Ada fenomena menarik dalam memperingati hari santri 22 oktober kemaren, yaitu kemampuan kaum santri menjadi salah satu garda terdepan dalam mengawal dan menggerakkan langkah maju bangsa ini. Kaum “sarungan” yang umumnya berbasis pesantren tradisional di lingkungan massa ala nahdliyin ini, terutama generasi mudanya, sangat aktif dalam wacana dan gerakan demokratisasi, penegakkan hak asasi manusia, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam beberapa situasi genting, seperti reformasi 1998 dan kisruh menjelang Pilkada DKI yang lalu, justru kaum santri yang muncul sebagai pihak yang aktif meredam gejolak sosial politik yang sudah mengkhawatirkan dan di ambang perpecahan. Demikian juga di tengah maraknya aksi kekerasan, ujaran kebencian, pemaksaan pendapat dan intoleransi, maka kaum santri pula yang paling nyaring dalam menentangnya. Ketika arus demokratisasi dan tuntutan kebebasan bermunculan, maka muslim santri ini yang menjadi elemen anak bangsa terdepan dalam merespon, manyambut dan memperjuangkannya.
Sementara kelompok-kelompok lain masih berkutat dalam pencarian dan perdebatan tentang dasar dan bentuk negara, maka kaum santri yang nasionalis sudah sepakat menjadikan Pancasila dan NKRI sebagai dasar negara dan bentuk negara. Kesepakatan ini tidak bisa diganggu gugat lagi karena mereka yakin Pancasila dan NKRI lah sebagai dasar dan bentuk negara yang dapat menyatukan bangsa yang sangat beragam ini. Di mata kaum santri, mencintai serta mempertahankan NKRI bukan hanya persoalan politik duniawi tetapi juga bagian dari wujud keimanan. Oleh karena itu tidak aneh jika kaum santri sangat anti kolonialisme dan dan sangat loyal pada NKRI.
Demikian pula saat yang lain gagap dan kaget dengan issu-issu kemoderenan, maka kaum santri sudah terbiasa dengan wacana dan gerakan pemberdayaan perempuan dan kaum marjinal, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, egaliterianisme, penguatan civil society, hak asasi, kearifan lokal, toleransi antar umat beragama, penerimaan kebinekaan dan negara kebangsaan berdasarkan Pancasila.
Santri dan Kitab Kuning
Pertanyaannya mengapa kaum santri yang secara kultural dianggap tidak moderen ini, tradisi sarungan contohnya, mampu menjadi salah satu penentu perjalanan bangsa. Kenapa kaum santri tidak gagap dan kaget dengan ide-ide modernitas, bahkan mereka tampil jadi pegiat demokrasi, toleransi, dan kebangsaan, padahal tadinya mereka biasa terdidik dalam suasana desa yang tradisional.
Lompatan dari tradisionalisme menjadi post tradisionalisme ini – meminjam konsep Rumadi (2008) – memang tidak dapat dilepaskan dari sosok Gus Dur yang dapat mengembalikan NU dari politik praktis menjadi organisasi sosial kemasyarakatan. Gus Dur pula yang telah membina kader-kader muda nahdliyin dengan wacana intelektual progresif dan gerakan kemasyarakatan.
Namun ada sisi lain yang patut diperhitungkan sebagai penentu kemampuan kaum santri dalam ikut menentukan arah gerak pembangunan bangsa ini yaitu tradisi pesantren, dan salah satu tradisi yang membentuk jiwa dan karakter santri di pesantren adalah kajian kitab kuning.
Kitab kuning, atau kitab gundul, adalah satu rukun dari tiga rukun pesantren, setelah kiyai dan pondoknya. Kitab kuning yang biasanya diajarkan di pondok-pondok pesantren kaum nahdliyin ini umumnya ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Kitab-kitab ini merupakan literatur keislaman klasik yang menjadi sumber penting dan rujukan otoritatif dalam kajian keislaman para santri di pondok pesantren sampai saat ini. Literatur klasik berbahasa Arab tanpa harakat atau baris ini sangat kaya dengan wawasan kajian keislaman, metodologi pemikiran, pendapat ahli hukum dalam berbagai bidang, pandangan para teolog tentang berbagai keyakinan, ajaran-ajaran kaum sufi yang sarat dengan nilai kesucian, dan sebagainya. Oleh karena itu kajian dan upaya pemahaman ajaran Islam yang mendalam tidak bisa dipisahkan dari literatur-literatur keislaman klasik tersebut.
Dalam prosesnya, ajaran-ajaran kitab kuning yang diajarkan di pesantren atau madrasah inilah yang membentuk jiwa santri menjadi pribadi-pribadi unggul dengan karakter mulia, seperti ikhlas, bersyukur, ulet (sabar), mencari nilai ibadah dan mengejar barokah, hormat pada guru dan senior, hidup sosial dalam kebersamaan, menjaga kebersihan lahiriah dan batiniah (wara’), menanamkan sifat rendah hati (tawadu’) toleran (tasamuh) dan menghargai perbedaan (khilafiyah).
Para ulama besar masa lalu telah mengajarkan dalam berbagai kitab karya mereka akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, baik nilai akademis maupun praktis. Di samping mengemukakan pendapat pribadi (fatwa) ketika membahas suatu masalah hukum, misalnya, sangat sering ulama klasik juga menyebutkan pendapat ulama lain di era sebelumnya atau yang sezaman dengannya. Pengutipan (nukilan) pendapat satu atau beberapa ulama ini selalu diikuti dengan penyebutan judul kitab yang dikutip. Ini menunjukkan sejak dahulu para ulama sangat menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, kejujuran ilmiah dan pengakuan hak kekayaan intelektual orang lain serta mencela plagiarisme dan pemalsuan. Inilah nilai-nilai yang mulai tergerus dan menjadi keprihatinan dalam upaya pengembangan perguruan tinggi moderen di Indonesia saat ini.
Toleransi dan demokrasi
Dalam kitab kuning tingkat menengah dan tinggi, khususnya di bidang hukum atau fikih, selalu diuraikan perbedaan pendapat secara tajam dan mendalam antara dua atau beberapa pihak yang berbeda, namun berbagai pendapat yang bertentangan tetap dipaparkan secara adil dan proporsional. Pihak pro dan kontra diberi ruang pembahasan secara seimbang.
Para ulama klasik, imam Nawawi misalnya dalam karyanya Minhajut Talibin (vol. 1 – 4) sering memilih satu pendapat yang dinilainya paling kuat (rajih/arjah) tetapi pendapat yang berseberangan tetap dipaparkan walau mungkin dinilai lebih lemah (marjuh). Dengan paparan yang rinci, terbuka dan adil tersebut maka ulama penulis kitab kuning telah membuka ruang kebebasan pada pembacanya untuk menganalisis dan memilih sendiri mana pendapat yang terbaik, terkuat dan paling maslahat menurutnya. Nilai-nilai demokratis inilah yang juga membentuk jiwa santri saat di pesantren maupun di tengah masyarakat sehingga siap menerima berbagai perubahan.
Tidak berhenti pada adil dan seimbang saja, para ulama penulis kitab kuning juga tetap bersikap obyektif dan rendah hati dalam menyimpulkan atau menilai status hukum suatu persoalan. Walaupun suatu kesimpulan sudah dibuat secara benar atau hukum suatu kasus telah diputuskan secara tepat tetapi ulama fikih selalu mengingatkan bahwa kebenaran yang dibuat itu adalah tetap relatif (nisbi) dan bukan kebenaran absolut (mutlak). Di dalamnya tetap ada kemungkinan benar atau salah sehingga tetap ada ruang dialog untuk menerima atau menolak. Oleh karena itu pula maka kesimpulan yang dibuat tidak diklaim oleh mereka sebagai kebenaran universal yang pasti, melainkan kebenaran sebatas dalam pendapat mereka atau satu kelompok saja.
Adanya statemen al-ashahhu ‘indana (yang lebih benar menurut pendapat kami) atau wallahu a’lam bisshawab (dan Allah yang paling mengetahui) saat menutup suatu pembahasan, jelas membuktikan para ulama berusaha obyektif dan selalu merendah dengan tidak mengklaim pendapat dan pemahamannya sebagai satu-satunya kebenaran. Para ulama yang alim ini seolah ingin memberi pelajaran agar kita tidak egois memonopoli kebenaran sehingga tidak pantas memvonis pendapat-pendapat lainnya yang berbeda sebagai salah apalagi sesat. Kaum ulama intelektual ini ingin menekankan bahwa ajaran yang mereka rumuskan hanyalah hasil ijtihad penafsiran manusia yang kebenarannya relatif sedangkan kebenaran yang hakiki hanya dari Allah swt.
Nilai-nilai kesantunan, terbuka, dan rendah hati inilah yang membentuk jiwa kaum santri sehingga menjadi figur-figur yang toleran dan demokratis. Nilai-nilai inilah yang sangat penting dikembangkan untuk membangun keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini
Nadhatul Ulama dan NKRI
Minggu, 05 November 2017
Tekstual dan Kontekstual (Oleh : Amiruddin Faisal)
Seorang santri sarjana, menyampaikan pandangan bahwa kaum muslimin pecah (terbagi) dalam dua aliran penafsiran : tekstual dan kontekstual. Keduanya sering tak menemukan titik temu, bahkan acap bermusuhan, seraya masing-masing mengklaim kebenarannya sendiri-sendiri.
Sesudah bicara sedikit panjang dan bertanya atau konfirmasi : “bagaimana itu ustaz”?. Aku bilang: Cara pandang atau pendekatan tekstual dan kontekstual selalu ada pada setiap zaman dan di manapun. Pada masa Nabi Muhammad masih ada, itu juga sering terjadi. Salah satunya adalah dalam kasus Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah.
Ceritanya begini :
Usai perang Khandaq atau Ahzab, Nabi mengumpulkan para sahabatnya. Kepada mereka beliau mengatakan :
لا يصلين احدكم العصر الا فى بنى قريظة
“Jangan lah kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Mereka sangat paham kata-kata Nabi itu, karena dinyatakan dengan bahasa yang jelas dan tegas. Bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Maka merekapun segera berangkat ke arah perkampungan itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit. “Mega merah saga menjelang datang. Bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi, Mega merah saga, pasti merebak, menghiasi langit. Ini berarti waktu shalat Maghrib sudah masuk.
Waktu shalat Ashar telah habis.
Mereka bingung, gaduh dan berdebat : “Kita harus shalat Ashar di mana?. Di Bani Quraizhah atau di perjalanan?”. Ini temanya. Masing-masing lalu merenung : “Jika ikut perintah Nabi berarti harus di Bani Quraizhah. Tetapi akibatnya waktunya sdh habis, lewat. Jika “shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yg sangat jelas itu.
Lalu apa yang terjadi?. Ada sahabat yg shalat di perjalanan, dan ada yg di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan pendekatan/pemahaman masing-masing.
Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau. Siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah kepada siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan utk itu semua kalian mendapat pahala”.
Oh. Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw.
وفي شرح النووى لصحيح مسلم : فأخذ بعض الصحابة بهذا المفهوم نظراً إلى المعنى لا إلى اللفظ، فصلوا حين خافوا فوت الوقت، وأخذ آخرون بظاهر اللفظ وحقيقته فأخروها. ولم يعنف النبي صلى الله عليه وسلم واحداً من الفريقين لأنهم مجتهدون. ففيه دلالة لمن يقول بالمفهوم والقياس ومراعاة المعنى ولمن يقول بالظاهر أيضاً، وفيه أنه لا يعنف المجتهد فيما فعله باجتهاده إذا بذل وسعه في الاجتهاد، وقد يستدل به على أن كل مجتهد مصيب. انتهى.
Sesudah bicara sedikit panjang dan bertanya atau konfirmasi : “bagaimana itu ustaz”?. Aku bilang: Cara pandang atau pendekatan tekstual dan kontekstual selalu ada pada setiap zaman dan di manapun. Pada masa Nabi Muhammad masih ada, itu juga sering terjadi. Salah satunya adalah dalam kasus Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah.
Ceritanya begini :
Usai perang Khandaq atau Ahzab, Nabi mengumpulkan para sahabatnya. Kepada mereka beliau mengatakan :
لا يصلين احدكم العصر الا فى بنى قريظة
“Jangan lah kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Mereka sangat paham kata-kata Nabi itu, karena dinyatakan dengan bahasa yang jelas dan tegas. Bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Maka merekapun segera berangkat ke arah perkampungan itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit. “Mega merah saga menjelang datang. Bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi, Mega merah saga, pasti merebak, menghiasi langit. Ini berarti waktu shalat Maghrib sudah masuk.
Waktu shalat Ashar telah habis.
Mereka bingung, gaduh dan berdebat : “Kita harus shalat Ashar di mana?. Di Bani Quraizhah atau di perjalanan?”. Ini temanya. Masing-masing lalu merenung : “Jika ikut perintah Nabi berarti harus di Bani Quraizhah. Tetapi akibatnya waktunya sdh habis, lewat. Jika “shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yg sangat jelas itu.
Lalu apa yang terjadi?. Ada sahabat yg shalat di perjalanan, dan ada yg di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan pendekatan/pemahaman masing-masing.
Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau. Siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah kepada siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan utk itu semua kalian mendapat pahala”.
Oh. Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw.
وفي شرح النووى لصحيح مسلم : فأخذ بعض الصحابة بهذا المفهوم نظراً إلى المعنى لا إلى اللفظ، فصلوا حين خافوا فوت الوقت، وأخذ آخرون بظاهر اللفظ وحقيقته فأخروها. ولم يعنف النبي صلى الله عليه وسلم واحداً من الفريقين لأنهم مجتهدون. ففيه دلالة لمن يقول بالمفهوم والقياس ومراعاة المعنى ولمن يقول بالظاهر أيضاً، وفيه أنه لا يعنف المجتهد فيما فعله باجتهاده إذا بذل وسعه في الاجتهاد، وقد يستدل به على أن كل مجتهد مصيب. انتهى.
Dakwah Positif atau Negatif? (Oleh : Abad Badruzaman)
Nggak "sah" hukumnya jadi orang Jawa Timur kalo nggak tau Anwar Zahid, penceramah kondang nan kocak. Konon, kalo mau mendatangkan penceramah satu ini harus indent sekurangnya tiga bulan sebelumnya. Kebayang panjangnya antrian pemohon dan padatnya jadwal "manggung" Sang Penceramah.
Dulu saya agak kurang suka dengan model ceramah Anwar Zahid. Kurang suka bukan berarti benci lho ya. Buat apa pula benci pada sesama Muslim, terlebih beliau seorang penceramah agama. Saya dulu kurang suka dengan khas ceramahnya yang terlalu banyak porsi ngebanyolnya. Misalnya beliau ceramah sejam, mungkin separo lebih isinya lawakan belaka. Lawakannya benar-benar lucu. Bukan seperti lawakan pelawak tanggung yang sering membuat kita ketawa bukan karena lucu tapi justru karena gak lucunya.
Tapi belakangan sikap saya berubah. Meski tidak sampe menggilainya, setidaknya saya sekarang manaruh hormat lebih banyak pada beliaunya. Perubahan itu terjadi lantaran belakangan juga kita sering dipertontonkan dengan pengajian nihil kelucuan atau banyolan. Yakni pengajian yang isinya susut-sesat, budnguh-bidngah, kopar-kapir.
Belakangan kita juga kerap disuguhi pengajian sarat kebencian: negara dibenci dan dithogutkan, Pancasila dibenci dan dicibir habis-habisan, burung garuda dibenci dan berhalakan, kebhinekaan alih-alih dirayakan malah dibenci dan diancam dihanguskan.
Ngeliat dan merasakan itu, ceramah Anwar Zahid selain memang lucu dan menyenangkan, kini juga terasa menenangkan. Di majlisnya terlihat kegembiraan, canda tawa, dan yang penting gak pernah Sang Penceramah menjelek-jelekkan orang.
Mungkin ada yang keberatan ceramah Anwar Zahid disebut pengajian. Baiklah! Setidaknya kita lebih beruntung mendapat banyolan berselipkan pesan-pesan keagamaan, tenimbang mendapatkan ceramah dengan nada keras berbumbukan kebencian dan memantik permusuhan.
"Tapi Bah, dalam pengajian Anwar Zahid gak ada tuh kedalaman dan ketertataan logis antar sub-topik yang disampaikan."
"Bahasamu, Le kedhuwuren. Wong namanya pengajian yang gitu itu. Kalo kamu mau kedalaman dan ketuntasan datangnya ya ke pengkajian, bukan pengajian."
"Nah itu Bah, di mana Tole bisa ikut kajian-kajian?"
"Huh...kamu tu yah! Tau Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung gak sih?"
Dulu saya agak kurang suka dengan model ceramah Anwar Zahid. Kurang suka bukan berarti benci lho ya. Buat apa pula benci pada sesama Muslim, terlebih beliau seorang penceramah agama. Saya dulu kurang suka dengan khas ceramahnya yang terlalu banyak porsi ngebanyolnya. Misalnya beliau ceramah sejam, mungkin separo lebih isinya lawakan belaka. Lawakannya benar-benar lucu. Bukan seperti lawakan pelawak tanggung yang sering membuat kita ketawa bukan karena lucu tapi justru karena gak lucunya.
Tapi belakangan sikap saya berubah. Meski tidak sampe menggilainya, setidaknya saya sekarang manaruh hormat lebih banyak pada beliaunya. Perubahan itu terjadi lantaran belakangan juga kita sering dipertontonkan dengan pengajian nihil kelucuan atau banyolan. Yakni pengajian yang isinya susut-sesat, budnguh-bidngah, kopar-kapir.
Belakangan kita juga kerap disuguhi pengajian sarat kebencian: negara dibenci dan dithogutkan, Pancasila dibenci dan dicibir habis-habisan, burung garuda dibenci dan berhalakan, kebhinekaan alih-alih dirayakan malah dibenci dan diancam dihanguskan.
Ngeliat dan merasakan itu, ceramah Anwar Zahid selain memang lucu dan menyenangkan, kini juga terasa menenangkan. Di majlisnya terlihat kegembiraan, canda tawa, dan yang penting gak pernah Sang Penceramah menjelek-jelekkan orang.
Mungkin ada yang keberatan ceramah Anwar Zahid disebut pengajian. Baiklah! Setidaknya kita lebih beruntung mendapat banyolan berselipkan pesan-pesan keagamaan, tenimbang mendapatkan ceramah dengan nada keras berbumbukan kebencian dan memantik permusuhan.
"Tapi Bah, dalam pengajian Anwar Zahid gak ada tuh kedalaman dan ketertataan logis antar sub-topik yang disampaikan."
"Bahasamu, Le kedhuwuren. Wong namanya pengajian yang gitu itu. Kalo kamu mau kedalaman dan ketuntasan datangnya ya ke pengkajian, bukan pengajian."
"Nah itu Bah, di mana Tole bisa ikut kajian-kajian?"
"Huh...kamu tu yah! Tau Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung gak sih?"
Santri ( Oleh : Amiruddin Faisal)
Bagi saya, santri adalah idiom yang saya syukuri sekaligus membebani. Kisah konyol nan lucu, dusel-duselan ketika mau tidur, berebut bantal dalam satu kasur, perang canda dalam satu selimut dan masih banyak lagi kisah yang saya syukuri takdirnya. Meski kadang kesedihan dan kisah nelangsa juga ikut menyertai.
Namun, beban juga tentu ada. Apa beban santri? Ya, mengamalkan. Apakah mudah? Tentu susah, karena butuh kematangan ilmu dan tingkah laku sehingga tidak timpang. Kurikulum pesantren yang tidak hanya menuntut kematangan kognitif namun juga afkesi serta perilaku membuat santri lengkap dari segi penempaannya.
Kitab-kitab setiap hari dikaji, kematangan emosi diuji ketika arus hidup bersama teman sebaya. Perilaku dibentuk oleh aturan dan teladan sang kyai. Tentu, kelengkapan pengajaran ini sengaja dibuat agar santri siap mengabdi dan berkontribusi di masyarakat nantinya.
Karena ukuran keberhasilan santri bukan dari nilai rapot kelas diniyah-nya, namun seberapa bermanfaat ia kelak di masyarakat. Banyak di antara manusia-manusia kekinian yang banyak mengetahui tanpa mengamalkan, sehingga kita temui orang-orang yang berbicara baik namun timpang dengan perilaku yang ia tunjukan secara spontan.
Mengapa santri dituntut untuk tidak sekedar mengetahui tapi juga mengamalkan? Karena santri adalah orang yang belajar kitab suci yang juga bertanggung jawab menjaga kesuciannya. Tugas ini memang berat, tugas mengawal cita-cita kenabian yang ingin membuat sebuah peradaban islami yang menjunjung tinggi nilai toleransi, moderasi dan kemanusiaan. Menyampaikan dakwah dengan cara yang lembut dan indah, bukan dengan dakwah ribut dan marah.
Nasihat tentang keharusan mengamalkan bagi mereka yang telah dianugerahi ilmu telah disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah:
“Celakalah bagi orang bodoh yang tak mau belajar tapi seribu kali lebih celaka orang berilmu yang tak mau mengamalkan”.
Belum selesai menulis nasehat Imam Ghozali ini saya teringat nasihat Kyai ku,
“Cobaan orang berilmu adalah bagaimana dia bisa mengamalkan dan cobaan orang bodoh adalah bagaimana ia menghilangkan kemalasannya.”
Santri dididik untuk terus menggerus kemalasan belajarnya sembari terus diguyur dengan nasihat tutur dan laku kyai sebagai teladan. Selain itu, selepas “boyong” dan pulang kampung ia harus mengamalkan. Jadi jangan terjebak dengan hegemoni dan seremoni hari santri tanpa merefleksikan makna santri dan tanggung jawabnya terhadap diri sendiri.
Kaum sarungan hari ini harus berada di garda terdepan untuk menjaga pesan kenabian yang damai dan penuh kasing sayang. Bangsa ini juga membutuhkan santri untuk menjaga keutuhan NKRI dan toleransi antar skat primordial Negara.
Salam 86
Teruslah berkarya Jid
Namun, beban juga tentu ada. Apa beban santri? Ya, mengamalkan. Apakah mudah? Tentu susah, karena butuh kematangan ilmu dan tingkah laku sehingga tidak timpang. Kurikulum pesantren yang tidak hanya menuntut kematangan kognitif namun juga afkesi serta perilaku membuat santri lengkap dari segi penempaannya.
Kitab-kitab setiap hari dikaji, kematangan emosi diuji ketika arus hidup bersama teman sebaya. Perilaku dibentuk oleh aturan dan teladan sang kyai. Tentu, kelengkapan pengajaran ini sengaja dibuat agar santri siap mengabdi dan berkontribusi di masyarakat nantinya.
Karena ukuran keberhasilan santri bukan dari nilai rapot kelas diniyah-nya, namun seberapa bermanfaat ia kelak di masyarakat. Banyak di antara manusia-manusia kekinian yang banyak mengetahui tanpa mengamalkan, sehingga kita temui orang-orang yang berbicara baik namun timpang dengan perilaku yang ia tunjukan secara spontan.
Mengapa santri dituntut untuk tidak sekedar mengetahui tapi juga mengamalkan? Karena santri adalah orang yang belajar kitab suci yang juga bertanggung jawab menjaga kesuciannya. Tugas ini memang berat, tugas mengawal cita-cita kenabian yang ingin membuat sebuah peradaban islami yang menjunjung tinggi nilai toleransi, moderasi dan kemanusiaan. Menyampaikan dakwah dengan cara yang lembut dan indah, bukan dengan dakwah ribut dan marah.
Nasihat tentang keharusan mengamalkan bagi mereka yang telah dianugerahi ilmu telah disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah:
“Celakalah bagi orang bodoh yang tak mau belajar tapi seribu kali lebih celaka orang berilmu yang tak mau mengamalkan”.
Belum selesai menulis nasehat Imam Ghozali ini saya teringat nasihat Kyai ku,
“Cobaan orang berilmu adalah bagaimana dia bisa mengamalkan dan cobaan orang bodoh adalah bagaimana ia menghilangkan kemalasannya.”
Santri dididik untuk terus menggerus kemalasan belajarnya sembari terus diguyur dengan nasihat tutur dan laku kyai sebagai teladan. Selain itu, selepas “boyong” dan pulang kampung ia harus mengamalkan. Jadi jangan terjebak dengan hegemoni dan seremoni hari santri tanpa merefleksikan makna santri dan tanggung jawabnya terhadap diri sendiri.
Kaum sarungan hari ini harus berada di garda terdepan untuk menjaga pesan kenabian yang damai dan penuh kasing sayang. Bangsa ini juga membutuhkan santri untuk menjaga keutuhan NKRI dan toleransi antar skat primordial Negara.
Salam 86
Teruslah berkarya Jid
Sabtu, 16 September 2017
PAHAMI NU SECARA UTUH ( Oleh : Siti Fatimah)
PAHAMI NU SECARA UTUH, AGAR TIDAK MENJADI NAHDLIYIN RASA WAHABI DAN FPI
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan yang sangat unik. Sebagai organisasi yang dimotori oleh kiai-kiai di pesantren, NU ternyata sering kali melahirkan pemikiran yang sangat modern dan sepak terjangnya kerap di luar dugaan. Dalam demo berjilid-jilid terkait tuduhan penistaan agama oleh Ahok misalnya, NU justru menahan diri untuk tidak turut larut dalam gegap gempitanya aksi-aksi yang dilabeli "Bela Islam".
Keunikan yang dimiliki NU dan sepak terjangnya yang sulit diprediksi itu, membuat banyak kalangan gagal memahami NU. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa menjadi bagian dari warga NU, tetapi sesungguhnya ia tidak memahami NU. Sehingga muncul istilah "NU rasa FPI", "NU rasa wahabi" dan sebagainya. Dia merasa sebagai orang NU tapi cara pandangnya seperti FPI, seperti wahabi dan sebagainya.
Bukan cuma itu. Sejumlah kiai dan pesantren tertentu yang aqidah dan amaliahnya sama dengan NU, tapi karena tidak memahami NU, mereka terkesan mengambil jarak dengan NU, malah ada pula yang nyinyir jika bicara soal NU.
Kendati demikian, NU tidak pernah nampak gamang. NU seolah tidak merasa butuh untuk dipahami. NU membiarkan orang untuk mau memahami atau tidak memahaminya. NU tetap konsisten dalam kemandirian berpikir dan bertindak. Sebab bagi NU sendiri sudah jelas peran apa yang harus dilakoni.
Sebagaimana diketahui, NU didirikan oleh para tokoh ulama Ahlussunah wal Jamaah, dan dibentengi oleh para kiai dari pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh Nusantara. Untuk apakah para ulama yang sudah berkiprah di pesantren harus pula membuat organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama?
Dari sini sudah jelas, NU bukanlah semacam majelis taklim atau sejenisnya. Sebab jika semata hanya untuk mengurusi persoalan agama dan internal umat Islam, para kiai sudah melakukannya di pesantren-pesantren. Tapi sejak mulanya, ketika masih berupa embrio bernama Komite Hijaz, NU memang sudah dirancang oleh para kiai untuk dipersembahkan kepada Indonesia dengan kebhinekaannya, dengan kemajemukannya, dengan pluralitasnya.
Kalau boleh meminjam sebuah perumpamaan, maka ibarat restoran pesantren adalah dapurnya, sedangkan NU adalah ruang depan tempat masakan disajikan. Pesantren adalah tempat mempelajari Islam, sedangkan NU berperan untuk menampilkan Islam dalam rule of game yang berlaku di Indonesia yang plural.
Peran NU itulah yang sering disalahpahami oleh orang-orang yang hanya mempelajari Islam, tetapi tidak kemudian belajar bagaimana hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia yang bhineka tunggal ika. Sebab mereka hanya mempelajari Islam untuk ruang internal, Islam yang masih berada di 'dapur restoran'. Mereka belum belajar bagaimana 'menyajikan' Islam dalam ruang kebangsaan.
Maka alangkah mubadzir dan membuang-buang energi saja, jika NU harus melayani kenyinyiran mereka yang gagal paham. Lebih baik bersikap seperti yang dikatakan pepatah: "Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Hiruk Pikuk Membela Tuhan (Oleh : Amiruddin Faisal)
Di tengah hiruk pikuk pertempuran antara agama dengan dalih membela Tuhan !
Aku bertafakur mengadu di pangkuan tuhanku dan bertanya kepada tuhan ku yang Maha Rahman , yang Maha Rahim !
Aku bertafakur mengadu di pangkuan tuhanku dan bertanya kepada tuhan ku yang Maha Rahman , yang Maha Rahim !
Gusti.....Mengapa pesan-MU dalam tekstual kitab agama di jadikan standar rasional manusia utk menindas yang tak se iman, bukankah perbedaan itu adalah rahmatmu wahai tuhanku ? dan tak jarang kulihat haluannya bermuatan politik.
Aku frustasi Gusti......aku melihat mereka yg membela tuhanya dengan menghalalkan darah sesama manusia. Dari situlah timbul ke gelisahan spritual.Naluri rasio yg ingin bebas dari dentuman senjata pun berbisik.
Dapatkah aku menumakan tuhanku tanpa agama ?
Aku mencari referensi di dalam teks agama yg saat itu aku imani ternya yangta.
Aku menemukan sosok nabi ibrahim as yg berusaha mencari tuhannya dan dia dapat menumukan tuhan tanpa ada bantuan teks kitab suci (agama) .Kemudian saat itu juga aku memutuskan untuk mencari tuhan tanpa agama ! Instrumen apa yg aku kendarai untuk mencarimu wahai Tuhanku ?
Aku menemukan sosok nabi ibrahim as yg berusaha mencari tuhannya dan dia dapat menumukan tuhan tanpa ada bantuan teks kitab suci (agama) .Kemudian saat itu juga aku memutuskan untuk mencari tuhan tanpa agama ! Instrumen apa yg aku kendarai untuk mencarimu wahai Tuhanku ?
Begitu banyak kejadian-kejadian yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, kejadian yang bukan saja menuju kepada bangsa yang berbudaya tinggi tetapi menuju kepada yang primitive, dimana akal sehat dan budaya sudah kalah dengan anarkisme dan fundamentalis. Sungguh membuat hati terpaku dan terpana, ketika seakan-akan bahwa bangsa kita kehilangan jatidirinya.
Pertanyaan yang selalu saja muncul dalam sejarah perjalanan agama-agama adalah untuk siapakah sebenarnya agama itu “dibuat”? Apakah Tuhan itu gila hormat, padahal Ia Maha segalanya ?
Apakah Tuhan adalah ibarat seorang raja, yang memiliki “kerajaan agama” sehingga perlu dibela dari berbagai rongrongan terhadap kekuasaan Sang Tuhan itu?
Kalau memang toh demikian, mengapa Tuhan yang Maha segalanya itu masih perlu dibela?
Apakah Nabi-Nya juga butuh penghormatan dari kita bila Tuannya saja tidak, apakah Nabi-Nya meminta kita untuk rela mati untuk ia, menghancurkan dan merusak orang-orang tidak bersalah demi kehormatan Nabi, jikalau Tuan dari Nabi tersebut bahkan tidak minta di bela ?
Sebuah pertanyaan mendasar kita adalah apakah kadar keimanan seorang umat kepada Tuhannya dinilai dari sebuah tindakan anarkis yang intoleransi terhadap masyarakat sekitarnya yang bahkan tidak tahu menahu tentang apa yang sedang ia bela?
Dalam kenyataan sejarah yang selalu terjadi berulang kali, bahwa agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu.
Agama menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok.
Agama menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok.
Nama Tuhan, yakni “Sang Penguasa Agama”, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan bahkan cenderung menjadi berdagang kelas asongan. Kalau sudah demikian kejadiannya, apakah yang terjadi sebenarnya bukan merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri?
Ketika saya membaca buku Gus Dur, "Tuhan Tidak Perlu Dibela.” Ada kesan yang cukup kuat akan suatu kekhawatiran terjadinya perselingkuhan agama dan modifikasi nya dengan sebuah kepentingan politik kelompok tertentu–yakni dengan mengatasnamakan agama, atau bahkan Tuhan–sehingga akhirnya melahirkan suasana politik kekerasan atau kekerasan politik dengan dalih agama.
Dengan membaca pemikiran Gus Dur dalam bukunya tersebut,kita tidak usah dengan lantang membela Tuhan yang diserukan pada tubuh, yang kurang lebih kita didorong untuk ber semangat menyadarkan kembali akan hakikat keberagamaan manusia.
Agama pada masa awal kelahirannya selalu merupakan koreksi atas kecelakaan sejarah yang menindas manusia sekaligus martabat kemanusiaannya. Tetapi, perkembangan sejarah justru cenderung mengebiri watak profetis dari agama itu sendiri, sehingga lahirlah praktik-praktik kekerasan dengan suatu pengawalan dari patron (kekuasaan) politis.
Hal ini terjadi karena akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit dan dangkal.
Pada orang-orang semacam ini, kesadaran pluralisme sama sekali diabaikan.
Hal ini terjadi karena akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit dan dangkal.
Pada orang-orang semacam ini, kesadaran pluralisme sama sekali diabaikan.
Sebagai suatu instrumen dalam formasi non-diskursif–dalam istilah Michel Foucault–agama lalu melakukan represi terhadap berbagai nalar yang liar dengan ditopang oleh suatu tafsir tunggal terhadap formasi diskursif dari agama itu sendiri, yakni teks suci. Hal inilah yang kemudian melahirkan suatu pemandangan paradoks dalam sejarah agama-agama.
Agama yang mula-mula hendak menghidupkan martabat kemanusiaan justru menjadi pisau pembunuh kemanusiaan itu sendiri. Tiap kali ada orang yang mati-matian membela agamanya—Tuhannya—dan menyerang agama ataupun sekte lain sebagai sesat, kafir, dlsb-nya. Tentunya saya sangat jengah dengan orang-orang model ini, walau mestinya mereka seiman dengannya. Sungguh saya sangat Heran. Hmm...Kok mesti dengan kekerasan membela Tuhan? Dengan bakar-bakar? Dengan gebuk-gebukan?Ngamuk -ngamukan? Sweaping -sweapingan dengan pekikan yang mendaki ndakik. Padahal, “Tuhan tak perlu dibela”. Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada.
Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.” Bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.
Memang benar Islam perlu dikembangkan, tapi tidak untuk dihadapkan kepada menyerang keyakinan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.
Gus Dur sangat tidak sepakat dengan politik pengatasnamaan Tuhan dalam laku politik umat Islam yang telah seringkali terjadi dalam sejarah politik Islam Indonesia. Alasannya sederhana saja: sebab Tuhan yang dibawa di situ adalah Tuhan-yang-berada-dalam-wacana, bukan Tuhan-yang-berada-di-luar-sana. Because the Truth is out there. Kebenaran yang menjadi legitimasi dalam kasus ini sudah masuk dalam wilayah kepentingan kelompok, bukan suatu Kebenaran-Transendental.
Dalam suasana yang sedemikian rumit ini, Gus Dur lalu menjunjung tinggi semangat penggalian otentisitas peran agama dalam masyarakat melalui sebuah kreativitas berpikir. Kalau ada kelompok tertentu yang menganggapnya sebagai tindakan liar–atau bahkan murtad–bagi Gus Dur lebih baik diserahkan kepada gerak sejarah.
Klaim pembenaran terhadap diri sendiri mesti dihindari. Cukup diimbangi saja dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif”, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya. Ketika saya membaca kasus pemikiran “dekonstruksionis” Ahmad Wahib atau gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid di tahun 1970-an, misalnya, Gus Dur betul-betul menghargai hal itu sebagai sebuah kreativitas manusia menghadapi tantangan zamannya. Seperti yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan ketika menggagas untuk mengumpulkan teks al-Qur’an yang semula berserakan; atau Imam Syafi`ie, ketika menyusun kembali metode pengambilan hukum agama dari al-Qur’an dan Hadits dengan membatalkan sejumlah metode lain yang mendahuluinya. Pun, seperti pernah dialami al-Ghazali sebelum dan sesudah menjadi sufi; al-Ghazali sebenarnya berubah dalam visi, tetapi tetap dalam keagungan ilmu karena mempertahankan hak untuk memeriksa segala teks agama melalui kemerdekaan berpikir, melalui sebuah kreativitas nalar. Di sinilah, penghargaan terhadap nilai kreativitas sebagai bentuk perjuangan (“jihad intelektual”) untuk lebih memanusiakan manusia betul-betul dijunjung tinggi.
Oh....Gusti...Allah Tuhan Yang Maha Esa,
Sifat Kasih-Nya begitu besar dan mengalir terus di kehidupan setiap makhluk-Nya. Sungguh ini merupakan pembelaan Dzat Yang Maha Besar, Kuat, lagi Perkasa. Maka sayapun tertunduk malu, menyesal, dan mohon ampunan-Nya karena saya begitu lancang mengatakan, “Sayalah pembela Allah! Sayalah pembela Agama saya!”.
Sifat Kasih-Nya begitu besar dan mengalir terus di kehidupan setiap makhluk-Nya. Sungguh ini merupakan pembelaan Dzat Yang Maha Besar, Kuat, lagi Perkasa. Maka sayapun tertunduk malu, menyesal, dan mohon ampunan-Nya karena saya begitu lancang mengatakan, “Sayalah pembela Allah! Sayalah pembela Agama saya!”.
Kita diajarkan dari kecil bahwa Tuhan Maha Segalanya. Andaikan semua manusia di muka bumi ini tunduk beribadah kepada-Nya, maka hal ini tidak akan menambah kesempurnaan Tuhan yang memang telah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Andaikan semua manusia itu membangkang alias tidak patuh kepada-Nya, maka hal itu tidak akan menurunkan derajat kesempurnaan-Nya sedikit pun. Karena Dia adalah Tuhan, Maha dari Segala Maha. Pemiliki Segala Sesuatu. Maka sudah sepantasnya kalau Dia tidak perlu dibela atau tidak memerlukan pembelaan kita sebagai makhluk-Nya. Yang perlu dibela sebenarnya adalah kita, manusia. Tuhan tidak memerlukan hal itu karena Dia Maha Sempurna.
Logikanya gini. Anda adalah seorang manusia (termasuk juga saya, hehehe..).
Jika banyak orang yang memuji anda, patuh pada anda, maka secara otomatis gengsi anda naik. Anda benar-benar dikagumi. Tetapi disaat lain, ketika semua orang mencela anda, menjelekkan anda, tidak patuh lagi kepada anda, maka anda baru saja kehilangan gengsi anda di mata mereka. Begitu bukan?
Dan Tuhan bukanlah manusia. Jika Dia perlu pembelaan, berarti dia bukan tuhan tetapi manusia juga seperti kita. Tuhan sudah Maha Sempurna, dan tidak memerlukan pembelaan makhluk-Nya sedikit pun. Lalu bagaimana jika agama kita, nama Tuhan kita dihina, dicacimaki dan sejenisnya?
Apakah kita hanya diam saja hanya gara-gara kalimat “Tuhan Gak Perlu Dibela”?
Mmm… tentu tidak. Mungkin orang yang melakukan hal ini adalah dikarenakan belum memahami benar hakikat agama yang kita anut. Lebih baik kita beri pemahaman dengan cara yang baik (ma’ruf), bukan dengan cara radikal, seperti kekerasan yang membabi buta.
Dan Tuhan bukanlah manusia. Jika Dia perlu pembelaan, berarti dia bukan tuhan tetapi manusia juga seperti kita. Tuhan sudah Maha Sempurna, dan tidak memerlukan pembelaan makhluk-Nya sedikit pun. Lalu bagaimana jika agama kita, nama Tuhan kita dihina, dicacimaki dan sejenisnya?
Apakah kita hanya diam saja hanya gara-gara kalimat “Tuhan Gak Perlu Dibela”?
Mmm… tentu tidak. Mungkin orang yang melakukan hal ini adalah dikarenakan belum memahami benar hakikat agama yang kita anut. Lebih baik kita beri pemahaman dengan cara yang baik (ma’ruf), bukan dengan cara radikal, seperti kekerasan yang membabi buta.
Agama diciptakan bukan untuk sebuah kekacauan, tetapi justru untuk kebaikan umatnya (rahmatan lil ‘alamin). Namun, jika setelah diberi pengertian, mereka masih saja ‘membandel’, maka serahkan segalanya kepada Sang Pemilik Segala, Tuhan Yang Maha Esa.
Karena hanya Dialah yang membolak-balikkan hati manusia. shollu 'alannabiy...
Lebih lanjut, semua ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan.
Lebih lanjut, semua ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan.
Makanya ada surga dan neraka yang sengaja dipersiapkan untuk umat manusia di akhirat kelak. Manifestasi ibadah yang kita lakukan hendaknya merupakan sebuah bentuk rasa syukur kita kepada-Nya. Semacam ungkapan terima kasih kepada sang Maha Pencipta karena telah diberi nikmat yang begitu banyak. Maka tidaklah salah jika ada ungkapan yang mengatakan kalau ibadah bukanlah sebuah kewajiban, tetapi merupakan sebuah kebutuhan yang harus kita prioritaskan, seperti halnya kebutuhan primer manusia.
Maka tak jarang dalam kisah-kisah sufistik, begitu banyak para sufi yang rela meninggalkan “dunia” hanya untuk menikmati kelezatan beribadah kepada-Nya. Sekali lagi, kita hanyalah manusia, makhluk yang lemah di hadapan Tuhan Yang Maha Sempurna. Dia tak perlu dibela karena Dia Maha Kuasa. Pembelaan yang kita lakukan kepada-Nya hanyalah merupakan suatu bentuk manifestasi ibadah yang akan kembali untuk diri kita sendiri.
Maka masih pantaskah kita angkuh dan membanggakan diri, padahal sebenarnya kita bukanlah apa-apa.
Mengutip kata al-Hujwiri:
"Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ‘ia menyulitkan’ kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikatnya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya".
Wallahu A'lam
--assighor addauly 130917
Selasa, 24 Januari 2017
Misteri Habib Muhammad As-Saqqaf (Oleh : Gus Miek)
Sudah ditemukan Habib Muhamad, tetapi belum ditemukan yang bermarga As-Saqqaf. Hingga diputuskan “Pokoknya yang aneh, khariqul ‘adah dan yang jadzab!” Sayang, tetap tidak ketemu juga.
Akhirnya, satu-satunya jalan adalah bertanya kepada Kiai Hamid Pasuruan. Begitu tiba di rumah Kiai Hamid, beliau sudah menyambut di depan pintu. “Hamim, wal qur’anil hakim,” sapa Kiai Hamid sambil memeluk Gus Miek dan membimbingnya masuk. Di dalam rumah, Kiai Hamid menghadiahi kain sarung Samarinda berwarna hijau kepada Gus Miek. Ini Gus, saya beri sarung, silakan salat dulu,” kata Kyai Hamid.
Gus Miek dan kedua pengikutnya kemudian menuju ke masjid. Ketika saatnya mendirikan salat, Gus Miek hilang dari pandangan. Dicari-cari tetap tidak ketemu. Akhirnya, keduanya salat kecuali Gus Miek, tetapi begitu mengucapkan salam, ternyata Gus Miek sudah duduk bersila di sebelah Katsir. Sehabis salat, keduanya menemui Kiai Hamid.
“Wah, Gus, sampean telat. Tadi malam, tepat malam Jumat, saya khataman Riyadh as-Shalihin dan didatangi Kanjeng Nabi,” kata Kiai Hamid. Gus Miek hanya tersenyum. Kiai Hamid kemudian berdiri mengambil sesuatu di atas sebuah jam besar, lalu mengulurkan tangannya kepada Gus Miek dan kedua pengikutnya. K.H. Hamid menyuruh Gus Miek mengambil satu, demikian juga dengan yang lain, lalu kemudian memintanya kembali.
Gus Miek, yang tadinya mengambil biji koro yang berada di tengah, ketika mengembalikan biji itu ke telapak tangan Kiai Hamid berubah menjadi batu akik, sementara yang lain masih tetap berupa biji koro. Kemudian Kiai Hamid mengembalikannya kepada masing-masing. Kepada Ibnu Katsir, Kiai Hamid berpesan agar biji itu ditanam dan kelak bila sudah berbuah Kiai Hamid akan datang berkunjung ke rumahnya.
Ketiganya lalu berpamitan dan segera mencari rumah Habib Muhamad As-Saqqaf sebagaimana petunjuk Kiai Hamid. Ternyata, rumahnya tidak jauh dari ndalem Kiai Hamid.
Setelah ketiganya tiba di rumah Habib Muhamad As-Saqqaf dengan suara yang keras dan lantang tiba-tiba Habib bertanya, “Dari mana?” “Dari Kediri,” jawab Gus Miek. “Mau Apa?,” tanya Habib.
“Mau minta doa salawat,” jawab Gus Miek. “Apa belum salat? di dalam salat kan banyak salawat dan banyak doa,” jawab Habib. Lalu Habib berdiri menjalankan salat. Akan tetapi, urut-urutan salat yang dijalankannya kacau balau dalam tinjauan fikih.
Usai salat, Habib mengambil ceret berwarna keemasan dengan satu gelas besar dan tiga cangkir kecil. Habib menuangkan kopi jahe khas Arab, lalu memberikan yang paling besar kepada Gus Miek dan disuruh menghabiskannya.
Begitu Gus Miek meminum habis isi gelas besar itu, Habib kembali menuangkan sampai penuh, kembali Gus Miek menghabiskan. Kejadian tersebut terus berulang sehingga kedua pengikut Gus Miek menjadi keheranan, bagaimana mungkin ceret sekecil itu mempunyai isi yang sedemikian banyak, dan betapa kasihan Gus Miek harus meneguk minuman yang tidak enak di lidah dan di perut itu sedemikian banyak, meski demikian seolah-olah Gus Miek tidak merasakan apa-apa.
Setelah puas saling membuktikan “kemampuannya”, Habib As-Saqqaf meminta Gus Miek berdoa dan beliau mengamininya.
Langganan:
Postingan (Atom)