengan perasaan yang berkecamuk langsung berangkat ke Ploso menemui K.H. Djazuli (Ayahnya Gus Miek) untuk mengadukan jawaban K.H. Hamid tersebut.

“Begini, Kiai Ahmad, saya dengan Gus Miek itu harus bagaimana?! Dulu, Kiai Watucongol (Mbah Dalhar) juga menceritakan kehebatannya Gus Miek. Saya jadinya hanya bisa diam saja,” jawab K.H. Djazuli.

Diceritakan juga, K.H. Ahmad Shiddiq pernah mengadu kepada Kiai Hamid tentang sepak terjang Gus Miek dan para pengikutnya karena kebetulan K.H. Ahmad Shiddiq juga sering ke Tulungagung, di rumah mertuanya, sehingga ia sering menyaksikan hal yang ganjil.

“Begini Pak Kiai, sampeyan kalau baik dengan saya, berarti juga harus baik dengan ‘sana’ karena ia kakakku. Sampean buka saja kitab ini halaman sekian,” jawab Kiai Hamid. Akhirnya, K.H. Ahmad Siddiq pulang dan membuka kitab yang telah sering dibacanya. K.H. Ahmad Shiddiq pun menjadi mengerti maksud dari kitab itu dan kaitannya dengan laku Gus Miek.

Diceritakan juga Ketika Gus Miek masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (K.H. Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali.

Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk dimintai doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya Gus Miek bertemu K.H. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.

Saat itu, K.H. Ahmad Shiddiq masih berusia 23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi K.H. Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan K H. Ahmad Shiddiq ke ndalem Gus Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatihah untuk keselamatan dan kesuksesan hidupnya.

Tetapi, Gus Ud menolak karena merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatihan. Gus Ud kemudian menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek dengan terpaksa membacakan Al-Fatihah setelah diminta oleh Gus Ud.

K.H. Ahmad Shiddiq, sebelum dekat dengan Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan tentang siapakah Gus Miek itu. “Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti Kiai Hamid menghormatinya?” tanya K.H. Ahmad Siddiq.

“Di sekitar tahun 1950-an, kamu datang ke rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk mendoakan kamu kan. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qadar,” jawab Gus Ud.

Begitu Gus Ud selesai mengucapkan kata Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek kembali menghilang. Subhanallah.

Terawangan Gus Miek (Oleh : Gus Dur)

Mantan Presiden RI ke-4, K.H. Abdurrahman Wahid yang sangat akrab dan menaruh hormat kepada Gus Miek pernah mengisahkan kejadian menarik tentangnya.

Di beranda sebuah surau di Tambak, Mojo, Ploso, Kediri, Gus Dur berhasil menemui Gus Miek. Tadinya, sebelum sampai di surau itu, Gus Dur membuntuti mobil yang ditumpangi Gus Miek dari kejauhan.

Setelah membelok ke barat dan kemudian ke utara melalui pararel, akhirnya mobil itu berhenti di depan surau itu. Dan ketika Gus Dur sampai di surau itu, Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya, sudah berada di dalam surau.

Dari beranda surau, Gus Miek menunjuk sebidang tanah yang bersebelahan dengan pekarangan surau. “Di situ nanti Kiai Ahmad akan dimakamkan. Demikian juga saya. Dan nantinya sampeyan,” kata Gus Miek kepada Gus Dur.

Dikatakan Gus Miek bahwa tanah itu sengaja dibelinya untuk pemakaman para penghafal Alquran. Gus Dur mengatakan kepadanya bahwa dirinya bukan penghafal Alquran. Gus Miek menjawab,”Bagaimana pun sampeyan harus dikuburkan di situ.”

Belakangan diketahui bahwa Kiai Ahmad yang dimaksudkan oleh Gus Miek dalam obrolan dengan Gus Dur itu adalah K.H. Ahmad Shiddiq, mantan Rais Aam PBNU yang juga pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jember.

Kabar akan berpulangnya K.H. Ahmad Shiddiq bahkan dikemukakan oleh Gus Miek kepada Gus Dur sebulan sebelum kewafatannya. Waktu itu, Gus Miek memberi isyarat kepada Gus Dur agar NU mempersiapkan calon Rais Aam baru, padahal waktu itu K.H. Ahmad Shiddiq masih menjabat Rais Aam masih sehat.

