Ada fenomena menarik dalam memperingati hari santri 22 oktober kemaren, yaitu kemampuan kaum santri menjadi salah satu garda terdepan dalam mengawal dan menggerakkan langkah maju bangsa ini. Kaum “sarungan” yang umumnya berbasis pesantren tradisional di lingkungan massa ala nahdliyin ini, terutama generasi mudanya, sangat aktif dalam wacana dan gerakan demokratisasi, penegakkan hak asasi manusia, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam beberapa situasi genting, seperti reformasi 1998 dan kisruh menjelang Pilkada DKI yang lalu, justru kaum santri yang muncul sebagai pihak yang aktif meredam gejolak sosial politik yang sudah mengkhawatirkan dan di ambang perpecahan. Demikian juga di tengah maraknya aksi kekerasan, ujaran kebencian, pemaksaan pendapat dan intoleransi, maka kaum santri pula yang paling nyaring dalam menentangnya. Ketika arus demokratisasi dan tuntutan kebebasan bermunculan, maka muslim santri ini yang menjadi elemen anak bangsa terdepan dalam merespon, manyambut dan memperjuangkannya.
Sementara kelompok-kelompok lain masih berkutat dalam pencarian dan perdebatan tentang dasar dan bentuk negara, maka kaum santri yang nasionalis sudah sepakat menjadikan Pancasila dan NKRI sebagai dasar negara dan bentuk negara. Kesepakatan ini tidak bisa diganggu gugat lagi karena mereka yakin Pancasila dan NKRI lah sebagai dasar dan bentuk negara yang dapat menyatukan bangsa yang sangat beragam ini. Di mata kaum santri, mencintai serta mempertahankan NKRI bukan hanya persoalan politik duniawi tetapi juga bagian dari wujud keimanan. Oleh karena itu tidak aneh jika kaum santri sangat anti kolonialisme dan dan sangat loyal pada NKRI.
Demikian pula saat yang lain gagap dan kaget dengan issu-issu kemoderenan, maka kaum santri sudah terbiasa dengan wacana dan gerakan pemberdayaan perempuan dan kaum marjinal, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, egaliterianisme, penguatan civil society, hak asasi, kearifan lokal, toleransi antar umat beragama, penerimaan kebinekaan dan negara kebangsaan berdasarkan Pancasila.
Santri dan Kitab Kuning
Pertanyaannya mengapa kaum santri yang secara kultural dianggap tidak moderen ini, tradisi sarungan contohnya, mampu menjadi salah satu penentu perjalanan bangsa. Kenapa kaum santri tidak gagap dan kaget dengan ide-ide modernitas, bahkan mereka tampil jadi pegiat demokrasi, toleransi, dan kebangsaan, padahal tadinya mereka biasa terdidik dalam suasana desa yang tradisional.
Lompatan dari tradisionalisme menjadi post tradisionalisme ini – meminjam konsep Rumadi (2008) – memang tidak dapat dilepaskan dari sosok Gus Dur yang dapat mengembalikan NU dari politik praktis menjadi organisasi sosial kemasyarakatan. Gus Dur pula yang telah membina kader-kader muda nahdliyin dengan wacana intelektual progresif dan gerakan kemasyarakatan.
Namun ada sisi lain yang patut diperhitungkan sebagai penentu kemampuan kaum santri dalam ikut menentukan arah gerak pembangunan bangsa ini yaitu tradisi pesantren, dan salah satu tradisi yang membentuk jiwa dan karakter santri di pesantren adalah kajian kitab kuning.
Kitab kuning, atau kitab gundul, adalah satu rukun dari tiga rukun pesantren, setelah kiyai dan pondoknya. Kitab kuning yang biasanya diajarkan di pondok-pondok pesantren kaum nahdliyin ini umumnya ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Kitab-kitab ini merupakan literatur keislaman klasik yang menjadi sumber penting dan rujukan otoritatif dalam kajian keislaman para santri di pondok pesantren sampai saat ini. Literatur klasik berbahasa Arab tanpa harakat atau baris ini sangat kaya dengan wawasan kajian keislaman, metodologi pemikiran, pendapat ahli hukum dalam berbagai bidang, pandangan para teolog tentang berbagai keyakinan, ajaran-ajaran kaum sufi yang sarat dengan nilai kesucian, dan sebagainya. Oleh karena itu kajian dan upaya pemahaman ajaran Islam yang mendalam tidak bisa dipisahkan dari literatur-literatur keislaman klasik tersebut.
Dalam prosesnya, ajaran-ajaran kitab kuning yang diajarkan di pesantren atau madrasah inilah yang membentuk jiwa santri menjadi pribadi-pribadi unggul dengan karakter mulia, seperti ikhlas, bersyukur, ulet (sabar), mencari nilai ibadah dan mengejar barokah, hormat pada guru dan senior, hidup sosial dalam kebersamaan, menjaga kebersihan lahiriah dan batiniah (wara’), menanamkan sifat rendah hati (tawadu’) toleran (tasamuh) dan menghargai perbedaan (khilafiyah).
Para ulama besar masa lalu telah mengajarkan dalam berbagai kitab karya mereka akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, baik nilai akademis maupun praktis. Di samping mengemukakan pendapat pribadi (fatwa) ketika membahas suatu masalah hukum, misalnya, sangat sering ulama klasik juga menyebutkan pendapat ulama lain di era sebelumnya atau yang sezaman dengannya. Pengutipan (nukilan) pendapat satu atau beberapa ulama ini selalu diikuti dengan penyebutan judul kitab yang dikutip. Ini menunjukkan sejak dahulu para ulama sangat menjunjung tinggi prinsip keterbukaan, kejujuran ilmiah dan pengakuan hak kekayaan intelektual orang lain serta mencela plagiarisme dan pemalsuan. Inilah nilai-nilai yang mulai tergerus dan menjadi keprihatinan dalam upaya pengembangan perguruan tinggi moderen di Indonesia saat ini.
Toleransi dan demokrasi
Dalam kitab kuning tingkat menengah dan tinggi, khususnya di bidang hukum atau fikih, selalu diuraikan perbedaan pendapat secara tajam dan mendalam antara dua atau beberapa pihak yang berbeda, namun berbagai pendapat yang bertentangan tetap dipaparkan secara adil dan proporsional. Pihak pro dan kontra diberi ruang pembahasan secara seimbang.
Para ulama klasik, imam Nawawi misalnya dalam karyanya Minhajut Talibin (vol. 1 – 4) sering memilih satu pendapat yang dinilainya paling kuat (rajih/arjah) tetapi pendapat yang berseberangan tetap dipaparkan walau mungkin dinilai lebih lemah (marjuh). Dengan paparan yang rinci, terbuka dan adil tersebut maka ulama penulis kitab kuning telah membuka ruang kebebasan pada pembacanya untuk menganalisis dan memilih sendiri mana pendapat yang terbaik, terkuat dan paling maslahat menurutnya. Nilai-nilai demokratis inilah yang juga membentuk jiwa santri saat di pesantren maupun di tengah masyarakat sehingga siap menerima berbagai perubahan.
Tidak berhenti pada adil dan seimbang saja, para ulama penulis kitab kuning juga tetap bersikap obyektif dan rendah hati dalam menyimpulkan atau menilai status hukum suatu persoalan. Walaupun suatu kesimpulan sudah dibuat secara benar atau hukum suatu kasus telah diputuskan secara tepat tetapi ulama fikih selalu mengingatkan bahwa kebenaran yang dibuat itu adalah tetap relatif (nisbi) dan bukan kebenaran absolut (mutlak). Di dalamnya tetap ada kemungkinan benar atau salah sehingga tetap ada ruang dialog untuk menerima atau menolak. Oleh karena itu pula maka kesimpulan yang dibuat tidak diklaim oleh mereka sebagai kebenaran universal yang pasti, melainkan kebenaran sebatas dalam pendapat mereka atau satu kelompok saja.
Adanya statemen al-ashahhu ‘indana (yang lebih benar menurut pendapat kami) atau wallahu a’lam bisshawab (dan Allah yang paling mengetahui) saat menutup suatu pembahasan, jelas membuktikan para ulama berusaha obyektif dan selalu merendah dengan tidak mengklaim pendapat dan pemahamannya sebagai satu-satunya kebenaran. Para ulama yang alim ini seolah ingin memberi pelajaran agar kita tidak egois memonopoli kebenaran sehingga tidak pantas memvonis pendapat-pendapat lainnya yang berbeda sebagai salah apalagi sesat. Kaum ulama intelektual ini ingin menekankan bahwa ajaran yang mereka rumuskan hanyalah hasil ijtihad penafsiran manusia yang kebenarannya relatif sedangkan kebenaran yang hakiki hanya dari Allah swt.
