Jumat, 25 Maret 2016

ISLAM NUSANTARA (KH Maimun Zubaer)

Oleh : Ulama Sepuh NU, KH Maimun Zubaer
Setahun belakangan, terutama menjelang, selama, dan setelah muktamar Nahdlatul Ulama (NU) 2015 di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, mengemuka wacana dan perdebatan tentang Islam Nusantara. Sebenarnya, bagaimana konsep Islam Nusantara itu? Apakah nilai yang tertanam dalam Islam Nusantara melenceng dari semestinya? Ataukah, justru Islam Nusantara cocok untuk kondisi keberagaman bangsa Indonesia. Berikut perbincangan ulama sepuh NU, pengasuh Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, KH Maimun Zubaer, yang akrab disapa Mbah Mun.

Mbah Mun, siapa yang kali pertama melontarkan istilah Islam Nusantara?
Pencetus Islam Nusantara ya banyak ulama. Dari kalangan NU ada, dari luar NU juga ada. Ramai orang yang mencetuskan konsep Islam Nusantara. Terbanyak memang dari kalangan NU. Orang NU kan memang memiliki cita-cita Islam Nusantara.

Apa tanggapan Mbah Mun soal Islam Nusantara?
Saya merasa cocok. Islam Nusantara mencakup umat Islam di mana-mana. Nusantara berarti umat Islam ada di mana - mana. Umat Islam yang berasal dari partai mana pun. Itu, misalnya.

Apa yang menjadi dasar pemikiran dalam kemunculan istilah Islam Nusantara?
Ya itu tadi, konsep dasar Islam Nusantara sama dengan NU yang ada di mana-mana. Namun NU tidak kemana-mana. Yang terpenting adalah NU. Intinya, Islam Nusantara itu Islam yang berbau bangsa kita sendiri, Indonesia. Dulu, baca bacaan barzanji memang ada yang pakai nada pangkur, dandanggula, dan sinom. Sesuai dengan (budaya) Nusantara, la itu boleh.


Jika begitu, apa sebenarnya yang disebut Islam Nusantara?
Islam Nusantara itu tafsir ulama Nusantara. Ya tadi, Islam yang berasal dari mana-mana. Kalau umat Islam yang macammacam itu menjadi satu, maka akan menjadi kuat Islam Indonesia. Itu yang bernama Islam Nusantara. Islam yang tidak fanatik terhadap kelompok-kelompok tertentu. Jika kondisinya sudah begitu, insya Allah Indonesia akan menjadi negara yang makmur.
Islam Nusantara itu tafsir ulama Nusantara. Jadi sekarang Nusantara, berdasar tafsir saya, jangan NU dimiliki oleh satu partai. Rukun dan umat Islam ada di mana-mana. Yang ada di PDIP, Golkar, Demokrat, semua ada umat Islam. Kalau sudah umat Islam yag macammacam itu menjadi satu, kuatlah Islam Indonesia. Itu Islam Nusantara.

Ulama jangan dipengaruhi oleh partai tertentu. Itu menyempitkan Islam. Insya Allah jika NU sebagai apa yang saya maksud sebagai Nusantara itu berarti tidak fanatik pada partai atau kelompok tertentu. Insya Allah, Indonesia makmur.

Bagaimana praktik penghayatan atas Islam Nusantara?
Jangan fanatik terhadap segala sesuatu. Hormati orang lain. Ulama jangan sampai dipengaruhi kepentingan kelompok, misalnya partai tertentu.
Karena hal itu justru akan menyempitkan Islam. NU sebagai pengayom Nusantara berarti tidak fanatik terhadap kelompok tertentu. Jika sudah begitu, insya Allah semuanya akan menjadi baik.
Mengapa selama ini muncul tanggapan sebegitu “heboh” tentang Islam Nusantara?
Ya, maklum saja masih ada kelompok-kelompok yang fanatik dan berjalan sendirisendiri. Kiai saja banyak yang fanatik kok.

Bagaimana seyogianya menyikapi atau menghayati praktik keberagaman ala Islam Nusantara?
Memang untuk menghayati Islam Nusantara butuh waktu lama. Namun itu harus. Karena itu, NU harus merekrut orang yang ada di mana-mana.


Apa nilai-nilai yang dikedepankan Islam Nusantara?
Ya dalam menghadapi keberagaman, Islam Nusantara cocok. Semua Islam yang macam-macam itu harus disatukan. Nabinya saja satu. Jangan ada yang menjeleknjelekkan Islam. Juga jangan ada yang menjelek-njelekkan kelompok tertentu. Ajari saja mereka dengan ahlussunah wal jama’ah. Kita satukan Islam.
Sumber: Suara Merdeka, Minggu 13 September 2015




Dikisahkan kembali oleh : Dheni Andhadini
FB :https://www.facebook.com/groups/1610216669215200/permalink/1743707349199464/
Anggota Grup Sahabat Gus Dur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar