POLITIK KAUM SARUNGAN
------------------------------------
Oleh : Amirudin Faisal (Admin Grup Sahabat Gus Dur)
------------------------------------
Oleh : Amirudin Faisal (Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Secara historis,kelahiran NU dibidani Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari dan ulama ulama terkemuka lainnya,seperti KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri dan para ulama pesantren lainnya pada tanggal 31 januari 1926 (16 Rajab 1344 H) di Surabaya. NU lahir sebagai bentuk protes keras terhadap raja Saudi Arabia yang memaksakan penerapan faham wahabi sebagai satu satunya madzhab keagamaan islam dinegara negara muslim termasuk nusantara.
Meminjam kerangka teori Elnerest Gellner, NU berdiri untuk membela praktek praktek keagamaan islam yang cenderung dekat dengan budaya local islam nusantara.
Dalam kitab Qanun Asasi Li Jam'iati Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy'ari memperhatikan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid'ah (Heterodoksi) dengan berkedok dan jargon "kembali kepada alqur'an dan Sunah". padahal,gerakan baru inilah yang sebenarnya memproduksi bid'ah.
Dalam kitab Qanun Asasi Li Jam'iati Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asy'ari memperhatikan adanya gerakan keagamaan baru yang menyerukan pemberantasan bid'ah (Heterodoksi) dengan berkedok dan jargon "kembali kepada alqur'an dan Sunah". padahal,gerakan baru inilah yang sebenarnya memproduksi bid'ah.
Pernyataan KH. Hasyim Asy'ari ini bisa dianggap merespon situasi internasional tentang maraknya gerakan wahabisme di timur tengah dan di tingkat nasional sendiri menghadapi maraknya gerakan pembaharuan (puritanisme) islam.
Dari sinilah bisa kita simpulkan,pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan,tetapi politik keagamaan, kerakyatan. Maka bagi umat islam indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktek dan pemikiran keagamannya dekat dengan tradisi lokalnya, Kehadiran NU dinilai sangat memberikan perlindungan. Bila ini disebut tindakan politik kerakyatan - dalam pengertian luas - maka politik jenis inilah yang patut disebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena pada saat itu (1926) diskursus tentang negara belum ada.
Seiring kompleksitas perkembangan politik di indonesia,perjalanan politik NU juga berkembang. NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan ( kebangsaan ), terutama menjelang pasca kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh gerakan nasionalisme dibeberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Kontribusi Politik kebangsaan NU yang paling jelas adalah dukungan KH. Wahid Hasyim ayahanda Almarhum Gus Dur, yang mewakili NU pada PPKI, untui tidak mencantumkan piagam jakarta didalam dasar negara kita.
Selain itu selama menjadi organisasi sosial,juga politik keagamaan, NU tidak pernah terlibat kasus kasus pemberontakan islam dan makar terhadap negara. Nu selalu komitmen terhadap negara dan bangsa diletakkan diatas segala galanya,karena NU menyadari, eksistensi negara adalah hal yang sangat utama bagi kehidupan agama dan manusia sesuai dengan garis besar Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dua model politik NU tersebut -kerakyatan dan kenegaraan(kebangsaan) merupakan pengalaman paling ideal dalam sejarah NU.
Mengapa ? Dua model ini menjadikan NU sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum (maslahah 'ammah). Namun, NU ternyata tidak mampu mempertahankan dua model politik ini karena godaan politik kekuasaan,baik dari NU sendiri maupun dari luar NU.
Keterlibatan NU dengan politik kekuasaan adalah dukungan organisasi ini terhadap pendirian Masyumi.ketika menjadi organisasi penyangga masyumi, tokoh tokoh NU terlibat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai (eksekutif). Politik kekuasaan masa ini diakhiri dengan perpecahan. Keterlibatan paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca pecah dari Masyumi.
Mengapa ? Dua model ini menjadikan NU sebagai organisasi keagamaan yang berorientasi pada kebaikan dan kepentingan umum (maslahah 'ammah). Namun, NU ternyata tidak mampu mempertahankan dua model politik ini karena godaan politik kekuasaan,baik dari NU sendiri maupun dari luar NU.
