Sabtu, 06 Agustus 2016

Mengaku Beragama Tapi Tidak Ber-Tuhan (Oleh :Amiruddin Faisal)

Ateisme pada umumnya adalah mereka yang meragukan eksistensi Tuhan. Dan agama bisa diartikan sebuah petunjuk, tuntunan hidup agar tidak kacau. Sekarang ini banyak manusia-manusia yang mengaku beragama tetapi belum tentu bertuhan.

Agama mereka hanya disematkan pada tanda pengenal masing-masing. Hanya sebagai syarat.
Bagaimana tidak? Dengan entengnya mereka mencuri uang rakyat, dengan entengnya mengkafir-kafirkan sesama, dan dengan entengnya mereka menyembelih orang lain. Yang mana itu semua diatas namakan Tuhan. Jadi, jangan menyalahkan siapa siapa kalau ada yang pernah mempunyai wacana untuk mengosongkan kolom agama pada KTP. Mungkin beliau sudah menyadarinya, karena agama sudah mulai diragukan keberadaanya.

Sekarang ini semakin banyak pembiasan-pembiasan yang terjadi, terutama pembiasan dalam Islam. Pembiasan kalimat takbir oleh kaum-kaum radikal. Kalimat takbir yang seharusnya diucapkan di saat kita takjub sekaligus mengagumi keagungan Tuhan berganti fungsi menjadi kalimat pendahuluan sebelum mencabut nyawa seseorang layaknya Sang Izrail. Mengeksekusi mati; mulai dari melubangi kepala sampai memisahkannya dari raga. Kurang apa mereka? Sebagian besar dari mereka adalah hafidz Al Qur’an. The Holy Quran adalah sumber utama dari petunjuk kehidupan. Kitab yang Maha Sempurna lagi Maha ‘Membahayakan’ seperti yang dituliskan Salman Rusdie dalam bukunya Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), karena barang siapa yang salah menafsirkan isi dari setiap ayatnya akan dibutakan akal pikirannya, seperti para tentara khilafah IS di Syam. ‘From the beginning men used God to justify the unjustifiable’ ̶ bahwa sejak awal orang-orang menggunakan Tuhan untuk membenarkan hal-hal yang tidak dibenarkan.

Mungkin sebaiknya kita terlebih dahulu harus belajar tentang ilmu kemanusiaan sebelum belajar tentang ilmu di dalam Al Qur’an, karena sekarang ini banyak para penghafal Al Qur’an yang justru tidak memanusiakan manusia. Memenggal semau mereka dan mencari-cari pembenaran atas pembantaian yang mereka lakukan. Jangan salahkan apabila orang-orang semakin hari semakin tidak bersimpati kepada Islam, karena itu semua buah dari ke-cekak-an pikiran orang-orang yang mengaku Islam. Para pengecut yang bersembunyi dibalik kebesaran nama-Mu. Para atheist yang mengaku beragama.

‘Religion is opium for the masses’ (Agama adalah candu bagi massa)  ̶  Karl Marx.

Dan bukan kebetulan apabila semakin banyak orang-orang yang memilih menjadi atheist karena mereka sudah tidak lagi percaya dengan adanya Tuhan setelah melihat kekejaman demi kekejaman yang ‘dikirimkan Tuhan’ melalui tentara-tentara IS. Karena atheist berawal dari mereka-mereka yang pernah dikecewakan oleh Tuhan yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk menolak segala informasi tentang eksistensi Tuhan. “Bahkan mereka yang atheis bukan hanya mereka yang menolak informasi akan Tuhan, namun sebenarnya ateisme itu adalah sebuah dinamika, dimana setiap keputusan atau tindakan yang kita lakukan tidak melibatkan Tuhan di dalamnya” .
saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Apakah ke-Islam-an saya ini hanya karena Islam adat, keturunan, atau bahkan Islam karena malu menjadi minoritas?

saya masih bisa melihat terkadang perbuatan orang-orang yang melakukan sholat tidak lebih baik dari mereka yang tidak melakukannya. Bahkan ada teman saya dari agama lain yang mengatakan kalau lebih respect kepada mereka-mereka yang yang tidak sholat tetapi berkelakuan baik daripada yang sholat tetapi memuakkan. Lantas untuk apa kita menjalankan sholat? Kalau toh tiada beda, bahkan tak sedikit yang lebih buruk.

̶ Apakah hal itu bisa dikatakan sebagai atheist? Saya sendiri juga tidak tahu, pun juga tidak berhak menilai. Tetapi apakah mereka yang saya sebutkan di atas juga pantas dikatakan seorang beragama?
Saya juga bertanya-tanya apakah seorang atheist lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang beragama dan bertuhan. Karena seorang atheist melakukan semua perbuatannya di dunia semata-mata hanya untuk dirinya dan orang di sekitarnya, tidak lebih. Tidak perlu repot-repot mencari muka dihadapan Sang Pencipta dengan mengadili sesamanya di dunia, tidak seperti mereka yang beragama saat ini. Sibuk memainkan peran Tuhan di kehidupan dan dibutakan mata hatinya akan nikmat nirwana. Kenapa kau masih mengharapkan surga kalau kau kelak tidak pernah bisa menjumpai-Nya di sana? Karena Tuhan sudah terlanjur jijik dengan semua kehinaan yang kau perbuat di dunia, kehinaan demi kehinaan yang kau lakukan demi sebuah surga.