Belakangan juga diketahui bahwa Gus Dur tidak dimakamkan di tempat yang Gus Miek tunjukkan karena sebelumnya sudah ada amanat dari K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahid Hasyim, kakek dan ayahnya Gus Dur, agar Gus Dur beristirahat di Tebuireng bersama mereka berdua tepat seminggu sebelum wafatnya Gus Dur. Ternyata pengakuan Gus Dur bukan sebagai penghafal Alquran mengungguli terawangan Gus Miek.

Gus Miek dan Kiai Hamid Pasuruan

Gus Miek dalam usia 9 tahun sudah pernah ke pasuruan untuk mengunjungi Kiai Hamid. Ini adalah sebuah pertemuan pertama yang sangat mengharukan. Saat itu Gus Miek telah beberapa hari tinggal di pondok Kiai Hamid.

Selama itu pula Gus Miek tidak pernah menjalankan salat. Ia hanya tidur saja sepanjang hari. Oleh Kiai Hamid, Gus Miek kemudian dibangunkan dan dimarahi agar menjalankan salat. Gus miek lalu bangun, tetapi bukan untuk menjalankan salat melainkan membaca perjalanan hidup Kiai Hamid dari awal hingga akhir, termasuk mengenal kelebihan dan kekurangannya.

Kiai Hamid pun terkejut, kemudian memeluk Gus Miek dengan berurai air mata. Sejak saat itu, Kiai Hamid sangat menyayangi Gus Miek dan memerintahkan semua muridnya agar apa pun yang dilakukan Gus Miek dibiarkan saja, bahkan kalau bisa dilayani semua kebutuhannya.

Setelah dewasa, pasca kekacauan akibat pemberontakan PKI mulai reda, Gus Miek dalam perkembangan dakwahnya mulai memasuki wilayah Pasuruan. Pertama kali masuk wilayah tersebut, Gus Miek menuju rumah Kiai Hamid yang dikenal sebagai waliyullah. Saat hendak naik mobil, dari Malang, Gus Miek mengirim bacaan Al-Fatihah kepada Kiai Hamid. Selama dalam perjalanan, Gus Miek hanya diam saja sehingga para pengikutnya pun ikut diam membisu.

Tiba-tiba di pekarangn ndalem Kiai Hamid, Gus Miek tidak langsung bertemu, tatapi hanya mondar-mandir di jalan. Setelah beberapa lama, Gus Miek mengajak salat di masjid, dan Gus Miek menjadi imam. Setelah salam, ada seorang laki-laki yang menyentuh pundak Amar Mujib dan bertanya.

“Maaf, orang itu apakah Kiai Hamim?” Amar mengangguk.
“Gus, nanti tidur di sini, ya? Nanti saya potongkan ayam, dan tidur dengan saya satu rumah,” kata lelaki itu yang ternyata adalah Kiai Hamid.

Ternyata Kiai Hamid tidak mengenali Gus Miek yang duduk-duduk dan mondar-mandir di pekarangan karena penampilan Gus Miek sudah sangat jauh berbeda dengan saat ketika ia sering mengunjunginya belasan tahun silam. Saat itu, Gus Miek masih muda dengan pakaian lusuh dan rambut gondrong. Pertemuan pertama Gus Miek dengan Kiai Hamid saat Gus Miek berusia sekitar 9 tahun.

Dikisahkan juga suatu hari Gus Miek bertamu ke rumah Kiai Hamid. Keduanya asyik berbincang tanpa memedulikan tamu-tamu yang lain. Puluhan tamu menunggu untuk sowan ke Kiai Hamid, tetapi tidak dipedulikan sampai akhirnya datang Kiai Dhofir.

“Mid, Hamid!” Kiai Dhofir memanggil. Gus Miek terlihat sangat marah, mukanya merah padam, matanya tajam menatap Kiai Dhofir. Gus Miek dengan tergesa-gesa pamit pulang. Dalam perjalanan, Gus Miek dengan nada emosi berkata, “Masya Allah, siapa tamu tadi, kok tidak punya tata karma!” “Mungkin karena Kiai Hamid keponakannya,” Amar menanggapi emosi Gus Miek.

“Walaupun keponakannya, saya tidak terima. Kiai Hamid itu kiai dan juga termasuk wali,” jawab Gus Miek masih dalam keadaan emosi. Setelah emosinya mereda, Gus Miek berkata, “Mar, kata Kiai Hamid, wali di sini yang paling tinggi adalah Husein, orangnya hitam. Tetapi, wali Husein berkata bahwa wali yang paling tinggi di sini adalah Kiai Hamid.”

Gus Miek dan Tiga Preman Tanjung Priok

Ustaz Suhaimi bercerita pada suatu hari di bilangan Tanjung Priok pada tahun 1996 ada tiga preman yang kerjaannya memalak setiap truk kontainer yang masuk pelabuhan. hasil palakannya digunakan untuk mabuk-mabukkan, main perempuan atau berjudi.

Hingga pada suatu hari datanglah seorang pria mengenalkan dirinya bernama Gus Miek. Lantas pria itu ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal, mulai dari masalah politik, ekonomi hingga menyentuh masalah agama.

Begitu lembut dan inteleknya pria itu berbicara, hingga akhirnya ketiga preman itu mulai tertarik dengannya. Apalagi pria itu orangnya asyik diajak gaul ala preman dan suka mentraktir makan, minum dan rokok.

Hingga akhirnya masuk waktu salat Zuhur, lantas Gus Miek mengajak ketiga preman itu untuk ikut salat. Pada mulanya mereka menolak, tapi Gus Miek merayunya dengan iming-iming barangsiapa yang mau salat dengannya, maka akan dikasih uang Rp. 50.000 (Uang segini besar pada waktu itu). Maka walaupun terpaksa akhirnya ketiga preman ini mau ikut salat di belakang Gus Miek, tentu saja niatnya demi mendapat uang.

Begitulah setiap waktu salat, pasti mereka salat berjamaah bersama teman barunya, Gus Miek. Kejadian ini berlangsung hingga 3 bulan lamanya. Hingga pada akhirnya ada kesadaran tersendiri bagi tiga preman itu untuk salat, apalagi Gus Miek juga mengajarkan masalah agama yang selama ini belum pernah mereka dengar.

Dan memasuki bulan keempat, Gus Miek sudah tidak menemui tiga preman tersebut. Tentu saja mereka kalang kabut, karena sudah terbiasa salat berjamaah bersama Gus Miek. Mulai ada kerinduan dari ketiga preman itu akan sosok pria misterius yang selama ini selalu mengajak mereka kepada kebaikan dan mengajarkan mereka tentang masalah agama.

Rupanya tingkah mereka menarik perhatian Ustaz Suhaimi yang ketika itu baru pulang dari acara Maulid di Masjid Luar Batang. Lalu sang ustaz menghampiri mereka di teras masjid dan menanyakan banyak hal. Kemudian 3 preman itu bercerita tentang perjumpaan mereka dengan seorang pria misterius yang membuat mereka akhirnya mulai mendalami masalah agama.

Betapa kagetnya Ustaz Suhaimi ketika mendengar nama Gus Miek disebut oleh mereka. Lantas sang ustaz yang saat itu membawa buku saku tentang Dzikrul Ghofilin memperlihatkan foto seorang ulama kepada ketiga preman itu, “Apakah pria misterius itu seperti orang ini?”

Dengan nada heran, preman itu menjawab, “Iya benar. Apakah Ustaz kenal dengan dia?” Ustaz Suhaimi menjawab, “Bukan kenal lagi. Ini guru saya. Beliau seorang ulama besar yang merupakan waliyullah. Beliau sudah wafat 3 tahun yang lalu.”

Seperti tersambar petir, terkejut bukan kepalang tiga preman ini mendengar penjelasan Ustaz Suhaimi. Jadi selama ini mereka mendapat pencerahan dari seorang ulama besar, waliyullaah terkenal, yang sudah lama wafat.

Menangislah mereka sambil menciumi tangan Ustaz Suhaimi sambil menyatakan keinginan mereka untuk bertobat dan meminta beliau mau mengajari mereka tentang masalah agama. Akhirya sang ustaz pun menyanggupinya dengan berurai air mata.