Nilai-nilai kesantunan, terbuka, dan rendah hati inilah yang membentuk jiwa kaum santri sehingga menjadi figur-figur yang toleran dan demokratis. Nilai-nilai inilah yang sangat penting dikembangkan untuk membangun keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini
Minggu, 05 November 2017
Tekstual dan Kontekstual (Oleh : Amiruddin Faisal)
Seorang santri sarjana, menyampaikan pandangan bahwa kaum muslimin pecah (terbagi) dalam dua aliran penafsiran : tekstual dan kontekstual. Keduanya sering tak menemukan titik temu, bahkan acap bermusuhan, seraya masing-masing mengklaim kebenarannya sendiri-sendiri.
Sesudah bicara sedikit panjang dan bertanya atau konfirmasi : “bagaimana itu ustaz”?. Aku bilang: Cara pandang atau pendekatan tekstual dan kontekstual selalu ada pada setiap zaman dan di manapun. Pada masa Nabi Muhammad masih ada, itu juga sering terjadi. Salah satunya adalah dalam kasus Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah.
Ceritanya begini :
Usai perang Khandaq atau Ahzab, Nabi mengumpulkan para sahabatnya. Kepada mereka beliau mengatakan :
لا يصلين احدكم العصر الا فى بنى قريظة
“Jangan lah kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Mereka sangat paham kata-kata Nabi itu, karena dinyatakan dengan bahasa yang jelas dan tegas. Bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Maka merekapun segera berangkat ke arah perkampungan itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit. “Mega merah saga menjelang datang. Bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi, Mega merah saga, pasti merebak, menghiasi langit. Ini berarti waktu shalat Maghrib sudah masuk.
Waktu shalat Ashar telah habis.
Mereka bingung, gaduh dan berdebat : “Kita harus shalat Ashar di mana?. Di Bani Quraizhah atau di perjalanan?”. Ini temanya. Masing-masing lalu merenung : “Jika ikut perintah Nabi berarti harus di Bani Quraizhah. Tetapi akibatnya waktunya sdh habis, lewat. Jika “shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yg sangat jelas itu.
Lalu apa yang terjadi?. Ada sahabat yg shalat di perjalanan, dan ada yg di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan pendekatan/pemahaman masing-masing.
Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau. Siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah kepada siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan utk itu semua kalian mendapat pahala”.
Oh. Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw.
وفي شرح النووى لصحيح مسلم : فأخذ بعض الصحابة بهذا المفهوم نظراً إلى المعنى لا إلى اللفظ، فصلوا حين خافوا فوت الوقت، وأخذ آخرون بظاهر اللفظ وحقيقته فأخروها. ولم يعنف النبي صلى الله عليه وسلم واحداً من الفريقين لأنهم مجتهدون. ففيه دلالة لمن يقول بالمفهوم والقياس ومراعاة المعنى ولمن يقول بالظاهر أيضاً، وفيه أنه لا يعنف المجتهد فيما فعله باجتهاده إذا بذل وسعه في الاجتهاد، وقد يستدل به على أن كل مجتهد مصيب. انتهى.
Sesudah bicara sedikit panjang dan bertanya atau konfirmasi : “bagaimana itu ustaz”?. Aku bilang: Cara pandang atau pendekatan tekstual dan kontekstual selalu ada pada setiap zaman dan di manapun. Pada masa Nabi Muhammad masih ada, itu juga sering terjadi. Salah satunya adalah dalam kasus Shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah.
Ceritanya begini :
Usai perang Khandaq atau Ahzab, Nabi mengumpulkan para sahabatnya. Kepada mereka beliau mengatakan :
لا يصلين احدكم العصر الا فى بنى قريظة
“Jangan lah kalian shalat Ashar, kecuali di Bani Quraizhah”.
Mereka sangat paham kata-kata Nabi itu, karena dinyatakan dengan bahasa yang jelas dan tegas. Bahwa shalat Ashar hanya boleh dilakukan di Bani Quraizhah. Maka merekapun segera berangkat ke arah perkampungan itu. Tetapi di tengah perjalanan mereka melihat ke langit. “Mega merah saga menjelang datang. Bila shalat Ashar di laksanakan di tempat yg diperintahkan Nabi tadi, Mega merah saga, pasti merebak, menghiasi langit. Ini berarti waktu shalat Maghrib sudah masuk.
Waktu shalat Ashar telah habis.
Mereka bingung, gaduh dan berdebat : “Kita harus shalat Ashar di mana?. Di Bani Quraizhah atau di perjalanan?”. Ini temanya. Masing-masing lalu merenung : “Jika ikut perintah Nabi berarti harus di Bani Quraizhah. Tetapi akibatnya waktunya sdh habis, lewat. Jika “shalat Ashar dikerjakan di tengah perjalanan, akibatnya tidak menuruti perintah Nabi yg sangat jelas itu.
Lalu apa yang terjadi?. Ada sahabat yg shalat di perjalanan, dan ada yg di kampung Bani Quraizhah, sesuai dengan pendekatan/pemahaman masing-masing.
Manakala kemudian bertemu Nabi, mereka menceritakan kejadian itu, sambil meminta pandangan beliau. Siapa di antara dua kelompok itu yang benar. Nabi tersenyum, tidak marah kepada siapapun. “Kalian telah berpikir keras dan utk itu semua kalian mendapat pahala”.
Oh. Betapa bijaksana dan lembutnya Rasulullah Saw.
وفي شرح النووى لصحيح مسلم : فأخذ بعض الصحابة بهذا المفهوم نظراً إلى المعنى لا إلى اللفظ، فصلوا حين خافوا فوت الوقت، وأخذ آخرون بظاهر اللفظ وحقيقته فأخروها. ولم يعنف النبي صلى الله عليه وسلم واحداً من الفريقين لأنهم مجتهدون. ففيه دلالة لمن يقول بالمفهوم والقياس ومراعاة المعنى ولمن يقول بالظاهر أيضاً، وفيه أنه لا يعنف المجتهد فيما فعله باجتهاده إذا بذل وسعه في الاجتهاد، وقد يستدل به على أن كل مجتهد مصيب. انتهى.
Dakwah Positif atau Negatif? (Oleh : Abad Badruzaman)
Nggak "sah" hukumnya jadi orang Jawa Timur kalo nggak tau Anwar Zahid, penceramah kondang nan kocak. Konon, kalo mau mendatangkan penceramah satu ini harus indent sekurangnya tiga bulan sebelumnya. Kebayang panjangnya antrian pemohon dan padatnya jadwal "manggung" Sang Penceramah.
Dulu saya agak kurang suka dengan model ceramah Anwar Zahid. Kurang suka bukan berarti benci lho ya. Buat apa pula benci pada sesama Muslim, terlebih beliau seorang penceramah agama. Saya dulu kurang suka dengan khas ceramahnya yang terlalu banyak porsi ngebanyolnya. Misalnya beliau ceramah sejam, mungkin separo lebih isinya lawakan belaka. Lawakannya benar-benar lucu. Bukan seperti lawakan pelawak tanggung yang sering membuat kita ketawa bukan karena lucu tapi justru karena gak lucunya.
Tapi belakangan sikap saya berubah. Meski tidak sampe menggilainya, setidaknya saya sekarang manaruh hormat lebih banyak pada beliaunya. Perubahan itu terjadi lantaran belakangan juga kita sering dipertontonkan dengan pengajian nihil kelucuan atau banyolan. Yakni pengajian yang isinya susut-sesat, budnguh-bidngah, kopar-kapir.
Belakangan kita juga kerap disuguhi pengajian sarat kebencian: negara dibenci dan dithogutkan, Pancasila dibenci dan dicibir habis-habisan, burung garuda dibenci dan berhalakan, kebhinekaan alih-alih dirayakan malah dibenci dan diancam dihanguskan.
Ngeliat dan merasakan itu, ceramah Anwar Zahid selain memang lucu dan menyenangkan, kini juga terasa menenangkan. Di majlisnya terlihat kegembiraan, canda tawa, dan yang penting gak pernah Sang Penceramah menjelek-jelekkan orang.
Mungkin ada yang keberatan ceramah Anwar Zahid disebut pengajian. Baiklah! Setidaknya kita lebih beruntung mendapat banyolan berselipkan pesan-pesan keagamaan, tenimbang mendapatkan ceramah dengan nada keras berbumbukan kebencian dan memantik permusuhan.
"Tapi Bah, dalam pengajian Anwar Zahid gak ada tuh kedalaman dan ketertataan logis antar sub-topik yang disampaikan."
"Bahasamu, Le kedhuwuren. Wong namanya pengajian yang gitu itu. Kalo kamu mau kedalaman dan ketuntasan datangnya ya ke pengkajian, bukan pengajian."
"Nah itu Bah, di mana Tole bisa ikut kajian-kajian?"
"Huh...kamu tu yah! Tau Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung gak sih?"
Dulu saya agak kurang suka dengan model ceramah Anwar Zahid. Kurang suka bukan berarti benci lho ya. Buat apa pula benci pada sesama Muslim, terlebih beliau seorang penceramah agama. Saya dulu kurang suka dengan khas ceramahnya yang terlalu banyak porsi ngebanyolnya. Misalnya beliau ceramah sejam, mungkin separo lebih isinya lawakan belaka. Lawakannya benar-benar lucu. Bukan seperti lawakan pelawak tanggung yang sering membuat kita ketawa bukan karena lucu tapi justru karena gak lucunya.
Tapi belakangan sikap saya berubah. Meski tidak sampe menggilainya, setidaknya saya sekarang manaruh hormat lebih banyak pada beliaunya. Perubahan itu terjadi lantaran belakangan juga kita sering dipertontonkan dengan pengajian nihil kelucuan atau banyolan. Yakni pengajian yang isinya susut-sesat, budnguh-bidngah, kopar-kapir.
Belakangan kita juga kerap disuguhi pengajian sarat kebencian: negara dibenci dan dithogutkan, Pancasila dibenci dan dicibir habis-habisan, burung garuda dibenci dan berhalakan, kebhinekaan alih-alih dirayakan malah dibenci dan diancam dihanguskan.
Ngeliat dan merasakan itu, ceramah Anwar Zahid selain memang lucu dan menyenangkan, kini juga terasa menenangkan. Di majlisnya terlihat kegembiraan, canda tawa, dan yang penting gak pernah Sang Penceramah menjelek-jelekkan orang.
Mungkin ada yang keberatan ceramah Anwar Zahid disebut pengajian. Baiklah! Setidaknya kita lebih beruntung mendapat banyolan berselipkan pesan-pesan keagamaan, tenimbang mendapatkan ceramah dengan nada keras berbumbukan kebencian dan memantik permusuhan.
"Tapi Bah, dalam pengajian Anwar Zahid gak ada tuh kedalaman dan ketertataan logis antar sub-topik yang disampaikan."
"Bahasamu, Le kedhuwuren. Wong namanya pengajian yang gitu itu. Kalo kamu mau kedalaman dan ketuntasan datangnya ya ke pengkajian, bukan pengajian."
"Nah itu Bah, di mana Tole bisa ikut kajian-kajian?"
"Huh...kamu tu yah! Tau Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung gak sih?"
Santri ( Oleh : Amiruddin Faisal)
Bagi saya, santri adalah idiom yang saya syukuri sekaligus membebani. Kisah konyol nan lucu, dusel-duselan ketika mau tidur, berebut bantal dalam satu kasur, perang canda dalam satu selimut dan masih banyak lagi kisah yang saya syukuri takdirnya. Meski kadang kesedihan dan kisah nelangsa juga ikut menyertai.
Namun, beban juga tentu ada. Apa beban santri? Ya, mengamalkan. Apakah mudah? Tentu susah, karena butuh kematangan ilmu dan tingkah laku sehingga tidak timpang. Kurikulum pesantren yang tidak hanya menuntut kematangan kognitif namun juga afkesi serta perilaku membuat santri lengkap dari segi penempaannya.
Kitab-kitab setiap hari dikaji, kematangan emosi diuji ketika arus hidup bersama teman sebaya. Perilaku dibentuk oleh aturan dan teladan sang kyai. Tentu, kelengkapan pengajaran ini sengaja dibuat agar santri siap mengabdi dan berkontribusi di masyarakat nantinya.
Karena ukuran keberhasilan santri bukan dari nilai rapot kelas diniyah-nya, namun seberapa bermanfaat ia kelak di masyarakat. Banyak di antara manusia-manusia kekinian yang banyak mengetahui tanpa mengamalkan, sehingga kita temui orang-orang yang berbicara baik namun timpang dengan perilaku yang ia tunjukan secara spontan.
Mengapa santri dituntut untuk tidak sekedar mengetahui tapi juga mengamalkan? Karena santri adalah orang yang belajar kitab suci yang juga bertanggung jawab menjaga kesuciannya. Tugas ini memang berat, tugas mengawal cita-cita kenabian yang ingin membuat sebuah peradaban islami yang menjunjung tinggi nilai toleransi, moderasi dan kemanusiaan. Menyampaikan dakwah dengan cara yang lembut dan indah, bukan dengan dakwah ribut dan marah.
Nasihat tentang keharusan mengamalkan bagi mereka yang telah dianugerahi ilmu telah disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah:
“Celakalah bagi orang bodoh yang tak mau belajar tapi seribu kali lebih celaka orang berilmu yang tak mau mengamalkan”.
Belum selesai menulis nasehat Imam Ghozali ini saya teringat nasihat Kyai ku,
“Cobaan orang berilmu adalah bagaimana dia bisa mengamalkan dan cobaan orang bodoh adalah bagaimana ia menghilangkan kemalasannya.”
Santri dididik untuk terus menggerus kemalasan belajarnya sembari terus diguyur dengan nasihat tutur dan laku kyai sebagai teladan. Selain itu, selepas “boyong” dan pulang kampung ia harus mengamalkan. Jadi jangan terjebak dengan hegemoni dan seremoni hari santri tanpa merefleksikan makna santri dan tanggung jawabnya terhadap diri sendiri.
Kaum sarungan hari ini harus berada di garda terdepan untuk menjaga pesan kenabian yang damai dan penuh kasing sayang. Bangsa ini juga membutuhkan santri untuk menjaga keutuhan NKRI dan toleransi antar skat primordial Negara.
Salam 86
Teruslah berkarya Jid
Namun, beban juga tentu ada. Apa beban santri? Ya, mengamalkan. Apakah mudah? Tentu susah, karena butuh kematangan ilmu dan tingkah laku sehingga tidak timpang. Kurikulum pesantren yang tidak hanya menuntut kematangan kognitif namun juga afkesi serta perilaku membuat santri lengkap dari segi penempaannya.
Kitab-kitab setiap hari dikaji, kematangan emosi diuji ketika arus hidup bersama teman sebaya. Perilaku dibentuk oleh aturan dan teladan sang kyai. Tentu, kelengkapan pengajaran ini sengaja dibuat agar santri siap mengabdi dan berkontribusi di masyarakat nantinya.
Karena ukuran keberhasilan santri bukan dari nilai rapot kelas diniyah-nya, namun seberapa bermanfaat ia kelak di masyarakat. Banyak di antara manusia-manusia kekinian yang banyak mengetahui tanpa mengamalkan, sehingga kita temui orang-orang yang berbicara baik namun timpang dengan perilaku yang ia tunjukan secara spontan.
Mengapa santri dituntut untuk tidak sekedar mengetahui tapi juga mengamalkan? Karena santri adalah orang yang belajar kitab suci yang juga bertanggung jawab menjaga kesuciannya. Tugas ini memang berat, tugas mengawal cita-cita kenabian yang ingin membuat sebuah peradaban islami yang menjunjung tinggi nilai toleransi, moderasi dan kemanusiaan. Menyampaikan dakwah dengan cara yang lembut dan indah, bukan dengan dakwah ribut dan marah.
Nasihat tentang keharusan mengamalkan bagi mereka yang telah dianugerahi ilmu telah disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah:
“Celakalah bagi orang bodoh yang tak mau belajar tapi seribu kali lebih celaka orang berilmu yang tak mau mengamalkan”.
Belum selesai menulis nasehat Imam Ghozali ini saya teringat nasihat Kyai ku,
“Cobaan orang berilmu adalah bagaimana dia bisa mengamalkan dan cobaan orang bodoh adalah bagaimana ia menghilangkan kemalasannya.”
Santri dididik untuk terus menggerus kemalasan belajarnya sembari terus diguyur dengan nasihat tutur dan laku kyai sebagai teladan. Selain itu, selepas “boyong” dan pulang kampung ia harus mengamalkan. Jadi jangan terjebak dengan hegemoni dan seremoni hari santri tanpa merefleksikan makna santri dan tanggung jawabnya terhadap diri sendiri.
Kaum sarungan hari ini harus berada di garda terdepan untuk menjaga pesan kenabian yang damai dan penuh kasing sayang. Bangsa ini juga membutuhkan santri untuk menjaga keutuhan NKRI dan toleransi antar skat primordial Negara.
Salam 86
Teruslah berkarya Jid
Langganan:
Postingan (Atom)