Terkadang saya juga merasa Islam yang seharusnya menjadi rahmatan lil ‘alamin dirubah menjadi rahmatan lil mukminin oleh para oknum-oknum fanatik. Mengkerdilkan nilai rahmatan lil ‘alamin sak penak e dewe ̶ seenaknya sendiri. Yang mana jelas-jelas mendegradasikan kualitas Islam. Sedangkan KH. Hasyim Asyhari ̶ sesepuh pendiri NU ̶ sendiri pernah berkata “Jangan sekali-kali kalian terjerumus dalam jurang kefanatikan”. Semakin fanatik dan ekstrem seseorang maka perlu dipertanyakan lagi bagaimana jalan pikirannya. Mulai dari ke-fanatik-an golongan atau mazhab yang bertengkar ingin menunjukan golongan atau mazhab siapa yang paling benar. Dengan saling membid’ah, menyesatkan, sampai mengkafirkan golongan yang semata-mata tidak sama dengan mereka. Ini sedikit lucu, padahal pada dasarnya mereka punya Tuhan yang sama, mereka punya Kitab yang sama, dan mereka punya Rasul sebagai suri teladan yang sama; hanya mazhab-nya saja yang berbeda. Mungkin mereka telah lupa akan istilah ‘teman tidak bisa mengisi rapot temannya’. Kita sebagai manusia tidak bisa dan tidak berhak menilai manusia lain.

“Jangankan mengkafirkan, menasbihkan diri sebagai seorang muslim pun kita tidak berhak”. Apa hanya karena kita bergamis dan berjenggot berarti kita muslim? Pencopet di Arab pun juga bergamis dan berjenggot. Apa karena kita berpeci maka kita bisa mengaku seorang muslim? Koruptor yang sedang diadili pun juga berpeci, malahan juga bertasbih sambil ber-dzikir ̶ apa ada sandiwara yang lebih hina dari ini? ̶ berapa banyak kehidupan manusia negeri ini yang harus merasakan imbas dari keserakahan para hamba Gubermen yang jenius tetapi masih bermental miskin ini?
Tetapi bukan berarti menjadi seorang manusia harus menjadi seorang yang sempurna. Mahluk yang diharamkan berbuat kesalahan. Sedangkan manusia sendiri tempat dimana salah dan lupa berada. Kewajiban kita hanyalah terus berusaha untuk me-muslimkan diri. Selalu berusaha berbenah diri.
“Sesungguhnya inti dan energi Al Qur’an sudah ada dalam dirimu. Bahwa seandainya tidak ada Islam, asalkan manusia benar-benar menjadi manusia yang sejati, maka sesungguhnya tidak akan terjadi kerusakan-kerusakan di bumi ini”
Muslim tidaknya seseorang tergantung dari penilaian Sang Ratu Adil, karena itu adalah hak prerogative Kanjeng Gusti. Perkenankan saya meminjam pemikiran Ahmad Wahib (alm.) tentang arti ke-muslim-an “Muslim adalah suatu kemutlakkan (absolute entity), yang memahami manusia sebagai manusia”. Mencintai manusia karena juga mencintai Penciptanya. Bukan sebaliknya, mengaku muslim untuk menindas minoritas. Menindas yang tidak berdaya.
Seiring berjalannya waktu saya memulai lagi untuk mempelajari apa itu agama, apa itu Islam dan segala ajarannya, mulai dari awal. Dari nol. Dan pada saat itulah saya menyadari bahwa yang paling utama dibutuhkan seseorang untuk menemukan Tuhannya adalah iman. Karena iman adalah suatu kepercayaan akan kebenaran dan sebuah usaha tiada henti dalam mencari jawaban atas setiap ketidak tahuan.

Sekali lagi bukan maksud saya untuk menggurui teman-teman pembaca dengan ke-cetek-an ilmu saya. Saya juga bukan seorang manusia yang suci, justru jauh dari itu, saya hanya mahluk yang paling minus. Saya hanya ingin mengajak agar kita kembali merenungi apa arti sesungguhnya dari sebuah agama bagi manusia. Dan seperti apakah seharusnya mahluk yang bertuhan itu. Karena sebenarnya Tuhan tidak ada di langit, Tuhan tidak ada di nirwana, apalagi di neraka. Karena hakikinya Tuhan sangat dekat dengan kita. Dia berada di dalam pikiran kita, di dalam diri setiap mahluk-Nya yang selalu melibatkan-Nya di setiap urusan kehidupan kita.
Tak apa jika kelak hamba tidak mendapat nikmat surga, asalkan Baginda tidak terlanjur jijik untuk menjumpai sahaya. Adakah nikmat yang lebih sempurna dari pertemuan seorang hamba dengan kekasih allah muhammad saw, dan allah tuhan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar