Jumat, 22 April 2016

Gus Mus dan Cak Nun : Panutan Yang Tidak Ambisi Jabatan (Oleh : Ayah Debay)

Gus Mus dan Cak Nun; Panutan yang Gak Ambisi Jabatan.
Oleh : Ayah Debay

Gus Mus dan Cak Nun adalah dua kyai sepuh yang dikeramatkan di kalangan nahdliyyin, setara dengan almarhum Gus Dur. Gus Mus semasa muda adalah santri paling cerdas di pesantrennya. Beliau biasa tidur sewaktu rapat para santri, dan baru dibangunkan kalau ada masalah yang tidak bisa dipecahkan. Seperti lazimnya santri Ponpes Lirboyo, Gus Mus muda senang mempelajari ilmu kanuragan, sehingga rambutnya saja yang sanggup memotong adalah bapaknya sendiri (dan tentu sambil dimarah-marahi).

Cak Nun semasa muda karakternya seperti tokoh wayang Bima; terlalu jujur pada keadaan. Sewaktu masih SD, beliau menendang kaki gurunya sendiri, karena tidak terima temannya yang dimarahi melampaui batas. Sewaktu jadi santri, beliau menghajar seniornya yang kurang ajar, sehingga langsung dikeluarkan.
Baik Gus Mus atau Cak Nun, keduanya sekarang adalah juara di bidangnya masing-masing. Gus Mus meski menolak menjadi Ra'is 'Aam PBNU tetapi sejatinya selalu memposisikan sebagai pemimpin dan panutan ribuan ulama dan puluhan juta nahdliyyin. Meski demikian, beliau lebih suka dipanggil "gus" (orang yang belum pantas disebut kiyai) dan digelari budayawan.

Sedangkan untuk Cak Nun, meski beliau tidak punya gelar akademik apapun, beliau adalah rujukan kebanyakan profesor dan doktor di Tanah Air. Emha Ainun Nadjib adalah "cendekiawan paling cendekiawan" di Indonesia. Bahkan, saat genting Reformasi 1998, salah satu orang yang dimintai nasehat oleh Pak Harto dan para panglima tentara adalah Cak Nun, karena selain beliau sangat cerdas, beliau adalah manusia tanpa ambisi.
Seandainya Walisongo ada di zaman sekarang, bisa jadi beliau berdua dimasukkan dewan wali nusantara tersebut seperti halnya Gus Dur.

Semoga Gus Mus dan Cak Nun selalu dianugerahi kesehatan dan panjang umur sehingga bisa istiqamah dan ikhlas mengayomi kita semua.
Amin..

Ditulis oleh : Ayah Debay
Profile : https://www.facebook.com/liebedich.iev?fref=nf
Anggota Grup Sahabat Gus Dur

Minggu, 17 April 2016

Indonesia Mampu Redam Perekrutan ISIS Berkat Peran NU. (Oleh : Ayah Debay)

Indonesia Mampu Redam Perekrutan ISIS Berkat Peran NU.

Jumlah warga Indonesia yang bergabung dengan kelompok negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) relatif lebih sedikit dibandingkan negara mayoritas Muslim lainnya.
Dilansir dari The Atlantic, berdasarkan laporan dari kelompok Soufan, warga Indonesia yang bergabung dengan ISIS hanya 700 orang. Bahkan medio November lalu, The New York Times menulis, alasan Indonesia mampu meredam perekrutan ISIS adalah adanya organisasi IslamNahdlatul Ulama (NU).



Organisasi yang memiliki 50 juta anggota ini mengajarkan Islam yang welas asih, inklusif dan memiliki sikap toleransi antar umat beragama. Islam berbeda dengan ISIS yang terinspirasi dari wahabi.
"Kami menentang ideologi ISIS, bahwa seluruh manusia harus Islam, yang berarti jika ada ideologi lain di luar Islam dan tidak mengikuti ideologi mereka, maka orang-orang tersebut kafir dan harus dibunuh," ujar Sekjen PBNU Yahya Cholil Staquf, beberapa waktu lalu.


Sementara itu, Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik Sidney Jones sepakat bahwa NU telah memainkan peran dalam meminimalkan perekrutan anggota ISIS di Indonesia.
"Gerakan tersebut memang sebuah benteng bagi mereka yang ingin bergabung dengan ideologi ekstremis,"ujar Jones.

Ditulis ulang oleh : Ayah Debay
Anggota Grup Sahabat Gus Dur

Sabtu, 16 April 2016

ISLAM NUSANTARA BUKAN AJARAN, FAHAM DAN MAZHAB (Oleh :Amirudin Faisal)

AYO BUDAYAKAN SINAU
ISLAM NUSANTARA BUKAN AJARAN, FAHAM DAN MAZHAB

Sebagai sebuah corak keberagamaan yang bercita-cita untuk menjadi role model kiblat Islam rahmatan lil’alamin di dunia, Islam Nusantara tentu masih sangat memerlukan kritik. Kritik adalah salah sebuah sarana untuk meneguhkan Islam Nusantara secara konseptual. Karena tanpa kritik, kita tidak akan bisa mendeteksi sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap term yang mendadak nge-pop akhir-akhir ini.
Namun tampaknya, semakin Islam Nusantara mengudara, betul bahwa ada adagium yang mengatakan semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin menerpa, rupanya Islam Nusantara pada perjalanannya bukan cuma diterpa oleh berbagai kritikan, tetapi juga berbagai tanggapan sarkastis dan propaganda negatif sebagai sebuah paham yang dituding sesat dan menyesatkan.

Ironisnya, hal ini bukan hanya berasal dari kalangan yang belum paham atau memang awam mengenal istilah ini. Akan tetapi juga datang dari berbagai tokoh populis seperti Mamah Dedeh –mamahnya ibu-ibu pengajian televisi, Habib Rizieq Shihab – Pucuk Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) , Dokter Hamid Fahmi Zarkasyi–maha guru yang menjadi referensi baku kawan-kawan kajian INSISTS, sampai selebritas twitter Hafidz Ary yang mencitrakan diri sebagai murobbi-nya gerakan Indonesia Tanpa JIL.
"Tanpa tedeng aling-aling, di depan jamaah pengajian subuh dan disaksikan oleh seluruh pemirsa ANTV suatu pagi, Mamah Dedeh mengatakan “Coret Islam Nusantara” yang secara otomatis statemen beliau tersebut langsung dikutip dan disebar-luaskan oleh media-media yang notabene sempat masuk list BNPT sebagai media “radikal”. Lebih ekstrem lagi, Habib Rizieq tampak niat banget untuk menghantam Islam Nusantara ini hingga beliau meluangkan waktu untuk membuat propaganda di media bahwa JIN (Jemaat Islam Nusantara – istilah yang sesungguhnya beliau bikin sendiri) adalah sebuah gerakan yang harus ditumpas eksistensinya di negeri ini lantaran pahamnya sesat dan menyesatkan, lengkap dengan pointer-pointer yang beliau inventarisir sebagai dalil atau dalih bahwa Islam Nusantara ini memang sesat. Ah yang beneer?"
Sebagai sebuah tulisan populer, saya ingin mengajak segenap pembaca untuk terlebih dahulu merenggangkan urat saraf masing-masing sebelum lebih jauh menyimak. Saya hanya ingin menggaransi terlebih dahulu bahwa tulisan ini nantinya tidak akan se-galak artis twitter bernama Hafidz Ary yang dengan serampangan mengatakan bahwa corak Islam Nusantara yang dirintis para ulama dan segenap awliyaa di negeri ini adalah produk rintisan kaum Islam Liberalis. Hafidz semacam melakukan jurus mabuk hingga pura-pura lupa bahwa liberalisme Islam di negeri ini adalah gerakan yang nge-pop belakangan bahkan tergolong impor, atau bahasa kerennya biasa disebut transnasional. Sedangkan Islam Nusantara adalah corak keberagamaan yang telah lama menyatu dengan urat nadi bangsa Indonesia.

Saya juga akan berusaha untuk tidak menjadi se-gegabah ustadz beken bernama Felix Siauw yang mengatakan bahwa “Nasionalisme tidak ada dalam Islam”, lalu kemudian kepleset lidah berfatwa menghalalkan VCD bajakan karena “segala sesuatu di dunia ini milik Allah”, lalu mengharamkan akifitas selfie dan ternyata beliau juga suka selfie, dan yang paling menggelikan adalah mengkampanyekan Hijab Syar’ie ala beliau sendiri hingga kemudian diketahui ternyata beliau juga jualan jilbab. ( Baca )
Bismillah. Akhi, don’t be amazed too much, jangan latah!, Islam Nusantara bukan paham kok, bukan pula ajaran, apalagi mazhab baru yang mencoba peruntungan untuk numpang tenar di bumi Indonesia ini. Islam Nusantara adalah model keberagamaan yang sejak lama menjadi model dakwahnya para Kyai di Jawa, para Buya di Sumatera, para Tuan Guru di Kalimantan, dan para Gurutta di Sulawesi. Islam Nusantara adalah Islam yang ketika harus berhadapan dengan The Old Establishing Beliefs– seperti Hinduisme di Indonesia, maka dengan lentur tidak menjadikan sapi sebagai hewan kurban karena sapi adalah hewan yang mulia menurut kepercayaan masyarakat Hindu. Para awliyaa kala itu paham bahwa Islam cukup selow dengan memperbolehkan kerbau dan kambing sebagai substitute animal (baca; pemain cadangan) untuk dikurbankan. Dan ini Islami banget, kok. Toh dulu juga al-Qur`an ketika melarang minum khamr juga metodenya bertahap. Awalnya dengan menyatakan bahwa di dalam khamr terdapatitsmun kabiir (dosa besar) dan jugamanaafi’ linnaas(manfaat untuk manusia), hanya saja dosanya lebih besar daripada manfaatnya. Lalu kemudian memrintahkan jangan melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk, hingga pada akhirnya baru mengharamkan khamr secara tegas. Metode semacam ini dalam istilah Arab disebut dengan tadriijiyyan, atau step by step.
Islam Nusantara adalah Islam yang mengerti lokalitas sehingga masyarakat Islam Banjar sangat akrab dengan tradisi baaruhan, di Jawa ada tradisi slametan, bahkan muslim yang sudah meninggal dunia pun diurus sampai seratus hariannya dan diperingati setiap tahunnya. Islam Nusantara juga mengerti psikologis masyarakat untuk berkesenian hingga dikenal tradisi maulidan, barzanjian, diba’an, dan lain-lain.

Kesemua contoh di atas adalah ke-khasan tersendiri bagi corak keberislaman di Indonesia, yang jika digali lebih dalam adalah identitas kearifan lokal atau local wisdom itu sendiri. Karena sejatinya identitas inilah yang mahal, identitas ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Maka sudi lah kiranya kita belajar dari Kyai Haji Hasyim Asy’ary yang bertahun-tahun mengaji di Mekkah tapi mind set-nya tidak pernah ter-Arab-kan. Sudi pula lah kiranya kita menengok sejarah Wapres legenda kita Mohammad Hatta yang belajar di Belanda tapi tidak ter-barat-kan. Beliau bahkan masyhur dengan gagasan ekonomi koperasinya, hingga gagasan politik luar negeri Mendayung di atas Dua Karang-nya yang sampai hari ini menjadi khas kebijakan luar negeri Indonesia yang nonblock dan nonafiliate. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana beliau tetap hidup Islami dengan sifat qana’ah-nya hingga sampai akhir hayatnya tidak mampu membeli sepatu bermerek Bally.
Terakhir, Islam Nusantara tidak pernah anti Arab seperti yang dituduhkan Habib Rizieq. Tapi Islam itu sendiri bukanlah Arabisme karena memang spiritnya universal. Turun sebagai agama langit (samawi), tapi eksistensinya membumi. Bahkan kalau mau jujur, para ulama, Kyai, dan Tuan Guru itu kurang ngerti Arab apa coba? Dari dulu juga buku-buku wajib di Pesantren adalah kitab-kitab berbahasa Arab. Bukan sekadar gombal dan retoris untuk menjadi Arabissampai urusan ngobrol dan ngopi saja harus menyapa dengan akhi dan ukhti.

Islam Nusantara juga tidak pernah anti-barat, karena prinsip dasarnya adalah memungut hikmah darimana pun sumbernya. Hikmah adalah milik orang Islam yang tercecer. Karenanya, Islam Nusantara sangat menghargai tradisi dan sekaligus juga terbukadengan modernitas. Kaidah fikih populernya; “al muhaafazhah alal qadiim al shaalih, wal akhdzu bil jadiid al ashlah”. Pijakan historis yang kokoh, dan kemampuan merespon masa depan dengan tangkas. Inilah yang disebut dengan prinsip, identitas, dan jati diri. Tak heran kalau kemudian mantan Presiden kita Baharuddin Jusuf habibi yang diketahuilama tinggal di Barat, toh ternyata juga tidak serta merta sepakat dengan tradisi Barat yang individualistis sampai nenek-nenek harus jauh dari cucunya karena ibunya lebih suka menitipkan anaknya di penitipan bayi. Di negara maju, kata Pak Habibi, tak pernah ada istilah ngemong cucu. Dan sebagai Profesor Jenius di bidang teknologi, ternyata ketika beliau ditanya lebih memilih makanan yang diolah oleh Food Processor atau sambal yang di-ulek, dengan tegas beliau memilih yang kedua, karena sambal yang di-ulek oleh wanita Indonesia sungguh tiada duanya. Wallaahul Muwaffiq ilaa aqwatith tariieq.

Oleh : Amirudin Faisal
Admin Grup Sahabat Gus Dur

Kamis, 14 April 2016

NU dan NKRI (Oleh : KH Said Aqil Siraj)

NU dan NKRI (Oleh : KH Said Aqil Siraj)

KH. Hasyim Asy'ari merupakan tokoh yang mempunyai andil besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. KH. Hasyim Asy'ari adalah pendiri Ormas terbesar dengan jumlah anggota terbanyak di dunia, yaitu Nahdlatul Ulama. Tidak hanya sebagai tokoh agama, ia juga berperan sentral dalam mengantarkan Indonesia "menuju pintu gerbang kemerdekaan."

Menurut Prof. DR.Said Aqil Siradj,
"Kiai Hasyim Asyari jauh sebelum berdirinya NU, sebelum berdirinya NKRI sudah memiliki visi-misi yang sangat jauh.”Islam saja belum bisa menyatukan umat.” Visi yang ke depan sangat jauh, yaitu ingin mensinergikan semangat Islam dan semangat nasionalisme.” “Terbukti sekarang, Afghanistan penduduknya 100% muslim perang terus sudah puluhan tahun.,” Karena tidak punya komitmen wathoniyah, tidak punya komitmen kebangsaan, ingin menjaga keutuhan negerinya.”
Kata Hadratussyaikh: Islam saja belum bisa menyatukan umat harus diperkuat semangat wathoniyah, semangat kebangsaan.” “Nasionalisme akan menjadi nasionalisme yg kering, yg tidak punya nilai, kalau tidak diisi dengan nilai2 spirit agama.” “Bahwa NU ingin mendirikan negara darrusalam, negara yang damai, bukan negara Islam,” “Indonesia harus lahir sebagai negara kebangsaan.” 

Oleh karena itu,lanjut Kyai Said Aqil dengan tegas mengatakan;
"Barang siapa tidak punya tanah air,maka tidak punya sejarah,
Barang siapa tidak punya sejarah,maka akan terlupakan".



Islam memang agama mayoritas, rahmat Islam harusnya melintasi batas-batas.
Islam agama yang membawa kerahmatan yang bisa sejalan dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an.
Semangat keagamaan perlu dihidupkan untuk isu kemakmuran, kesejahteraan dan perdamaian.
Kiai Hasyim Asy'ari dan para masyayikh NU bisa jadi panutan tentang Islam yang hidup di tengah perbedaan. Jika perbedaan selalu disikapi dengan kekerasan, peran apa yang bisa dilakukan agama di masa depan?.

“Menurut saya, salah satu jasa Mbah Hasyim yg sangat luar biasa itu punya cucu bernama Gus Dur.
“Gus Dur selama jadi presiden itu tidak pernah ribet, negara saja tidak ribet, malah kita yang ribet.”contohnya tentang departemen penerangan,menurut gusdur;
“Departemen penerangan itu sudah bubarkan saja, mau diterangin apalagi wong sudah terang benderang begini.” masalah menteri juga beliau bertutur dengan sangat cerdas dan brilian;
“Menterinya yang ribet: Gus ini departemen, ada 50.000 karyawan dibalik departemen ini lalu yang ngurus siapa?”“‘Mosok aku?’ jawab gusdur;Hanya dua kata saja persoalan bangsa ini langsung beres.”

Ditulis kembali oleh : Amirudin Faisal
Admin Grup Sahabat Gus Dur

Selasa, 12 April 2016

Saya Ini Korban Pencitraan (Oleh : KH Ahmad Mustofa Bisri)

Saya Ini Korban Pencitraan 
Oleh : KH Ahmad Mustofa Bisri

1970-an, sekelompok anak muda NU intens berkonsolidasi. Bediskusi, bergerak, menulis, bicara di berbagai forum, membangun jaringan, merintis tapak menuju masa depan yang lebih baik bagi NU dan Indonesia. Dipimpin Gus Dur, Gus Mus termasuk salah seorang di antara mereka.
Publik pun lantas mengenal mereka sebagai “kelompok muda NU”, suara kaum muda, pemimpin-pemimpin muda. Atribut “muda” itu begitu kuat melekat pada citra diri mereka sehingga kehadiran mereka senantiasa “terasa muda”.
“Sekarang ini orang lupa kalau aku sudah tua. Dikiranya muda terus…” kata Gus Mus.
Pada mulanya Gus Dur mengajak Gus Mus ikut tampil membacakan puisi-puisi karya penyair-penyair Palestina dalam sebuah pentas solidaritas penyair-penyair Indonesia untuk Bangsa Palestina. Sejak saat itu, orang memandang Gus Mus sebagai penyair.
“Karena terlanjur dianggap penyair, terpaksa saya juga menulis puisi-puisi”, kata Gus Mus.
Kokohlah citra Gus Mus sebagai penyair, seniman, dan budayawan. Pentas-pentas baca puisi, seminar-seminar dan diskusi-diskusi ilmiah ala intelektual kota dilalapnya.

Orang menjadi lupa-lupa ingat bahwa Gus Mus terlahir sebagai santri kendil. Hidup sebagai santri kendil, menyikapi hidup dengan naluri santri kendil, menjalaninya ala santri kendil. Saya pernah dimarahi habis-habisan gara-gara membuat proposal permintaan bantuan dana kepada Pemerintah untuk bangunan pondok.
“Hati-hati mencari uang!” katanya, “Abahmu dan embahmu tidak pernah mementingkan bangunan yang bagus-bagus. Apa pun adanya, yang penting barokah!”
Ketika anak sulungnya, Ienas Tsuroyya, mencapai umur matang untuk berumah tangga, Sang Ayah menikahkannya, persis secara santri kendil. Yakni dengan mengatur perjodohan di antara sesama kyai santri kendil. Hingga tercapailah kata sepakat dengan Kyai Abdullah Rifa’i dari desa Cebolek, Pati. Ienas pun, dengan kesadaran seorang puteri santri kendil, menurut saja dinikahkan dengan Ulil Abshar Abdalla yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

Si Mantu ndilalah orang terkenal juga. Pemikir muda yang kontroversial. Pendiri Jaringan Islam Liberal. Rajin bikin kaget kalangan pesantren tradisional. Reputasi Ulil menanjak sedemikian rupa sampai-sampai berpengaruh terhadap citra mertuanya. Hanya karena bermenantukan Ulil si pendiri JIL, segelintir manusia pendek akal pun menisbatkan Gus Mus pula kepada JIL. Apalagi Gus Mus memilih cara dakwah penuh kelembutan dan mengecam orang-orang yang gemar bawa pentungan sambil teriak takbir.
Orang lupa bahwa Gus Mus memperoleh predikat kyai karena pengetahuan dan kesetiaannya kepada syari’at. Macam-macam label yang ditempelkan orang kepada pribadi Gus Mus, tak lebih dari hiasan remeh-temeh dibanding intensitasnya menggeluti fiqih. Kumpulan tulisannya dari rubrik-rubrik tanya-jawab di sejumlah media telah diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Fikih Keseharian Gus Mus”. Bersama Kyai Sahal Mahfudh, Gus Mus juga menerjemahkan sebuah buku babon berjudul “Ensiklopedia Fikih”.

Sebagai faqiih, Gus Mus bahkan tergolong kolot. Seumur hidup tak pernah ia mau menyentuh kepiting. Bukannya Gus Mus tak tahu bahwa menurut kyai-kyai Kajen (Pati) kepiting itu halal. Gus Mus memilih meneguhi pendapat kakeknya, Kyai Kholil Harun, yang mengharamkan kepiting.
Asy Syaikh As Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani pernah menyatakan, betapa beliau mengagumi pemikiran-pemikiran fiqih Iman Syafi’i.
“Seandainya tidak turun-temurun keluargaku mengikuti Madzhab Maliki, niscaya aku menjadi Syafi’iy dengan senang hati”, demikian Sayyid Muhammad berkata.

Beliau memegangi Madzhab Maliki sebagai amanat leluhur. Persis dengan itu, Gus Mus memegangi amanat fiqih kakeknya.
Kini Gus Mus sudah 70 tahun. Sebagai Pejabat Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ia masih harus mengerahkan sisa-sisa tenaga bagi khidmah kepada 100 juta warga dibawah tanggung jawabnya. Itu juga soal biasa. Semua kyai NU ya begitu itu. Sampai tiba saatnya Tuhan mengirim pembawa kabar gembira.

Athaalallaahu baqaa-ahu wa hafidhahu.

Oleh : Ayah Debay
Profile : https://www.facebook.com/groups/1610216669215200/permalink/1752849618285237/
Anggota Grup Sahabat Gus Dur

Piagam Madinah, Upaya Merajut Harmoni Kelompok Agama yang Berbeda (Oleh : Amirudin Faisal)

Piagam Madinah
Upaya Merajut Harmoni Kelompok Agama yang Berbeda
Oleh : Amirudin Faisal

Dalam sejarahnya, salah satu bentuk kesepakatan yang melibatkan kelompok Muslim dan non-Muslim yang cukup fenomenal adalah Piagam Madinah (tahun 622 atau 2 tahun sebelum terjadinya perang Badar). Naskah asli dokumen ini menyebut dirinya kitab (tulisan) sahifah (dokumen) dan sering dirujuk sebagau sebuah ’piagam’ dan ’konstitusi’.
Piagam Madinah berisi pernyataan bahwa warga Muslim dan Non Muslim Yatsrib (Madinah) adalah satu bangsa, dan orang Yahudi dan Kristen, serta non-Muslim lainnya akan dilindungi dari segala bentuk penistaan dan gangguan. Ada penekanan tentang kesamaan hak antara Muslim dengan non-Muslim sebagai sesama warga negara. Dengan demikian, jaringan relasional Islam telah meluas kepada non-Muslim yang dirangkum dalam semangat tauhid yang meletakkan semua pada tingkatan yang sama (Kazuo Shimogaki, 1993).
Ketika nabi hijrah ke Yatsrib, umat Yahudi, dan suku-suku Arab politeis adalah kelompok mayoritas yang hidup di sana. Kaum anshar (penolong) yang sering dikaitkan sebagai penduduk lokal Yatsrib penerima dan penolong nabi dan rombongannya merupakan kelompok dengan jumlah kecil yang mendiami Yatsrib. Dalam sesnsus yang dilakukan pada masa Nabi saja nampak kelompok Muslim jumlahnya sedikit dibanding non-Muslim. Dari 10.000 penduduk Madinah saat itu, umat Muslim hanya berjumlah 1.500 orang. Umat Yahudi berjumlah 4000 orang, dan sisanya adalah suku-suku Arab (Rizal Panggabean, 2009).
Dari gambaran sensus tersebut jelaslah bahwa nabi dan para pengikutnya merupakan minoritas penduduk Madinah, di tengah sistem kesukuan dan dinamika setelah perang saudara. Selain itu suku Quraisy yang ikut hijrah bersama nabi adalah orang-orang yang kurang mampu yang mengantungkan pertolongan dari penduduk asli Yatsrib. Belakangan hari, nabi berhasil membentuk ikatan persaudaraan antara pendatang yang Muslim dengan penduduk lokal Yatsrib yang multi suku dan agama/kepercayaan.
Dalam situasi seperti ini, mengapa kepemimpinan Muhammad diterima di Yatsrib?. Dua tahun sebelum hijrah, nabi sering dihubungi beberapa tokoh Yatsrib dari suku Aus dan Khazraj yang sudah lama dilanda perang saudara. Kelompok Yahudi yang pada waktu itu telah berada dalam lindungan suku-suku Arab juga mengalami perpecahan. Yatsrib benar-benar krisis, sehingga membutuhkan seorang tokoh untuk mempersatukan, yang bukan bukan dari kalangan lokal, melainkan orang luar yang berasal dari keluarga terhormat supaya dijadikan hakam atau arbitrator (pihak indepeneden yang ditunjuk untuk penyelesaian konflik/sengketa). Dan seorang hakam yang dimaksud ada pada sosok Muhammad yang saat itu sedang mencari sebuah tempat baginya dan para pengikutnya.
Kisah penyambutan penduduk Yatsrib, kaum anshar, kepada kaum muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah SAW, menjadi tonggak awal dari berdirinya masyarakat Madani. Untuk membangun masyarakat ideal berlandaskan nilai-nilai ketauhidan, Muhammad kemudian mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, kota peradaban.
Di kota ini pula, Muhammad berjihad untuk merekatkan persaudaraan antara kaum-kaum yang berbeda identitas kesukuan dan keagamaan. Salah satu bentuk ijtihad Muhammad tersebut tertuang dalam Piagam Madinah. Piagam yang terdiri dari 50 butir kesepakatan itu mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan, suku, agama, kelompok berbeda yang sama berdiam di Madinah.
Sebagai contoh isi Piagam Madinah yang menghormati agama dan suku lain adalah pada pasal 16 “Bahwa sesungguhnya kaum-bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum”. Pasal ini mempertegas pembukaan piagam yang berbunyi “perjanjian ini dari Muhammad, seorang nabi, dilakukan diantara orang-orang beriman dan umat Islam dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta sispapaun yang mennyertai dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka; bahwa mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain”. Maka salah satu aspek terpenting dalam piagam ini adalah perubahan status sosial dari pertalian darah (al-nasab) ke pertalian nilai (ummah).
Piagam Madinah menamakan pihak-pihak yang menyepakati sebagai ummah wahidah, umat yang satu yang terdiri suku Quraisy pengikut nabi yang ikut berhijrah, penduduk Madinah yang sudah masuk Islam, dan suku-suku Arab yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka dan berjuang bersama mereka. Suku-suku Arab yang politeis juga bagian dari ummah wahidah.
Suku-suku Arab menjadi salah satu pihak dalam piagam ini, dan terlebih istimewa, disebutkan secara khusus. Mereka adalah Banu Awf, Banu Sa’idah, Banu al-harith, banu Jusham, Banu al Najjar, Banu ’Amr bin ’Awf, Banu al Nabit, dan Banu al-Aws. Piagam ini melarang usaha balas dendam di kalangan yang menyepakati piagam ini, sebab salah satu tujuan ummah wahidah adalah mencegah sengketa internal berdarah. Jika terjadi pelanggaran, proses penyelesaiannya dengan musyawarah yang melibatkan Muhammad, tidak dengan jalur mekanisme kesukuan lama.
Piagam Madinah merupakan salah bukti yang sah tentang bagaimana petnujuk Al qur’an difungsikan dalam masyarakat plural di bawah pimpinan Nabi. Muhamad Hamidullah asal India menyebut piagam Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia, jauh lebih dahulu dibanding Magna Catra. Sementara Munawir Sadzali menjadikan Piagam Madinah sebagai bukti bahwa nabi sendiri tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Pandangan lain diutarakan Nardisyah Hosein yang menyebut Piagam Madinah sebagai potret konstitusi yang demokratis. Dan yang lebih uniknya lagi dalam piagam tersebut tidak ada terma ’negara Islam’.
Namun beberapa kalangan juga melayangkan pikiran kritisnya dengan melihat Piagam Madinah belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip pluralisme, karena konstruksi umat yang dibayangkan masih cenderung mayoritas. Meskipun unsur-unsur yang membentuk civil society telah terbentuk di Madinah seperti prinsip keadilan, persamaan dan musyawarah, namun pengharagaan atas kewarganegaraan (citizenship) belum cukup terlihat. Hal ini disebabkan karena proses pengambilan kebijakan masih didasarkan pada otoritas tunggal nabi yang memiliki keabsahan spiritual dalam menafsir keabsahan atas nama Tuhan (Aritonang,
Namun yang perlu digarisbawahi adalah pada sebuah upaya membangun tata nilai kehidupan yang setara, yang tidak memihak dan menghormati pluralitas adalah sebuah fakta yang cukup menginspirasi dan perlu diadopsi dalam kancah kehidupan beragama dan sosial kita dewasa ini.

Oleh : Amirudin Faisal
Profile : https://www.facebook.com/amirudin.faisal.3/posts/136566893409289
Admin Grup Sahabat Gus Dur

MEWASPADAI GENERASI DAN GERAKAN IBNU MULJAM DI BUMI NUSANTARA. (Oleh : Amirudin Faisal)

MEWASPADAI GENERASI DAN GERAKAN IBNU MULJAM DI BUMI NUSANTARA.
Oleh : Amirudin Faisal

Ali bin Abi Thalib gugur sebagai syahid pada waktu subuh tanggal 7 Ramadhan akibat tebasan pedang salah seorang anggota sekte Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam Al Murodi. Uniknya sang pembunuh ini melakukan aksinya sambil berkata,
“Hukum itu milik Allah, wahai Ali. Bukan milikmu dan para sahabatmu.”
Tidak berhenti sampai di situ, saat melakukan aksi bejadnya ini Ibnu Muljam juga tidak berhenti mulutnya mengulang-ulang ayat 207 surat Al Baqarah yang artinya,
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
Tatkala khalifah Ali bin ABi Thalib akhirnya gugur, Ibnu Muljam pun dieksekusi mati dengan cara diqishas. Proses qishasnya pun bisa membuat kita tercengang karena saat tubuhnya telah diikat untuk dipenggal kepalanya, ia masih sempat berpesan kepada algojo yang mendapat tugas melakukan eksekusi,
“Jangan penggal kepalaku sekaligus. Tapi potonglah anggota tubuhku sedikit demi sedikit hingga aku bisa menyaksikan anggota tubuhku disiksa di jalan Allah.”

Demikianlah keyakinan Ibnu Muljam yang berpendapat bahwa membunuh Ali bin Abi Thalib yang nota bene salah satu sahabat yang dijamin masuk surga, menantu (suami Sayyidah Fathimah) dan saudara sepupu Rasulullah dan ayah dari Hasan dan Husein, dua pemimpin pemuda ahli surga, sebagai tindakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Aksi yang dilakukan oleh Ibnu Muljam ini adalah realitas pahit yang kita lihat pada kehidupan ummat Islam sekarang dimana diantara para pemuda kita terdapat kelompok yang giat melakukan provokasi untuk membunuh kaum muslimin yang tidak berdosa. Kelompok ini menggunakan intimidasi dan aksi kekerasan sebagai strategi perjuangan mereka. Merekalah yang pada raut wajahnya memancarkan hidayah dan mereka juga senantiasa membaca Al Qur’an di waktu siang dan malam. Namun sesungguhnya mereka adalah kelompok yang merugi sebab karakteristik mereka tepat sebagaimana sinyalemen yang disampaikan Rasulullah dalam sebuah hadits yang artinya,
“Akan ada para lelaki yang membaca Al Qur’an tanpa melampaui tulang selangka mereka. Mereka telah keluar dari agama laksana keluarnya anak panah dari busur.”
Kebodohan mengakibatkan mereka merasa berjuang membela kepentingan agama Islam padahal hakikatnya mereka sedang memerangi Islam dan kaum muslimin.

Ibnu Muljam sejatinya adalah figur lelaki yang shalih, zahid dan bertaqwa. Bukan lelaki bengal yang buta sama sekali terhadap ilmu agama. Di wajahnya terlihat dengan nyata jejak sujud. Ia juga hapal Al Qur’an dan sekaligus sebagai guru yang berusaha mendorong orang lain untuk menghapalkannya. ‘Umar bin Khatthab pernah menugaskannya ke Mesir demi mengabulkan permohonan ‘Amr bin ‘Ash yang memohon kepada beliau untuk mengirim ke Mesir figur yang hafal Al Qur’an untuk mengajarkannya kepada penduduk Mesir. Tatkala ‘Amr bin ‘Ash meminta,
“Wahai amirulmukminin, kirimkanlah kepadaku lelaki yang hafal Al Qur’an untuk mengajari penduduk Mesir, “
‘Umar menjawab, “Saya mengirimkan untukmu seorang lelaki bernama Abdurrahman bin Muljam, salah seorang ahli Al Qur’an yang aku prioritaskan untukmu dari pada untuk diriku sendiri. Jika ia telah datang kepadamu maka siapkan rumah untuknya untuk mengajarkan Al Qur’an kepada kaum muslimin dan muliakanlah ia...!.”

Meskipun Ibnu Muljam hafal Al Qur’an, bertaqwa dan rajin beribadah namun semua itu tidak bermanfaat baginya. Ia mati dalam kondisi su’ul khatimah, tidak membawa iman dan Islam akibat kedangkalan ilmu agama yang dimilikinya dan berafiliasi dengan sekte Khawarij yang telah meracuni para pemuda muslim sehingga melakukan aksi-aksi yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama Islam namun justru mengklaim semua itu dalam rangka membela ajaran Allah dan Rasulullah.
Bercermin dari figur Ibnu Muljam tentu kita tidak perlu merasa aneh jika sekarang muncul kelompok-kelompok ekstrim yang mudah memvonis kafir terhadap sesama muslim yang berbeda pandangan melakukan tindakan yang sama persis dilakukan oleh Ibnu Muljam. Mereka mengklaim berjuang menegakkan agama Allah namun faktanya justru menebar ketakutan kepada ummat Islam dan menciptakan konflik internal berdarah-darah yang membuat mustahil membangun persatuan sesama kaum muslimin.

Oleh karena itu menjadi tugas bersama para ulama dan umaro’ untuk membentengi kaum muslimin di Indonesia dari ide-ide keagamaan destruktif yang dikembangkan oleh generasi pewaris Abdurrahman bin Muljam dan untuk berusaha keras menghalangi siapapun yang ingin menjadikan Indonesia sebagai ladang subur bagi tumbuhnya kelompok-kelompok khawarij modern yang militan namun miskin ilmu.
Wallahu A’lam.

Ditulis oleh : Amirudin Faisal
Profile : https://www.facebook.com/amirudin.faisal.3/posts/136161916783120
Admin Sahabat Gus Dur

Senin, 11 April 2016

Bagaimana ? (Oleh :Amiruddin Faisal)

Bagaimana ? 
(Oleh :Amiruddin Faisal)

Bagaimana engkau mengampanyekan Islam Rahmatan, sementara jemari sibuk menghinakan hamba Tuhan.Begini Tuhanmu mengingatkan:"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum menghina kaum yang lain, sebab mungkin sekali mereka yang dihina itu lebih baik dari yang menghina. Dan jangan pula kaum perempuan menghina perempuan yang lain, barangkali mereka yang dihina itu lebih baik dari mereka yang menghina." (al-Hujurat: 11)Begini pula Sang Nabi berpesan:"Cukuplah seseorang berbuat keburukan jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim." (HR. Muslim).Agama Rahmatan itu penuh kasih sayang, mencibir orang lain dengan pandangan merendahkan sungguh perbuatan yang tak disukai Tuhan, apalagi membully secara fisik. 


Masih segar dalam ingatan, bagaimana dulu seorang Pemimpin Ormas dengan Arogan mengatai KH. Abdurrahman Wahid "si Buta dari Jombang". Ia tidak senang dengan pemikiran Gus Dur lalu di pentas terbuka mencaci maki Sang Kyai yang Allah taqdirkan menjadi Presiden dan hingga saat ini diakui kewaliannya oleh banyak ulama sepuh.Engkau boleh tak sefaham, tapi menghina tetap kezaliman yang nanti beroleh ganjaran, bila bagimu tak penting hukuman di akhirat nanti, boleh jadi kehidupanmu akan dipenuhi caci maki dan hinaan dan boleh jadi itu akan muncul dari anak-anak kecintaanmu. Wallahu a'lam saya rasa vibrasi keburukan akan mudah menularkan kepada orang-orang di sekitar.Please, jangan kotori lisanmu dengan merendahkan fisik hamba Tuhan yang lain, aku saja yang sahabatnya merasa merasa sedih,apalagi dia yang kau hinakan.


Oleh : Amirudin Faisal
Profile : 
https://www.facebook.com/amirudin.faisal.3/posts/135510176848294
Admin Grup Sahabat Gus Dur

Bismillahirrohmanirrohim.. Merdeka!!! (Oleh Amirudin Faisal)

Bismillahirrohmanirrohim..
Merdeka!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara yang berada di Tanah Air Indonesia
Kita semuanya telah mengetahui.
Bahwa hari ini Militan Abu Sayyaf telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan,
menyerahkan Uang 15 Miliar..
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan...
Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Saudara-saudara.
Di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Tanah Air
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Jawa
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Madura
Pemuda-pemuda yang berasal dari Nusa Tengara
Pemuda-pemuda yang berasal dari Papua
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,
Pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera,
Pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Tanah Air ini.
Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing.
Dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung.
Telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol.
Telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.
Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara.
Dengan menyandera 10 Warga Negara Indonesia dan Pemerintah Filipina yang tidak kunjung memberi Approval untuk memasuki wilayah mereka. Maka kita ini tunduk untuk memberhentikan pertempuran.
Tetapi pada masa itu mereka para Militan Abu Sayyaf telah memperkuat diri.
Dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara kita semuanya.
Kita bangsa indonesia yang ada di Tanah Air ini akan menerima tantangan Militan Abu Sayyaf itu,
dan kalau pimpinan Militan Abu Sayyaf yang ada di Filipina
Ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia.
Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Tanah Air ini.
Dengarkanlah ini Militan Abu Sayyaf.
Ini jawaban kita.
Ini jawaban rakyat Indonesia.
Ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian.

Hai Militan Abu Sayyaf!
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu.
Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.
Kau menyuruh kita membawa Duit 15 Milyar untuk diserahkan kepadamu
Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga

Saudara-saudara rakyat Indonesia, siaplah keadaan genting!
Tetapi saya peringatkan sekali lagi.
Jangan mulai menembak,
Baru kalau kita ditembak,
Maka kita akan ganti menyerang mereka itu, kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar bangsa yang kuat.
Dan untuk kita saudara-saudara.
Lebih baik kita hancur lebur daripada menyerahkan duit 15 Milyar.
Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara.
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita,
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.
Percayalah saudara-saudara.
Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!

Oleh : Amirudin Faisal
Profile : https://www.facebook.com/amirudin.faisal.3/posts/134033626995949
Admin Sahabat Gus Dur

Sabtu, 09 April 2016

SATU WASIAT GUS DUR (Oleh : Shuniyya Ruhama)

SATU WASIAT GUS DUR
SEDERHANA : MARI KITA GENAPI

Dalam sebuah muwajahah di Jakarta tahun 2006 dengan Mbah Wali Gus Dur, beliau pernah bertitah:
“ Nabi Muhammad itu tidak dikenang karena mempengnya (semangatnya) beliau beribadah. Nabi Muhammad itu tidak dikagumi karena kealimannya. Beliau ada di hati setiap kaum muslimin karena akhlak dan sikap welas asihnya. Ini yang bikin saya “iri” dengan Kanjeng Nabi. Mau gak ya kelak ketika saya sudah meninggal, kaum Muslimin berkirim fatihah kepada saya, walau hanya sekali saja?”
Kami pun tertunduk menahan haru yang luar biasa. Sesederhana ini harapan beliau. Mari kita kirimkan fatihah kepada beliau sebagai bukti kita mencintai dan mengenang beliau, sebab semua orang kelak akan dikumpulkan beserta orang-orang yang mereka cintai...
Ila ruhi Simbah Wali Kyai Haji Abdurrahman Wahid Al Marhum Wal Maghfurlah wa zawjatihi wa dzurriyahitihi wa furu’ihi wa silsilatihi wa muridihi wa muhibbihi ya Allah... wa muhibbihi ya Allah ... wa muhibbihi ya Allah... syaiun lillahu lana wa lahum Al Fatihah...

Kendal 10 Desember 2015
Shuniyya Ruhama H
https://www.facebook.com/shuniyya.ruhama
Pengajar PPTQ Al Istiqomah-Weleri
NB: Mari kita sebarkan kabar ini kepada pacinta Mbah Wali Gus Dur di seluruh penjuru dunia, kita genapi cita-cita beliau. Kita buktikan cinta kita kepada beliau dengan berkirim bacaan Surat Fatihah kepada beliau. Semoga kelak kita dikumpulkan beserta orang yang kita cintai... ameen yra

Belajar Kerendahan Hati (Oleh Shunniya Ruhama)

Rois Am Jabatan tertinggi di NU yang merupakan Ormas Islam terbesar tapi selalu tidak ada yang menginginkannya ....
Shuniyya Ruhama with M Arrasyid Alcrengsengi and 52 others.
Dalam tubuh Nahdlatul ‘Ulama, kepemimpinan tertinggi diduduki oleh seorang Rois Am. Namun, jangan disangka jabatan ini sebagai jabatan prestisius yang akan diperebutkan oleh orang yang mendudukinya. Fakta sejarah telah berbicara, posisi Rois Am diterima tidak dengan riang gembira, melainkan dengan kesedihan dan deraian air mata.
Tercatat, Syaikhona Mbah Bisyri Syansuri RA, selaku Rois Am wafat pada tahun 1980 padahal amanah yang beliau emban belumlah selesai masanya. Maka digelarlah Munas Alim-Ulama 1981 di Kaliurang, Jogja. Dan hasilnya: tidak ada seorang Kyai-pun berani menggantikan beliau sebagai Rais Am.
Adalah Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo yang pertama dipandang paling layak untuk menduduki posisi Rois Am selanjutnya. Namun, beliau menolak sejadi-jadinya. Bahkan beliau sangat tegas menyatakan penolakannya. Kalimat terkenal yang beliau ucapkan ’’Walaupun Malaikat Jibril turun sendiri dan menyuruh saya jadi Rais Am, saya tidak akan mau!’’
Maka, para Kyai saat itu segera mengalihkan perhatiannya kepada sosok tokoh mumpuni yang luar biasa yaitu, Kyai Mahrus Ali Lirboyo Kediri. Bukan persetujuan yang didapat melainkan penolakan yang lebih keras lagi dari beliau. ’’Jangankan Malaikat Jibril, Malaikat Izrail sekalipun yang turun menodong saya jadi Rais Am, saya tidak akan mau!’’
Kebingungan melanda para Kyai, hingga akhirnya diputuskan secara aklamasi untuk mengangkat Kyai Ali Ma’shum Krapyak Jogja yang waktu itu tidak hadir dalam pertemuan ini sehingga tidak bisa menolak.
Lalu para Kyai mengutus Gus Mus Rembang (KH Musthofa Bisri) ke Krapyak untuk menyampaikan kesepakatan itu dan membujuk gurunya agar bersedia menerima. Penolakan juga dilakukan oleh Kyai Ali Ma’shum. Bahkan beliau tidak mau keluar kamar dan menangis seharian. Dengan sabar, Gus Mus membujuk hingga akhirnya, Syaikhona Mbah Kyai Ali Ma’shum dengan deraian air mata menyatakan kesanggupannya. “ Rois Am bukanlah jabatan yang saya kehendaki. Namun, jika saya lari dari tanggungjawab ini, saya khawatir jika mendapat dosa besar”.
Kisah amazing ini, kini terulang dengan situasi yang berbeda. Saat Syaikhona Mbah Maimun Zubair menolak amanah sebagai Rois Am atas putusan Ahlul Halli Wal Aqdi, beliau meminta agar Syaikhona Mbah Mustofa Bisri untuk menjadi Rois Am. Dan ternyata, beliau dengan sangat santun menolak amanah ini.
Teladan yang luar biasa... sungguh luar biasa...
I love u Mbah Kyai...
Shuniyya Ruhama H
6 Agustus 2015