Keterlibatan NU dengan politik kekuasaan adalah dukungan organisasi ini terhadap pendirian Masyumi.ketika menjadi organisasi penyangga masyumi, tokoh tokoh NU terlibat perebutan kekuasaan baik untuk jabatan dalam tubuh partai (eksekutif). Politik kekuasaan masa ini diakhiri dengan perpecahan. Keterlibatan paling pekat dengan politik kekuasaan saat NU berdiri sebagai partai politik (1952) pasca pecah dari Masyumi.
Menurut greg Fealy, tujuan politik NU pada saat menjadi parpol adalah
1. Penyaluran dana pemerintah terhadap NU
2. mendapat peluang bisnis,dan
3. Menduduki jabatan birokrasi
Lihat (Greg Fealy, ijtihad politik ulama sejarah NU 1952-1967, LKIS : Yogyakarta, 2003).
2. mendapat peluang bisnis,dan
3. Menduduki jabatan birokrasi
Lihat (Greg Fealy, ijtihad politik ulama sejarah NU 1952-1967, LKIS : Yogyakarta, 2003).
Dengan tiga tujuan politik seperti itu, tampaknya justru menyebabkan NU terjerembab dalam kubangan dan orientasi politik materialistis,lalai pada politik kerakyatan. Bahkan pada periode saat iti NU dituduh sebagai oportunis dan akomodasionis. Inilah perode terburuk sejarah NU
Karena ketika menjadi parpol, NU tidak menunjukkan prestasi gemilang bahkan, maaf bisa dikatakan gagal.
Karena ketika menjadi parpol, NU tidak menunjukkan prestasi gemilang bahkan, maaf bisa dikatakan gagal.
Kegagalan itu tidak segera disadari sehingga saat pak harto menerapkan kebijakan fusi bagi partai partai politik indonesia, NU tidak memanfaatkan momentum ini kembalu kejalan politik NU sesuai khittah 1926. Bahkan NU retap menjadi penduduk PPP difaris depan.dukungan terhadap PPP menunjukkan orientasi politik kekuasaan masih menjadi prioritas utama. Dan apa yang terjadi selama bergabung dengan PPP , pengulangan sejarah saat NU bergabung dengan masyumi.merasa dicurangi dan dikebiri,Nu memutuskan untuk kembali ke model Nu tahun 1926, Nu yang berorientasi pada jamaah dan jam'iyyah.
Namun, keputusan kembali pada khittah 1926 ternyata tidak membuat NU benar benar kembali kepada politik kerakyatan dan kebangsaan .
Meski dalam kadar yang berbeda, namun dari titik inilah muncul dua peristiwa politik yang berorientasi kekuasaan pasca - khittah 1926 dalam tubuh Nu.
Pertama, kesediaan Gus Dur menjadi calon presiden RI pada pada pemilu 1999,
Kedua pencalonan Hasyim muzadi oleh PDI-P untuk wakil presiden dalam pemilu presiden 2004.
Meski dalam kadar yang berbeda, namun dari titik inilah muncul dua peristiwa politik yang berorientasi kekuasaan pasca - khittah 1926 dalam tubuh Nu.
Pertama, kesediaan Gus Dur menjadi calon presiden RI pada pada pemilu 1999,
Kedua pencalonan Hasyim muzadi oleh PDI-P untuk wakil presiden dalam pemilu presiden 2004.
Berdasarkan pengalaman itu, NU sebenarnya memiliki pengalaman amat kaya akan keterlibatannya dalam tiga medan politik ( majal as-siyasi)- kerakyatan, kebangsaan,dan kekuasaan.
Namun dari ketiga politik tersebut,yang membuat Nu menjadi tercerai berai dan penuh nuansa konflik adalah jenis politik kekuasaan.
Semula diharapkan ,dengan politik kekuasaan, dua kepentingan politik -kerakyatan dan kebangsaan- bisa diperjuangkan, tetapi justru dua politik itu menjadi korban orientasi menuju politik kekuasaan.
Semula diharapkan ,dengan politik kekuasaan, dua kepentingan politik -kerakyatan dan kebangsaan- bisa diperjuangkan, tetapi justru dua politik itu menjadi korban orientasi menuju politik kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar