Sabtu, 16 September 2017

Hiruk Pikuk Membela Tuhan (Oleh : Amiruddin Faisal)

Di tengah hiruk pikuk pertempuran antara agama dengan dalih membela Tuhan !
Aku bertafakur mengadu di pangkuan tuhanku dan bertanya kepada tuhan ku yang Maha Rahman , yang Maha Rahim !
Gusti.....Mengapa pesan-MU dalam tekstual kitab agama di jadikan standar rasional manusia utk menindas yang tak se iman, bukankah perbedaan itu adalah rahmatmu wahai tuhanku ? dan tak jarang kulihat haluannya bermuatan politik.
Aku frustasi Gusti......aku melihat mereka yg membela tuhanya dengan menghalalkan darah sesama manusia. Dari situlah timbul ke gelisahan spritual.Naluri rasio yg ingin bebas dari dentuman senjata pun berbisik.

Dapatkah aku menumakan tuhanku tanpa agama ?
Aku mencari referensi di dalam teks agama yg saat itu aku imani ternya yangta.
Aku menemukan sosok nabi ibrahim as yg berusaha mencari tuhannya dan dia dapat menumukan tuhan tanpa ada bantuan teks kitab suci (agama) .Kemudian saat itu juga aku memutuskan untuk mencari tuhan tanpa agama ! Instrumen apa yg aku kendarai untuk mencarimu wahai Tuhanku ?
Begitu banyak kejadian-kejadian yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, kejadian yang bukan saja menuju kepada bangsa yang berbudaya tinggi tetapi menuju kepada yang primitive, dimana akal sehat dan budaya sudah kalah dengan anarkisme dan fundamentalis. Sungguh membuat hati terpaku dan terpana, ketika seakan-akan bahwa bangsa kita kehilangan jatidirinya.
Pertanyaan yang selalu saja muncul dalam sejarah perjalanan agama-agama adalah untuk siapakah sebenarnya agama itu “dibuat”? Apakah Tuhan itu gila hormat, padahal Ia Maha segalanya ?
Apakah Tuhan adalah ibarat seorang raja, yang memiliki “kerajaan agama” sehingga perlu dibela dari berbagai rongrongan terhadap kekuasaan Sang Tuhan itu?
Kalau memang toh demikian, mengapa Tuhan yang Maha segalanya itu masih perlu dibela?
Apakah Nabi-Nya juga butuh penghormatan dari kita bila Tuannya saja tidak, apakah Nabi-Nya meminta kita untuk rela mati untuk ia, menghancurkan dan merusak orang-orang tidak bersalah demi kehormatan Nabi, jikalau Tuan dari Nabi tersebut bahkan tidak minta di bela ?
Sebuah pertanyaan mendasar kita adalah apakah kadar keimanan seorang umat kepada Tuhannya dinilai dari sebuah tindakan anarkis yang intoleransi terhadap masyarakat sekitarnya yang bahkan tidak tahu menahu tentang apa yang sedang ia bela?
Dalam kenyataan sejarah yang selalu terjadi berulang kali, bahwa agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu.
Agama menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok.
Nama Tuhan, yakni “Sang Penguasa Agama”, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan bahkan cenderung menjadi berdagang kelas asongan. Kalau sudah demikian kejadiannya, apakah yang terjadi sebenarnya bukan merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri?
Ketika saya membaca buku Gus Dur, "Tuhan Tidak Perlu Dibela.” Ada kesan yang cukup kuat akan suatu kekhawatiran terjadinya perselingkuhan agama dan modifikasi nya dengan sebuah kepentingan politik kelompok tertentu–yakni dengan mengatasnamakan agama, atau bahkan Tuhan–sehingga akhirnya melahirkan suasana politik kekerasan atau kekerasan politik dengan dalih agama.
Dengan membaca pemikiran Gus Dur dalam bukunya tersebut,kita tidak usah dengan lantang membela Tuhan yang diserukan pada tubuh, yang kurang lebih kita didorong untuk ber semangat menyadarkan kembali akan hakikat keberagamaan manusia.
Agama pada masa awal kelahirannya selalu merupakan koreksi atas kecelakaan sejarah yang menindas manusia sekaligus martabat kemanusiaannya. Tetapi, perkembangan sejarah justru cenderung mengebiri watak profetis dari agama itu sendiri, sehingga lahirlah praktik-praktik kekerasan dengan suatu pengawalan dari patron (kekuasaan) politis.
Hal ini terjadi karena akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit dan dangkal.
Pada orang-orang semacam ini, kesadaran pluralisme sama sekali diabaikan.
Sebagai suatu instrumen dalam formasi non-diskursif–dalam istilah Michel Foucault–agama lalu melakukan represi terhadap berbagai nalar yang liar dengan ditopang oleh suatu tafsir tunggal terhadap formasi diskursif dari agama itu sendiri, yakni teks suci. Hal inilah yang kemudian melahirkan suatu pemandangan paradoks dalam sejarah agama-agama.
Agama yang mula-mula hendak menghidupkan martabat kemanusiaan justru menjadi pisau pembunuh kemanusiaan itu sendiri. Tiap kali ada orang yang mati-matian membela agamanya—Tuhannya—dan menyerang agama ataupun sekte lain sebagai sesat, kafir, dlsb-nya. Tentunya saya sangat jengah dengan orang-orang model ini, walau mestinya mereka seiman dengannya. Sungguh saya sangat Heran. Hmm...Kok mesti dengan kekerasan membela Tuhan? Dengan bakar-bakar? Dengan gebuk-gebukan?Ngamuk -ngamukan? Sweaping -sweapingan dengan pekikan yang mendaki ndakik. Padahal, “Tuhan tak perlu dibela”. Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada.
Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.” Bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.
Memang benar Islam perlu dikembangkan, tapi tidak untuk dihadapkan kepada menyerang keyakinan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.
Gus Dur sangat tidak sepakat dengan politik pengatasnamaan Tuhan dalam laku politik umat Islam yang telah seringkali terjadi dalam sejarah politik Islam Indonesia. Alasannya sederhana saja: sebab Tuhan yang dibawa di situ adalah Tuhan-yang-berada-dalam-wacana, bukan Tuhan-yang-berada-di-luar-sana. Because the Truth is out there. Kebenaran yang menjadi legitimasi dalam kasus ini sudah masuk dalam wilayah kepentingan kelompok, bukan suatu Kebenaran-Transendental.
Dalam suasana yang sedemikian rumit ini, Gus Dur lalu menjunjung tinggi semangat penggalian otentisitas peran agama dalam masyarakat melalui sebuah kreativitas berpikir. Kalau ada kelompok tertentu yang menganggapnya sebagai tindakan liar–atau bahkan murtad–bagi Gus Dur lebih baik diserahkan kepada gerak sejarah.
Klaim pembenaran terhadap diri sendiri mesti dihindari. Cukup diimbangi saja dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif”, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya. Ketika saya membaca kasus pemikiran “dekonstruksionis” Ahmad Wahib atau gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid di tahun 1970-an, misalnya, Gus Dur betul-betul menghargai hal itu sebagai sebuah kreativitas manusia menghadapi tantangan zamannya. Seperti yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan ketika menggagas untuk mengumpulkan teks al-Qur’an yang semula berserakan; atau Imam Syafi`ie, ketika menyusun kembali metode pengambilan hukum agama dari al-Qur’an dan Hadits dengan membatalkan sejumlah metode lain yang mendahuluinya. Pun, seperti pernah dialami al-Ghazali sebelum dan sesudah menjadi sufi; al-Ghazali sebenarnya berubah dalam visi, tetapi tetap dalam keagungan ilmu karena mempertahankan hak untuk memeriksa segala teks agama melalui kemerdekaan berpikir, melalui sebuah kreativitas nalar. Di sinilah, penghargaan terhadap nilai kreativitas sebagai bentuk perjuangan (“jihad intelektual”) untuk lebih memanusiakan manusia betul-betul dijunjung tinggi.
Oh....Gusti...Allah Tuhan Yang Maha Esa,
Sifat Kasih-Nya begitu besar dan mengalir terus di kehidupan setiap makhluk-Nya. Sungguh ini merupakan pembelaan Dzat Yang Maha Besar, Kuat, lagi Perkasa. Maka sayapun tertunduk malu, menyesal, dan mohon ampunan-Nya karena saya begitu lancang mengatakan, “Sayalah pembela Allah! Sayalah pembela Agama saya!”.
Kita diajarkan dari kecil bahwa Tuhan Maha Segalanya. Andaikan semua manusia di muka bumi ini tunduk beribadah kepada-Nya, maka hal ini tidak akan menambah kesempurnaan Tuhan yang memang telah sempurna. Begitu juga sebaliknya. Andaikan semua manusia itu membangkang alias tidak patuh kepada-Nya, maka hal itu tidak akan menurunkan derajat kesempurnaan-Nya sedikit pun. Karena Dia adalah Tuhan, Maha dari Segala Maha. Pemiliki Segala Sesuatu. Maka sudah sepantasnya kalau Dia tidak perlu dibela atau tidak memerlukan pembelaan kita sebagai makhluk-Nya. Yang perlu dibela sebenarnya adalah kita, manusia. Tuhan tidak memerlukan hal itu karena Dia Maha Sempurna.
Logikanya gini. Anda adalah seorang manusia (termasuk juga saya, hehehe..).
Jika banyak orang yang memuji anda, patuh pada anda, maka secara otomatis gengsi anda naik. Anda benar-benar dikagumi. Tetapi disaat lain, ketika semua orang mencela anda, menjelekkan anda, tidak patuh lagi kepada anda, maka anda baru saja kehilangan gengsi anda di mata mereka. Begitu bukan?
Dan Tuhan bukanlah manusia. Jika Dia perlu pembelaan, berarti dia bukan tuhan tetapi manusia juga seperti kita. Tuhan sudah Maha Sempurna, dan tidak memerlukan pembelaan makhluk-Nya sedikit pun. Lalu bagaimana jika agama kita, nama Tuhan kita dihina, dicacimaki dan sejenisnya?
Apakah kita hanya diam saja hanya gara-gara kalimat “Tuhan Gak Perlu Dibela”?
Mmm… tentu tidak. Mungkin orang yang melakukan hal ini adalah dikarenakan belum memahami benar hakikat agama yang kita anut. Lebih baik kita beri pemahaman dengan cara yang baik (ma’ruf), bukan dengan cara radikal, seperti kekerasan yang membabi buta.
Agama diciptakan bukan untuk sebuah kekacauan, tetapi justru untuk kebaikan umatnya (rahmatan lil ‘alamin). Namun, jika setelah diberi pengertian, mereka masih saja ‘membandel’, maka serahkan segalanya kepada Sang Pemilik Segala, Tuhan Yang Maha Esa.
Karena hanya Dialah yang membolak-balikkan hati manusia. shollu 'alannabiy...
Lebih lanjut, semua ibadah yang kita lakukan bukanlah bertujuan untuk menaikkan derajat kesempurnaan Tuhan, tetapi sebenarnya untuk kita sendiri. Tuhan, hakikatnya bukan memerlukan kita untuk menyembah-Nya, tetapi manusialah yang perlu untuk menyembah-Nya. Semua amal ibadah kita akhirnya akan kembali pada diri kita sendiri, bukan untuk Tuhan.
Makanya ada surga dan neraka yang sengaja dipersiapkan untuk umat manusia di akhirat kelak. Manifestasi ibadah yang kita lakukan hendaknya merupakan sebuah bentuk rasa syukur kita kepada-Nya. Semacam ungkapan terima kasih kepada sang Maha Pencipta karena telah diberi nikmat yang begitu banyak. Maka tidaklah salah jika ada ungkapan yang mengatakan kalau ibadah bukanlah sebuah kewajiban, tetapi merupakan sebuah kebutuhan yang harus kita prioritaskan, seperti halnya kebutuhan primer manusia.
Maka tak jarang dalam kisah-kisah sufistik, begitu banyak para sufi yang rela meninggalkan “dunia” hanya untuk menikmati kelezatan beribadah kepada-Nya. Sekali lagi, kita hanyalah manusia, makhluk yang lemah di hadapan Tuhan Yang Maha Sempurna. Dia tak perlu dibela karena Dia Maha Kuasa. Pembelaan yang kita lakukan kepada-Nya hanyalah merupakan suatu bentuk manifestasi ibadah yang akan kembali untuk diri kita sendiri.
Maka masih pantaskah kita angkuh dan membanggakan diri, padahal sebenarnya kita bukanlah apa-apa.
Mengutip kata al-Hujwiri:

"Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ‘ia menyulitkan’ kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikatnya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya".

Wallahu A'lam 

--assighor addauly 130917

Tidak ada komentar:

Posting Komentar